Bagi abituren (alumni) yang pernah menuntut ilmu di Pancor sampai tahun 85-an sebagian besar mungkin tidak asing dengan asrama Hisponwadi. Saya menduga itu singkatan dari Himpunan Santri/Siswa Pondok Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah (kalau saya ridak salah). Asrama itu terletak di antara Mushalla Al-Abror (kediaman Al-Magfurullah) dan bangunan Muallimat NW Pancor.
Santri yang tinggal di asrama Hisponwadi tidak dipungut biaya apapun. Bangunannya dibuat sendiri oleh wali santri. Kalau mereka tamat akan diisi oleh santri baru. Demikian siklus penghuninya.
Bentuknya sangat sederhana. Tiangnya terbuat dari bambu. Atapnya bombong (daun kelapa). Dindingnya pagar bambu. Lantainya tanah. Jika pulang liburan seminggu saja santri akan menemukan cendawan tumbuh subur di lantai bawah tempat tidurnya saat kembali ke asrama. Mungkin penyebabnya karena lantai tanah selalu lembab.
Tempat tidur penghuninya rata-rata dipan kayu. Di atasnya terhampar tikar pandan sebagai alasnya. Beberapa santri menggunakan lincak (tempat tidur dari bambu). Kaki lincaknya ditanam sehingga posisinya tidak bisa dipindahkan. Tidak ada kasur apalagi spring bed. Saat mengubah posisi tidur lincak itu akan mengeluarkan irama derit yang mengimbangi nyanyian serangga malam.
Kesederhanaan itu digenapkan dengan remang cahaya lampu minyak pada malam hari. Kalau sumbu lampu itu ditarik lebih panjang nyalanya membesar dan memicu terbangnya jelaga yang membuat hidung dan area sekitar wajah akan menghitam saat belajar. Santri sekarang tentu tidak dapat membayangkan bagaimana penghuninya belajar dengan dukungan lampu minyak yang hanya mampu menghasilkan cahaya remang-remang.
Satu hal yang masih membekas dalam kesadaran saya sebagai bagian dari kehidupan santri kala itu adalah semangat menuntut ilmu tidak seremang lampu yang kami gunakan. Sebaliknya kondisi itu seakan menjadi sumber energi yang membakar semangat belajar.
Fasilitas air sebagai kebutuhan utama hanya mengandalkan sebuah sumur timba yang berada persis di tengah asrama. Di salah satu sisi sumur terdapat sebuah penampungan air. Dari sumur itu santri mengambil air untuk masak di samping untuk wudlu. Satu dua orang memanfaatkannya untuk mandi. Penghuni asrama lebih memilih untuk mandi ke Kokok Tojang atau Sanggeng.
Tidak ada toilet di asrama. Maka saat otot-otot anus bergerak refleks mendorong sisa-sisa makanan dalam usus, santri bergegas ke Kokok Tojang atau Sangggeng untuk meluapkan dorongan beol. Bagi yang takut kegelapan biasanya mereka buang hajat sore atau petang hari untuk menghindari luapan limbah pada malam hari akibat proses metabolisme dalam tubuh.
Asrama Hisponwadi dihuni santri laki-laki dengan tingkat sekolah yang beragam, mulai dari tsanawiyah sampai ma'had. Latar belakang keluarga secara ekonomi dan sosial juga beragam. Keberagaman itu tidaklah membuat adanya sekat antar santri. Santri berbaur dalam semangat dan keinginan yang sama. Belajar dan menempa diri dengan ilmu dan akhlak.
Tidak saja bangunannya yang sederhana. Menu makanan juga seadanya--biasanya biji kacang-kacangan, seperti, kacang tanah, kacang kedelai, kacang panjang, kecipir, dan semacamnya. Kacang-kacangan itu sengaja dipilih karena dapat mudah didapat dan dapat disimpan dalam waktu lama. Semua kacang-kacangan itu dimasak dengan resep yang sama. Bumbunya cabe, bawang, tomat, dan garam secukupnya.
Semua bumbu itu diulek jadi satu dalam cobek tanah liat. Kadang-kadang dicampur daun ubi jalar yang merambat di dinding asrama. Sesekali santri makan telur yang dimatangkan bersama nasi yang dimasak. Bila maulid, lebaran, dan hari besar Islam tiba, santri dilanda euforia karena makanan melimpah. Kadang-kadang kami diundang warga Pancor untuk hiziban (doa yang disusun oleh KH. Zainuddin Abdul Majid, pendiri Nahdlatul Wathan Pancor NTB). Ini menjadi momen paling membahagiakan karena akan makan enak.
Saat persediaan makanan sudah habis biasanya santri pulang lalu kembali dengan memikul karung berisi beras dan berbagai jenis kebutuhan. Sebuah pemandangan yang galib masa itu jika santri bawa karung berarti baru datang dari rumah.
O, ya. Salah satu ciri khas kami saat itu adalah koreng dan kudis. Tidak seorangpun dari kami luput dari serangan penyakit yang disebabkan bakteri itu. Semua penghuni pernah diserang gatal-gatal terutama pada bagian yang tak patut untuk disebutkan.
Tahun 1985 Hisponwadi terbakar. Saat itu saya di tahun ke dua di bangku Tsanawiyah Muallimin. Tidak satupun bangunan asrama yang tersisa. Semua lenyap dimakan api yang konon bersumber dari kompor milik salah seorang santri. Semua penghuni asrama 'rarut' dan mencari tempat tinggal baru.
Secara logika, Mushalla al-Abror di sebelah timur, madrasah Muallimat di sebelah barat, dan gedung thullab ma'had di sebelah selatan mestinya ikut terbakar tetapi kobaran api tak sampai menyentuhnya.
Hisponwadi bagi saya adalah tempat paling nyaman dan paling teduh yang pernah saya temukan setelah rumah. Asrama sederhana itu menyimpan kenangan yang mengesankan. Terlepas dari belajar formal di madrarsah, di asrama itu saya banyak belajar tentang rasa sakit, keprihatinan, dan kesederhanaan sekaligus ketegaran. Asrama itu tidak saja menularkan koreng dan kudis tetapi kemandirian sekaligus kebersamaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H