Kemarin, Sabtu, 22 Oktober 2022, saya mengikuti lokakarya perdana tahun ke-2 sekolah penggerak angkatan 1. Dalam perjalanan, saat melintas di depan Pondok Pesantren Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah (NWDI) Pancor, Lombok Timur, suasana terlihat ramai. Ada barisan panjang santri dengan mengenakan sarung dan baju putih berbaris menuju sebuah lapangan di area pondok pesantren. Saya jadi ingat twibbon yang disebar melalui WAG tentang hari santri saat membuka whatsapp sebelum berangkat.
Twibbon dan barisan panjang santri itu membawa saya kepada kehidupan santri yang pernah saya jalani. Saya seakan dibawa mundur sebuah mesin waktu ke masa silam dimana kehidupan santri pernah mewarnai masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa remaja saya.
Sejak tamat SD pertengahan tahun 90-an saya sempat menjalani kehidupan santri selama 3 tahun. Sebuah masa yang memberikan warna bagi kehidupan saya saat ini.
Kehidupan santri masa itu sangat jauh berbeda dengan kehidupan santri saat ini. Jika saat ini banyak lembaga pesantren memfasilitasi santri dengan pemondokan atau asrama yang layak huni, saat itu saya menjalani kehidupan santri dalam asrama yang sangat bersahaja.
Saya bersama santri tinggal di sebuah asrama. Penghuni asrama yang terdiri dari santri laki-laki merupakan siswa madrasah tsanawiyah, aliyah, sampai ma'had (pendidikan lanjutan selepas aliyah). Santri ma'had merupakan senior yang menjadi panutan semua santri. Sebagian santri ma'had yang memiliki kelimuan dan kesalihan lebih berperan menjadi pembimbing santri yunior.
Asrama terdiri dari bangunan yang sangat sederhana. Santri tinggal di asrama itu tidak dipungut biaya apapun. Bangunan dibuat oleh wali santri dengan bahan yang disiapkan sendiri. Bahan bangunan seadanya. Strukturnya berupa tiang kayu, dinding pagar bambu, dan lantai tanah. Jika santri tamat akan digantikan oleh santri baru. Demikian seterusnya siklus penghuninya.
Sebuah sumur di tengah asrama menjadi sumber air minum dan wudhu. Untuk mengambil air, sumur itu dilengkapi dengan sebuah gayung katrol. Jika ingin mandi santri memanfaatkan pancoran mata air di tebing sungai seberang jalan asrama. Tidak ada fasilitas toilet. Maka sungai menjadi pilihan kalau mau buang hajat besar.
Tempat tidur santri menggunakan dipan kayu. Sebagian menggunakan lincak. Tiang lincak ditanam sehingga letak tempat tidur tidak bisa diubah. Jika penghuninya mengubah posisi tidur lincak akan mengeluarkan irama derit mengimbangi nyanyian serangga malam.
Tidak ada kasur. Dipan hanya dihampari tikar pandan. Salah satu gangguan paling menjengkelkan adalah kutu busuk. Hewan penghisap darah itu sangat cepat membiak jika tikar tidak dijemur secara rutin.
Kesederhanaan itu digenapkan dengan cahaya lampu minyak pada malam hari. Dalam kepungan sinar elektrik di tengah kota kala itu, santri hanya mengandalkan temaram cahaya teplok. Jika sumbunya ditarik nyalanya akan membesar dan menghasilkan jelaga yang membuat titik hitam di hidung dan area wajah.
Untuk makan santri masak sendiri dengan menu seadanya. Biasanya santri membawa makanan mentahan dari rumah. Jika santri menenteng atau memanggul karung, itu pertanda baru kembali dari rumah. Karungnya berisi beras, biji-bijian, ikan kering, atau makanan lain yang dapat disimpan dalam waktu lama. Menu makanan setiap hari dimasak dengan bumbu yang sama. Cabai, bawang, tomat, tanpa terasi. Semua diulek menjadi satu di atas cobek tanah liat. Bumbu itu adalah resep masakan paling populer.
Momentum menggembirakan adalah saat hari-hari besar Islam, seperti, Maulid Nabi, Isra Mi'raj, atau lebaran. Mengapa? Pada hari-hari tersebut makanan melimpah. Sesekali santri diundang yasinan oleh warga sekitar. Ini bagian dari kebahagiaan karena ada suguhan makanan.
Pakaian yang dikenakan nyaris tidak pernah disetrika. Setelah dicuci biasanya pakaian kusut masau. Jalan keluarnya pakaian dilipat serapi mungkin lalu disusun di dalam lemari atau gerobak. Metode lainnya pakaian itu ditindih dengan bantal agar kusut itu dapat berkurang.
Kudis, koreng, dan penyakit gatal lain menjadi ciri khas lain yang memprihatinkan. Semua santri dipastikan pernah merasakan gatal-gatal pada tangan, kaki, punggung, sampai bagian tubuh yang tidak patut disebutkan.
Kesederhanaan dunia pesantren kala itu tidaklah membuat santri mengeluh. Sebaliknya, situasi itu telah menjadi ruang penempaan diri untuk belajar menjalani hidup dalam kemandirian. Di luar proses belajar formal, kehidupan asrama mengajarkan kami hidup bersama, saling menghargai. Adab, akhlak, atau karakter menjadi fokus utama. Maka perundungan pada masa itu menjadi hal yang tercela.
Lombok Timur, 23 Oktober 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H