Suatu siang, pada bulan ke sekian, tahun yang bersangkutan, saya harus menekan kejengkelan paripurna. Saat itu siang telah menua. Matahari sudah meninggalkan titik kulminasinya. Saya keluar dari pintu menuju mesin 4 langkah yang akan membawa saya pulang.
Saya naik jok menancapkan kunci. Kaki dan tangan saya bekerja menjalankan fungsinya masing-masing untuk menghidupkan mesin secara manual. Satu, dua, tiga, empat, lima, dan seterusnya kaki saya terus menggenjot tangkai starter. Pada saat yang sama, tangan kanan saya memutar gas mengimbangi genjotan kaki.
Serasa tidak ada percikan api pada busi. Kaki ini sudah pegal tetapi mesin tidak juga hidup. Saya berfikir mungkin businya mati. Saya menunduk memeriksa busi. Saya tersenyum kecut melihat tutup busi tidak terpasang pada tempatnya. Lepas.
"Ini pasti ulah bocah usil", fikir saya sambil mencoba menghidupkan mesin.
"Geruuuuung. Geruuuuung..!" mesin keluaran masa lalu hidup.
Saya tancap gas. Pulang. Belum sampai 100 meter mesin menunjukkan gejala kehabisan bahan bakar. Padahal sehari sebelumnya saya isi full tanki dengan BBM paling lux di kelasnya.
Saya berhenti memeriksa kran BBM. Saya terperangah. Krannya mengatup. Pantas saja. Saya kembali bergumam lagi, "Ini pasti ulah bocah usil."
Hal yang sama terjadi pada hari keesokan harinya. Kali mesin hidup normal. Tetapi belum 100 meter roda berputar, gejala kehabisan BBM timbul lagi. Refleks ingatan saya membayangkan kejadian kemarin. Kran BBM. Benar. Posisi kran tertutup.
"Bocah memang usil."
Lombok Timur, 14 Maret 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H