Mohon tunggu...
𝙔𝙖𝙢𝙞𝙣 𝙈𝙤𝙝𝙖𝙢𝙖𝙙
𝙔𝙖𝙢𝙞𝙣 𝙈𝙤𝙝𝙖𝙢𝙖𝙙 Mohon Tunggu... Guru - Ayah 3 anak, cucu seorang guru ngaji dan pemintal tali.

Guru SD yang "mengaku sebagai penulis". Saat kanak-kanak pernah tidak memiliki cita-cita. Hanya bisa menulis yang ringan-ringan belaka. Tangan kurus ini tidak kuat mengangkat yang berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Solidaritas Sosial Suku Sasak dalam "Tetaring" dan Keranda Jenazah

17 Maret 2022   09:56 Diperbarui: 17 Maret 2022   10:04 985
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kehadiran warga saat musibah kematian tidak sekadar datang untuk duduk-duduk ngobrol tetapi juga membantu persiapan pemakaman dan tahlilan selama sembilan hari

Saya tinggal di sebuah kampung kecil di Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Minggu ini salah seorang warga sekaligus keluarga dekat di kampung saya meninggal dunia. Peristiwa semacam ini tentu saja meninggalkan luka yang dalam bagi keluarga. Siapapun akan mengalami kesedihan belaka ketika salah seorang anggota keluarga pulang ke pangkuan Ilahi.

Tatkala terjadi musibah kematian, warga dari dalam dan luar kampung datang ke rumah duka untuk ikut berbela sungkawa atau memberikan takziyah kepada keluarga yang ditinggalkan. 

Sebuah tradisi yang telah mewarnai kehidupan masyarakat pedesaan di berbagai tempat. Tidak saja kematian, saling menjenguk saat sakit merupakan pemandangan biasa. Inilah ikatan sosial dan emosional yang masih melekat. Hal ini tidak saja menjadi tradisi pada suku Sasak (Lombok) tetapi juga pada berbagai tempat di Indonesia.

Kehadiran warga saat musibah kematian tidak sekadar datang untuk duduk-duduk ngobrol. Mereka tidak saja datang untuk menghibur keluarga yang ditinggalkan atau memberikan doa untuk almarhum atau almarhumah. Lebih dari itu, warga hadir untuk membantu mempersiapkan pemakaman sekaligus acara tahlilan yang biasanya dilaksanakan sampai sembilan hari. 

Sebelum teknologi komunikasi berkembang seperti saat ini, sejumlah warga diutus sebagai kurir pembawa kabar duka kepada keluarga dan kerabat yang tinggal di tempat-tempat jauh. Pada masa lampau, perjalanan itu ditempuh dengan jalan kaki. 

Belakangan tentu saja menggunakan alat transportasi. Sebelum berangkat, para kurir pembawa berita duka itu dibekali sikut, semacam temali yang ukurannya dipotong sepanjang tubuh jenazah. Sikut terbuat terbuat dari irisan memanjang gedebog pisang yang masih basah atau telah mengering, bambu, atau tali plastik. 

Ada semacam mitos bahwa dengan membawa sikut diyakini dapat menghindarkan kurir dari aral melintang dalam perjalanan. Saat ini mengirim kurir sudah jarang dilakukan. Kabar duka dapat tersebar ke berbagai tempat melalui panggilan handphone dan jaringan media sosial yang telah menyentuh semua tempat dan lapisan masyarakat.

Para perempuan tidak ketinggalan, Mereka datang belangar (melayat) bersama suaminya. Ada juga yang jalan bergerombol dengan sesama perempuan sambil membawa pelangar (barang bawaan berupa beras atau kebutuhan pokok) untuk keluarga yang ditinggalkan sebagai wujud ikut berbela sungkawa. Kini ada yang memilih cara praktis dengan membawa amplop berisi uang. 

Dalam keadaan duka keluarga tetap memberikan penghormatan kepada para pelayat. Pelayat tetap dianggap sebagai tamu yang harus dihormati dan mendapat pelayanan. Untuk itu keluarga biasanya menyiapkan makanan untuk pelayat yang datang dari tempat yang jauh. Namun, keluarga yang mengalami musibah tidak mungkin membuat persiapan itu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun