Rupanya pengawal tambun tidak benar-benar keluar dari alam bawah sadarnya. Dia belum bangun.
"Heh! Apa maksudmu teriak-teriak Ayang Ayang begitu? Kamu mengigau."
Pengawal tambun tersadar. Rupanya dia bermimpi tengah berduaan bersama kekasihnya.
"Berani benar kamu duduk di kursi raja?" tanya Pengawal Tambun setelah tersadar dan melihat kawannya duduk santai di kursi raja. "Kamu tidak takut dimarahi Raja?"
"Takut Raja?" Pengawal ceking menjentikkan kuku jarinya.
Narasi di atas adalah penggalan aksi drama berjudul Putri Mandalika. Sebuah mitos yang berkembang dalam tradisi cerita lisan masyarakat Sasak. Pemainnya terdiri siswa SD Negeri 1 Embung Kandong, Kecamatan Terara, Lombok Timur.
Babak pertama drama menggambarkan kegelisahan Raja yang melihat putrinya tidak juga menemukan jodoh. Atas saran Patih, kerajaan kemudian mengadakan sayembara untuk memperebutkan sang Putri.
Babak ke dua menceritakan proses sayembara yang diikuti oleh sejumlah putra raja atau pangeran dari berbagai negeri. Pilihan Raja jatuh pada salah seorang pangeran karena membawa hadiah yang menggiurkan Raja. Pilihan Raja itu mendapatkan protes karena itu dianggap sebagai bentuk gratifikasi, sebuah fenomena suap menyuap terselubung yang banyak ditemukan dalam kehidupan sehari-hari.
Menyadari kekeliruannya, Raja memutuskan untuk memilih pendamping putrinya melalui baku pukul melalui peresean, sebuah olahraga tarung dengan menggunakan senjata tongkat dari rotan.
Drama putri Mandalika yang dipentaskan di halaman sekolah itu berdurasi sekitar satu jam. Selama satu jam pula drama itu mampu memagut perhatian penonton yang terdiri dari siswa, orang tua dan masyarakat setempat. Pemainnya terdiri dari anak-anak yang baru pertama kali berkenalan dengan seni drama. Namun demikian penampilan mereka cukup menghibur.
Drama dikemas dengan dialog campuran bahasa Indonesia dan bahasa daerah. Aksi panggung yang diwarnai dengan dialog dan aksi kocak pemainnya membuat suasana pentas hidup dan menghibur.