Pagi itu saya juga membawa sepatu pantofel masih layak pakai untuk digunakan saat upacara bendera. Wildan menerimanya penuh girang bagai bocah mendapatkan mainan. Karena sudah terlanjur menggunakan sepatu keds Wildan tidak menggunakan sepatu yang saya bawakan. Sepatu itu juga terlalu kumal karena lama di simpan di gudang.
Beberapa hari sebelumnya Wildan didapuk teman-teman di sekolah menjadi petugas upacara. Mendapatkan tugas itu, dia menanyakan tugas dengan antusias.
"Apa tugas saya?" katanya antusias saat namanya disebut.
"Pembawa naskah Pancasila. Tugas itu paling gampang."
"Walaupun begitu saya perlu latihan," respon Wildan penuh semangat.
Lapor..!" Wildan mulai latihan melapor sambil berdiri siap di ruang kantor.
"Pembawa naskah itu tidak lapor," saya menjelaskan.
"Terus?"
"Hanya bawa map berisi naskah dan menyerahkannya kepada pembina upacara."
"O. Ya baru ingat. Waktu SD dulu pembawa naskah berdiri di belakang pembina upacara," Wildan dibawa ingatannya sendiri tentang pelaksanaan upacara saat masih sekolah dasar.
"Kalau begitu saya harus latihan jalan," tambahnya.
Rupanya Wildan tidak ingin berbuat kekeliruan saat upacara. Dia keluar halaman dan berlatih berjalan sesuai aturan upacara. Dengan arahan pembina ekstrakurikuler, Wildan berlatih bagaimana melaksanakan fungsinya sebagai petugas upacara.
Pagi itu dalam upacara pengibaran bendera Wildan telah berupaya maksimal untuk melakukan tugasnya secara sempurna.
"Pembacaan naskah Pancasila diikuti oleh seluruh peserta upacara."
Mendengar pembawa acara membaca bagian susunan upacara di atas, Wlidan bersiap. Dengan cekatan map naskah Pancasila yang menggantung ditangan kiri dan sejajar dengan pinggangnya naik sampai ke ketiak.
"Prak!" suara kaki kirinya menghentak keras. Selanjutnya kaki kanannya maju melangkah. Rupanya Wildan tidak memperhitungkan jaraknya dengan pembina upacara saat akan menyerahkan naskah yang dibawanya. Dia berjalan beberapa langkah hampir satu setengah meter di depan pembina upacara.
Wildan balik kanan menghadap pembina. Karena terlalu jauh Wildan maju tiga langkah. Pada titik perhentiannya Wildan menurunkan map dari ketiaknya lalu menyodorkannya kepada pembina upacara. Wildan tampak membungkuk saat melakukannya. Posisinya berdirinya memang cenderung renggang.
Setelah menyerahkan map, Wildan kembali berjalan menuju ke samping pembina upacara. Kali ini langkahnya agak gugup, grogi. Itu terlihat dari gerakannya. Saat mengubah arah posisi berdirinya, Wildan terlihat bingung. Kedua kakinya seakan hendak maju bersama. Sepasang kaki itu persis dua orang yang sedang berebut giliran tanpa menggunakan nomor antrean.
Di luar tugasnya sebagai penjaga sekolah, dia juga bekerja sebagai tukang bangunan. Pekerjaan itu membuat Wildan, yang hanya mengenyam bangku sekolah sampai SMP, lebih banyak bergaul dengan campuran semen dan pasir, meteran, cepang, dan selang timbangan. Maka wajar saja jika Wildan tidak maksimal melakukan perannya sebagai petugas upacara.