Mohon tunggu...
𝙔𝙖𝙢𝙞𝙣 𝙈𝙤𝙝𝙖𝙢𝙖𝙙
𝙔𝙖𝙢𝙞𝙣 𝙈𝙤𝙝𝙖𝙢𝙖𝙙 Mohon Tunggu... Guru - Ayah 3 anak, cucu seorang guru ngaji dan pemintal tali.

Guru SD yang "mengaku sebagai penulis". Saat kanak-kanak pernah tidak memiliki cita-cita. Hanya bisa menulis yang ringan-ringan belaka. Tangan kurus ini tidak kuat mengangkat yang berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pardi

25 Januari 2022   20:40 Diperbarui: 25 Januari 2022   20:55 376
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tidak semua pemilik kendaraan bersedia menerima jasanya. Tidak jarang Pardi bertemu wajah sinis yang tidak ingin kendaraannya disentuh apalagi dilap. Orang seperti itu seakan melihat Pardi seperti makhluk menjijikkan. Pardi hanya bisa cengengesan penuh getir jika ketemu orang macam itu.

Kehidupan kota tidak saja mengajarkan Pardi hal baik melainkan juga hal buruk. Uang hasil kerjanya sering ludes dalam lemparan kartu domino atau kartu remi bersama teman- temannya. 

Dalam keadaan terdesak Pardi harus berdiri tegak di atas pijakannya dengan memilih cara yang tidak pantas, cara yang tidak pernah dia kehendaki. Dia harus hidup. Di tengah keramaian, tangan Pardi bekerja cekatan mengambil dompet atau apa saja dari saku orang-orang yang lengah. Untuk keahlian ini, Pardi pernah masuk sel tahanan dua sampai tiga kali.

Suatu ketika saat keluar dari penjara Pardi tidak memiliki apapun. Tidak ada jemputan keluarga. Tidak ada uang. Pardi hanya memiliki pakaian yang melekat di badannya. Berjalan seharian dibawa langkah kaki tanpa kepastian membuat lambungnya mengaum. Ususnya melilit. Pardi lapar. Rupanya iblis tidak pernah meninggalkannya begitu saja. Iblis seolah membisikkan sesuatu ke dalam pikiran Pardi. Iblis memberikan inspirasi cara memperoleh makanan.

Pikran "kreatif" dari kepalanya menciptakan ide jahat untuk mempertahankan hidupnya. Di pembuangan sampah Pardi mengambil kardus. Diisinya dengan potongan batu bata. Kardus diikat rapi. Pardi lalu berjalan mantap ke sebuah warung makan sambil menenteng kardus. Pardi memesan nasi. Pardi makan. 

Setelah makan Pardi mendekati pemilik warung dan mengaku baru sadar kalau dia kehilangan uang. Pardi minta waktu untuk mencari pinjaman kepada temannya dengan kardus sebagai jaminan. Tampang Pardi yang tampak polos menerbitkan kepercayaan pemilik warung. Pardi pergi dengan aman dan tak mungkin kembali ke warung itu.

Keluar dari penjara tidak membuat hidup Pardi berubah. Dia tetap Pardi dengan segala kebiasaan yang terbentuk oleh lingkungan dan tuntutan hidup. Masih demi menyambung hidup, Pardi pernah menerima tantangan uji nyali dari sesama gelandangan untuk makan di toilet umum. Tai berserakan memenuhi kloset yang tidak pernah disiram. Jorok. Menjijikkan. Pardi menghabiskan makanannya dan mendapatkan imbalan untuk hidup sehari.

Pardi menjalani hari-harinya dalam tempaan pengalaman hidup yang kegetirannya hanya dapat dibayangkan orang yang hidup bersamanya. Namun kegetiran itu justru memantik kemampuan berfikirnya untuk menemukan jalan menuju pemenuhan kebutuhan hidupnya. Kecuali kebutuhan papan sebagai gelandangan, Pardi harus berjibaku dengan keadaan untuk memenuhi kebutuhan organ pencernaannya. Di lingkungan keras itu Pardi menemukan gagasan baru yang terkesan santun dan bermoral tetapi tetap saja jahat.

Pardi lahir dengan postur tubuh pendek, kurus, dan kulit legam, selegam masa lalunya. Kalau berdiri betisnya melengkung ke belakang. Pardi harus menerima takdir dengan penampilan yang layak dikasihani. Wajahnya selalu tampak memelas. Rupanya keadaan itu bagi Pardi merupakan keuntungan sekaligus sumber dosa.

Pardi menyusun skenario untuk dipentaskan di hadapan calon korbannya. Pardi berperan sebagai orang kampung polos. Pura-pura nyasar dan kecopetan. Kepada calon korbannya Pardi bertanya arah jalan pulang dan mengaku tidak punya ongkos. Tanpa mengeluarkan ekspresi sedih wajah Pardi memang sudah menyedihkan. Sisi kemanusiaan sang korban tentu saja terketuk melihat Pardi dengan wajah menyayat hati. Korban tergerak merogoh sakunya dan Pardi terhindar dari bencana kelaparan.

Pada akhirnya Pardi sadar tidak mungkin hidupnya terus-menerus di jalan. Dia bertekad menjalani kehidupan normal. Pardi ingin beranak pinak. Dia lalu pulang kampung dan menikahi perempuan sekampungnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun