Pagi yang basah, Minggu (07/03/2022). Titik embun bertengger pada pucuk dedaunan dan rumput liar. Udara dingin menembus kulit jangat yang telanjang. Matahari baru saja muncul menghias lengkung langit di ufuk timur dengan warna peraknya. Sekawanan burung pipit mencicit riang menyanyikan kesegaran pagi.
Saya berjalan menyusuri jalan aspal di depan rumah yang mulai koyak. Belum lima tahun aspal itu sudah menciptakan ketidaknyamanan kepada penggunanya. Tidak saja pengaspalan yang asal-asalan tetapi tingginya arus kendaraan pembawa material bangunan membuat jalan mengalami kerusakan lebih awal.
Dengan mengenakan sarung, kaos oblong, dengan kupluk penutup kepala saya melangkah menuju acara begawe (hajatan) pernikahan salah seorang warga di kampung sebelah. Begawe merupakan istilah dalam masyarakat Sasak yang merujuk kepada acara hajatan atau pesta pernikahan atau hitanan. Begawe juga sering disematlkan pada acara tujuh hari, sembilan hari, atau seratus hari meninggalnya seseorang.
Sudah menjadi tradisi masyarakat kampung yang masih menjunjung tinggi budaya gotong royong untuk saling membantu saat salah satu warga melakukan acara begawe.
Solidaritas sosial dalam keseharian kampung masih kental. Seseorang bisa terkena sanksi sosial jika jarang menghadiri begawe tetangganya. Dia akan diisolir dari kehidupan masyarakat.
Seseorang yang jarang atau tidak pernah ikut serta dalam acara begawe pada saatnya nanti akan menjadi bahan pergunjingan. Jika yang bersangkutan mengadakan hajatan warga akan merasa enggan untuk membantunya.
Kampung tempat berlangsungnya begawe terletak di kaki bukit kecil. Sepagi itu, warga yang sudah ramai berdatangan untuk bekerja membantu mempersiapkan jamuan. Biasanya dimulai sejak subuh sehingga tamu undangan sudah dapat dijamu paling tidak jam 09.00 pagi.
Semua orang tampak bekerja di bawah tetaring, semacam naungan yang terbuat dari terpal dengan tiang bambu. Di masa lalu, naungan itu terbuat dari anyaman daun kelapa yang disebut kelansah. Ada juga yang menggunakan alang-alang. Selaras dengan perkembangan zaman tetaring dengan atap kelansah dan alang-alang mulai digantikan dengan terpal.
Sekumpulan laki-laki terlihat mengupas kelapa. Kelompok lainnya tampak mengupas dan memotong nangka. Sekelompok orang lainnya mengiris batang pisang yang masih muda. Nangka dan batang pisang merupakan menu makanan yang biasa disajikan sebagai hidangan begawe.
Dalam bahasa Sasak dua jenis makanan itu disebut ares. Ares pada dasarnya merupakan makanan yang bahan dasarnya batang pisang yang masih muda. Batang pisang itu diiris tipis-tipis setebal setengah sampai satu cm. Jika batang pisang sedang langka diganti dengan nangka muda. Begawe tidak akan lengkap rasanya tanpa masakan ares.
Setahu saya jenis bumbu yang digunakan untuk memasak ares itu sama. Keduanya merupakan makanan bersantan yang dilengkapi dengan cabai, bawang merah, kemiri, merica bawang putih, kunyit, dan lengkuas. Tentu saja digenapkan dengan garam sesuai takaran.
Juru masak dalam acara hajatan biasanya dilakukan oleh seorang masterchef ala kampung yang memang memiliki pengalaman memasak ares.
Warga yang datang untuk membantu biasanya membawa parang atau pisau. Mereka yang datang dengan perkakas pemotong yang tumpul akan jadi olok-olokan. Apalagi kalau datang dengan tangan kosong tanpa perkakas. Kedatangannya terkesan hanya untuk melihat-lihat saja.
Hal lain yang menarik dalam acara hajatan seperti itu adalah pamer parang atau pisau. Menjadi kebanggaan laki-laki kalau datang dengan parang yang tajam, bentuk yang bagus, dengan bahan besi baja yang berkualitas. Maka jika datang ke tempat begawe, biasanya para laki-laki datang dengan koleksi parang atau pisau yang paling bagus.
Saat bekerja mereka akan bercerita tentang asal usul parang dan pisau yang dibawa masing-masing, sejak kapan dimiliki, sudah berapa kali begawe digunakan, sudah pernah digunakan untuk apa saja dan seterusnya.
Tembakau merupakan bagian dari perbincangan para lelaki. Hanya sebagian kecil dari mereka tidak merokok. Pada kesempatan begawe sebagian besar membawa lompak, tempat tembakau yang terbuat dari anyaman lontar atau daun pandan. Lompak akan keluar dari saku masing-masing dan saling membandingkan rasa, bau asap, dan warna tembakau.
Itulah tradisi begawe, sebuah tradisi yang pada dasarnya dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. Sebuah kebiasaan warisan leluhur dimana momentum itu menjadi sebuah ruang dimana warga merasa sama. Kaya dan miskin melebur menjadi satu dalam semangat gotong royong dan kebersamaan.
Lombok Timur, 03 Juli 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H