Kedatangan tamu seorang guru pada masa itu, konon, merupakan sebuah kebanggaan. Mereka akan berusaha menyuguhkan hidangan terbaik. Tuan rumah akan bergegas ke sawah atau ladang untuk mengambil sayur atau tanaman palawija terbaik sebagai hidangan. Mereka juga tidak segan-segan mengorbankan ayam, itik, atau unggas ternak untuk disuguhkan.
Tidak berhenti sampai di sini, saat pulang guru dibekali dengan jagung, ubi, beras, atau hasil bumi lainnya untuk dibawa pulang. Jika dianggap berat, barang pemberian itu akan diantarkan sampai di rumah.
Diperlakukan seperti itu guru yang bersangkutan tidak sekadar memberikan ucapan terima kasih. Biasanya pemberian itu dibalas dengan hadiah berupa baju, kain atau kopiah.
Dikaitkan dengan fenomena pemberian hadiah untuk guru saat ini, sesungguhnya sudah terjadi sepanjang sejarah pendidikan. Sejalan dengan perubahan sosial dan budaya, pemberian hadiah itu kemudian menjadi perdebatan publik.
Saya tidak berupaya membenarkan atau menyalahkan guru yang menerima hadiah. Di satu sisi tidak ada salahnya guru mendapatkan hadiah dari siswa atau orang tua siswa sejauh itu dalam bentuk yang wajar. Tetapi tentu tidak bisa dibenarkan jika pemberian hadiah itu dapat memberatkan wali murid sehingga memberikan kesan yang tidak elok di tengah masyarakat.
Lombok Timur, 02 Juli 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H