Salah satu topik yang sedang ramai saat ini adalah fenomena pemberian hadiah untuk guru. Pemberian hadiah itu memicu munculnya pendapat yang beragam. Ada pihak yang tidak setuju karena dianggap sebagai bagian dari gratifikasi. Ada juga yang setuju karena dianggap sebagai bentuk penghargaan atau apresiasi siswa dan orang tua terhadap peran guru sebagai pendidik.
Pandangan lainnya melihat hadiah itu dianggap sebagai apresiasi atau gratifikasi tergantung seberapa besar nilai hadiah yang diberikan. Pandangan ini juga melihat bagaimana pemberian hadiah itu terjadi, atas permintaan guru atau memang niat tulus pihak wali murid.
Sebuah artikel yang ditulis seorang wali murid menyebutkan bahwa ada tradisi memberikan hadiah berupa sejumlah uang kepada guru di sebuah sekolah. Pemberian uang itu memang tidak diminta oleh guru tetapi seakan menjadi sebuah tradisi yang terbentuk atas kesepakatan secara alami dari waktu ke waktu. Karena telah menjadi sebuah tradisi, wali murid cenderung memaksakan diri untuk memberikan hadiah itu sehingga berupaya dengan berbagai cara.
Di masa lalu pemberian itu terbatas pada hasil bumi berupa beras, jagung, pisang, atau ubi dan berbagai hasil pertanian lainnya. Ada pula yang memberikan hasil ternak berupa ayam, itik, atau ternak unggas lainnya.
Ayah saya merupakan seorang guru produk masa lalu. Guru pada masanya adalah sosok yang dianggap serba bisa. Di luar tugas mengajarnya, guru diposisikan sebagai pemimpin secara kultural.
Sebagai pemimpin kultural, guru adalah tokoh masyarakat, tokoh agama, seseorang yang harus didengar, figur yang dianggap selalu bijak dan mampu memberikan solusi kepada masyarakat dalam memecahkan berbagai persoalan sosial, budaya, dan agama.
Dengan kedudukan seperti itu, guru pada masa lalu seringkali menjadi sumber pengambilan keputusan. Dalam batas tertentu, mungkin tidak berlebihan jika saya menyebut guru pada masa lalu dianggap sebagai sumber hukum. Sedemikian pentingnya peran guru membuat mereka harus terlibat dalam segala urusan kemasyarakatan.
Guru didapuk sebagai khatib, memimpin doa atau tahlilan, menjadi panitia hari besar keagamaan, sampai menjadi pengurus masjid adalah indikator bahwa guru ditempatkan masyarakat sebagai pemimpin kultural.
Dalam hal-hal yang sederhana guru kerap menjadi sandaran bagi masyarakat. Guru sering diminta membuat nama untuk anak-anak yang baru lahir. Tidak jarang pula nama-nama guru oleh masyarakat disematkan kepada anak-anak mereka. Jika sepasang suami istri berselisih, guru diminta menjadi penengah dan pemberi keputusan.
Saya pernah bertemu dengan murid-murid ayah atau paman saya yang juga seorang guru. Di antara mereka ada yang mengaku memberikan nama anaknya sama dengan nama ayah atau paman saya. Nama itu mereka gunakan dengan harapan anak-anak mereka dapat mengikuti jejak ayah atau paman saya sebagai guru.