Kehadiran warga saat musibah kematian tidak sekadar datang untuk duduk-duduk ngobrol tetapi juga membantu persiapan pemakaman dan tahlilan selama sembilan hari
Saya tinggal di sebuah kampung kecil di Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Minggu ini salah seorang warga sekaligus keluarga dekat di kampung saya meninggal dunia. Peristiwa semacam ini tentu saja meninggalkan luka yang dalam bagi keluarga. Siapapun akan mengalami kesedihan belaka ketika salah seorang anggota keluarga pulang ke pangkuan Ilahi.
Tatkala terjadi musibah kematian, warga dari dalam dan luar kampung datang ke rumah duka untuk ikut berbela sungkawa atau memberikan takziyah kepada keluarga yang ditinggalkan.
Sebuah tradisi yang telah mewarnai kehidupan masyarakat pedesaan di berbagai tempat. Tidak saja kematian, saling menjenguk saat sakit merupakan pemandangan biasa. Inilah ikatan sosial dan emosional yang masih melekat. Hal ini tidak saja menjadi tradisi pada suku Sasak (Lombok) tetapi juga pada berbagai tempat di Indonesia.
Kehadiran warga saat musibah kematian tidak sekadar datang untuk duduk-duduk ngobrol. Mereka tidak saja datang untuk menghibur keluarga yang ditinggalkan atau memberikan doa untuk almarhum atau almarhumah. Lebih dari itu, warga hadir untuk membantu mempersiapkan pemakaman sekaligus acara tahlilan yang biasanya dilaksanakan sampai sembilan hari.
Sebelum teknologi komunikasi berkembang seperti saat ini, sejumlah warga diutus sebagai kurir pembawa kabar duka kepada keluarga dan kerabat yang tinggal di tempat-tempat jauh. Pada masa lampau, perjalanan itu ditempuh dengan jalan kaki.
Belakangan tentu saja menggunakan alat transportasi. Sebelum berangkat, para kurir pembawa berita duka itu dibekali sikut, semacam temali yang ukurannya dipotong sepanjang tubuh jenazah. Sikut terbuat terbuat dari irisan memanjang gedebog pisang yang masih basah atau telah mengering, bambu, atau tali plastik.
Ada semacam mitos bahwa dengan membawa sikut diyakini dapat menghindarkan kurir dari aral melintang dalam perjalanan. Saat ini mengirim kurir sudah jarang dilakukan. Kabar duka dapat tersebar ke berbagai tempat melalui panggilan handphone dan jaringan media sosial yang telah menyentuh semua tempat dan lapisan masyarakat.
Para perempuan tidak ketinggalan, Mereka datang belangar (melayat) bersama suaminya. Ada juga yang jalan bergerombol dengan sesama perempuan sambil membawa pelangar (barang bawaan berupa beras atau kebutuhan pokok) untuk keluarga yang ditinggalkan sebagai wujud ikut berbela sungkawa. Kini ada yang memilih cara praktis dengan membawa amplop berisi uang.
Dalam keadaan duka keluarga tetap memberikan penghormatan kepada para pelayat. Pelayat tetap dianggap sebagai tamu yang harus dihormati dan mendapat pelayanan. Untuk itu keluarga biasanya menyiapkan makanan untuk pelayat yang datang dari tempat yang jauh. Namun, keluarga yang mengalami musibah tidak mungkin membuat persiapan itu.
Di sinilah warga tampil bekerja bersama-sama membantu keluarga menyiapkan makanan, Makanan yang dimasak diambil dari pelangar yang dibawa warga. Pada saat yang sama, pelayat tentu saja tidak berfikir bahwa mereka tidak dalam posisi sebagai tamu. Mereka datang ke rumah duka semata-mata untuk menunjukkan sikap belasungkawa.
Para laki-laki pun tidak ketinggalan. Mereka membersihkan area di sekitar rumah duka atau mendirikan tetaring, semacam naungan sementara tempat menerima tamu atau tempat melaksanakan acara hajatan. Tetaring itu pula yang digunakan sebagai tempat tahlilan selama sembilan hari karena tidak mungkin menampung warga yang datang di dalam rumah.
Naungan sementara itu menggunakan tiang bambu. Pada masa lampau atapnya menggunakan ilalang atau kelansah (daun kelapa yang telah dianyam). Kini atap tetaring lebih praktis karena menggunakan naungan terpal. Sebagian orang sudah menggunakan terop. Pada daerah lain di Indonesia, seperti di Bali, tetaring merupakan naungan yang familiar.
Sebagian dari warga laki-laki juga menyiapkan liang pemakaman. Tidak ada layanan jasa gali kubur. Semua warga bisa berperan sebagai penggali kubur secara sukarela. Satu hal yang menarik, penggalian kubur biasanya diawali oleh orang-orang tertentu yang dianggap tetua di kampung. Tetua yang dipercaya itu bisa pemuka agama atau kiai.
Pihak keluarga hanya menyiapkan andang-andang, semacam persyaratan yang disediakan pihak keluarga untuk penggali kuburan. Persyaratan itu berupa beras seadanya, segelas air, sirih, buah pinang, dan uang sekadarnya.
Andang-andang itu jarang diambil penggali kubur. Andaipun ada yang mengambilnya, para penggali kubur hanya mengambil sejumput beras untuk dimakan mentah di tempat. Ada pula yang hanya mencelupkan jemari ke dalam air kemudian diusapkan ke matanya. Ini dilakukan sebagai bukti bahwa andang-andang itu telah diterima para penggali. Tanpa andang-andang warga yang menggali kubur dipercaya dapat terpapar penyakit tertentu.
Pada sejumlah tempat, beberapa keperluan untuk pemandian jenazah sampai pemakaman sudah mengalami perubahan. Untuk memandikan jenazah sekarang telah banyak digunakan meja pemandian. Namun, di kampung saya meja pemandian tidak digunakan. Keluarga lebih memilih memangku jenazah dengan duduk berselonjor secara berhadap-hadapan. Mereka biasanya merupakan keluarga terdekat--anak, cucu, saudara, dan keluarga dekat lainnya. Hal ini dilakukan sebagai bentuk penghormatan kepada jenazah.
Warga berbagi tugas, tidak ada yang berpangku tangan dalam membantu keluarga yang berduka. Kurung batang atau Keranda, sebagai salah satu perlengkapan utama, juga dibuat warga secara bersama-sama. Pada umumnya keranda terbuat dari bambu. Walau pun saat ini di berbagai tempat telah banyak digunakan keranda permanen yang terbuat dari besi tahan karat keranda berbahan bambu tetap dipertahankan. Warga lebih memilih membuat keranda baru dengan bahan bambu.
Dengan membuat keranda bambu warga tidak datang hanya untuk berpangku tangan. Kehadirannya di rumah duka harus memberikan sesuatu kepada keluarga yang berduka. Paling tidak sumbangan tenaga dengan bersama-sama membuat tetaring, memasak untuk pelayat dari tempat yang jauh, atau membuat keranda. Inilah bentuk empati paling primordial warisan leluhur.
Munculnya empati itu dengan serta merta menciptakan kecenderungan seseorang untuk mengikat diri dalam kehidupan bersama yang sering disebut dengan solidaritas sosial.
Masih banyak lagi warisan praktek postif tradisi masyarakat Indonesia yang bernilai luhur. Sebagian warisan itu masih bertahan dan sebagian lagi tertimbun zaman yang telah membiakkan gaya hidup individual dan pragmatis.
Lombok Timur, 17 Maret 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H