Mohon tunggu...
𝙔𝙖𝙢𝙞𝙣 𝙈𝙤𝙝𝙖𝙢𝙖𝙙
𝙔𝙖𝙢𝙞𝙣 𝙈𝙤𝙝𝙖𝙢𝙖𝙙 Mohon Tunggu... Guru - Ayah 3 anak, cucu seorang guru ngaji dan pemintal tali.

Guru SD yang "mengaku sebagai penulis". Saat kanak-kanak pernah tidak memiliki cita-cita. Hanya bisa menulis yang ringan-ringan belaka. Tangan kurus ini tidak kuat mengangkat yang berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pardi

25 Januari 2022   20:40 Diperbarui: 25 Januari 2022   20:55 376
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam seminggu dua sampai tiga pagi Pardi tidak langsung pulang usai shalat subuh. Jam delapan sampai jam sembilan dia masih di masjid. Apa yang dilakukannya? Pardi masih memainkan sapu dan alat pel ke lantai masjid sampai tak ada debu yang melekat. Tidak saja lantai tetapi juga pintu, jendela, hingga plafond menjadi sasaran kerjanya.

Segala sesuatu yang berpotensi membuat masjid kumuh dibersihkannya. Cecak-cecak yang berkeliaran di langit-langit dan dinding masjid diburunya. Tak kurang akal, cecak yang tak terjangkau ditangkapnya dengan sapu bertangkai panjang. Cecak yang jatuh ke lantai segera disergapnya. 

Sebelum binatang itu sempat memutuskan ekornya untuk menyelamatkan diri, tangan Pardi dengan sigap sudah menangkapnya. Pardi merasa harus menyingkirkan hewan yang menurut sebuah riwayat pernah hampir mencelakai kehidupan Nabi Agung Muhammad SAW. Hewan itu berak sembarangan. Beraknya najis dan menyebabkan shalat tidak sah kalau melekat pada pakaian atau terinjak kaki.

Demikianlah rutinitas Pardi, marbot masjid. Tidak heran jika ubin masjid selalu bersih dan mengkilap. Saking bersihnya, kalau Tuan dan Nyonya rebahan di ubin itu tanpa alas dengan mengenakan baju putih, dapat dipastikan akan bangun dengan baju putih tanpa warna lain. 

Pardi, laki-laki bertubuh mungil, memiliki kisah hidup dengan masa lalu yang muram. Lahir dan tumbuh dalam keluarga papa dan menjalani kehidupan kanak-kanak pada masa paceklik. Pardi menjalani masa kecil dimana negerinya masih merangkak dalam banyak aspek kehidupan. 

Sepetak sawah milik orang tuanya tidak bisa membantunya bertahan hidup karena masa itu belum ada penggunaan teknologi pertanian seperti sekarang ini. 

Situasi itu mengharuskan Pardi hidup sebagai petualang sejak kecil. Dia tinggalkan kampung halaman untuk melanjutkan hidup karena di tanah kelahirannya tak menjanjikan harapan apapun. Dalam usia yang masih sangat belia Pardi berangkat ke kota.

Di kota Pardi berjumpa dengan kehidupan cadas. Pardi hidup menggelandang. Tidur di kolong jembatan atau emper toko. Sering pagi-pagi Pardi harus kena damprat karena masih tidur terkulai dan menghalangi jalan pemilik toko yang hendak buka. Kehidupan cadas itu membawa Pardi kepada persaingan hidup yang tidak jarang membuatnya tidak bisa menghindar dari adu jotos dengan sesama gelandangan.

Segala kerja dilakoni. Jualan kue, kuli panggul, kernet, sampai menjadi pemulung. Sesekali dengan hati yang perih Pardi mengemis. Dalam kesempatan lain Pardi membawa potongan kain lusuh ke tempat-tempat parkir. Dengan kain itu dibersihkannya kendaraan yang sedang diparkir. 

Dipilihnya kendaraan yang tidak jauh dari pemiliknya agar bisa membuktikan layanan jasanya dan punya alasan menengadahkan tangan untuk minta upah demi melanjutkan hidup hari itu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun