Ecobrick, sebuah metode pengelolaan limbah plastik dengan memadatkan limbah non-biological ke dalam botol plastik
Pagi itu cuaca cerah. Matahari membelai bumi dengan kehangatan paripurna. Udara tidak berhembus. Rindang pohon mangga di halaman sekolah diam mematung diri, persis barisan sejumlah orang yang tengah berjemur di bawah kehangatan mentari.
Gerbang sekolah sudah dibuka. Tampak siswa sudah ramai. Beberapa siswa berkerumun di lapak depan sekolah untuk mendapatkan sarapan. Sebagian siswa sering enggan makan pagi di rumah. Mereka lebih suka membeli sarapan.
Dengan selembar alat tukar dua ribuan mereka sudah bisa menyantap nasi dengan menu seiris telur goreng, dan sejumput mie sambal. Ada juga koyakan daging ayam. Jika jemari anak-anak usia 10-12 tahun dibuka, permukaan empat jarinya akan tertutup oleh hamparan koyakan daging tersebut. Menu yang lumayan untuk harga selembar dua ribuan. Porsi itu sudah cukup bagi anak-anak untuk memeras pikiran, mengejar bola, atau main lompat tali.
Siswa lainnya terlihat bermain di halaman sekolah. Siswa yang mendapat tugas piket kebersihan terlihat membersihkan ruang kelas dan halaman sekolah. Satu dua siswa yang terbiasa usil mencandai teman-temannya yang sedang membersihkan halaman sekolah.
Sejumlah siswa lainnya membawa botol plastik bekas air mineral ukuran satu liter. Anak-anak pembawa botol itu berulang kali menunduk dan memungut sesuatu lalu menjejalkannya ke dalam botol yang mereka bawa. Sesekali mereka terlihat berebut. Beberapa siswa lainnya berada di area pembuangan sampah samping sekolah. Mereka melakukan hal yang sama. Menjejali botol-botol mereka dengan sesuatu.
Untuk proyek ini, sebelumnya siswa mendapatkan penjelasan terlebih dahulu tentang gambaran proyek ecobrick. Selanjutnya mereka ditugaskan membawa botol plastik air mineral dengan kapasitas satu liter. Pada minggu pertama hanya satu dua orang siswa yang dapat memenuhi tugas itu. Mereka kesulitan mendapatkan botol plastik.
Botol plastik sudah jarang ditemukan di kampung sekitar. Kondisi ini disebabkan penduduk setempat jarang mengkonsumsi air kemasan botol. Mereka lebih banyak mengkonsumsi air sumur kecuali apabila masyarakat mengadakan kegiatan tertentu. Itupun kemasan air dalam gelas plastik. Selain itu, masyarakat di lingkungan sekitar sekolah memiliki mata pencaharian sebagai pengepul barang bekas. Pengepul itu mengincar kardus, gelas dan botol plastik, besi tua, kertas tak terpakai, panci tak berfungsi, sampai ember pecah.
Kecuali barang-barang bekas di atas, kemasan plastik pembungkus kue atau jajanan pabrik maupun rumahan tidak populer di kalangan pengepul. Kemasan plastik itu dapat ditemukan di mana-mana dan menjadi sampah yang belum dapat ditangani secara maksimal di banyak tempat.
Pemandangan ini juga mewarnai lingkungan sekolah. Setiap hari sampah plastik itu terlihat berserakan di berbagai sudut. Padahal setiap hari pula anak-anak diingatkan untuk membuang sampah itu pada tempat yang sudah disiapkan. Sangat sulit mengubah kebiasaan membuang sampah pada tempatnya tanpa diikuti oleh sebuah program yang menarik.
Akhirnya sekolah mencoba alternatif penanganan sampah anorganik itu melalui program ecobrick. Karena botol yang dibawa siswa tidak sesuai dengan harapan, sekolah bekerja sama dengan pengepul barang bekas di sekitar sekolah.
Dengan dana 25-30 ribu sekolah sudah bisa mendapatkan botol penampungan sampah 100-125 botol plastik. Kerja sama ini tentu saling menguntungkan. Pengepul dapat "cuan" dan sekolah mendapat botol plastik. Hubungan sekolah dan pengepul juga dapat menjadi media sosialisasi program sekolah dalam pengelolaan sampah.
Pada awalnya, siswa terlihat tidak begitu tertarik dengan proyek ini. Seperti semua orang pada umumnya, berhubungan dengan sampah bukanlah hal yang menyenangkan, kecuali para pemulung atau pengepul barang bekas.
Siswa juga memperlihatkan sikap yang sama. Hanya sebagian kecil saja yang memang memiliki kepatuhan melaksanakan tugas yang diberikan oleh guru mau melakukannya secara maksimal. Beberapa siswa yang terbiasa dengan kebersihan, tampak kurang nyaman karena sebagian sampah itu sudah bercampur dengan berbagai jenis kotoran pada tempat pembuangannya.
Kurangnya respon siswa membutuhkan waktu berhari-hari untuk menghasilkan belasan botol berisi sampah non-biological sampai padat. Ketika botol-botol itu sudah cukup banyak yang terisi dengan sampah plastik, siswa kemudian diajak merakit botol itu menjadi kursi. Sebuah kursi tanpa sandaran berhasil dirakit.
Embung kandong, 15 Maret 2022
Catatan:
SD Negeri 1 Embung Kandong (https://goo.gl/maps/KcfBYVkoK3CPcq897)
Lokasi; Kampung Keselet, Desa Embung Kandong, Kecamaran Terara, Lombok Timur NTB
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H