Mohon tunggu...
Mohamad Adi Saputra
Mohamad Adi Saputra Mohon Tunggu... Administrasi - Nim 43121010124 _ Universitas Mercubuana
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Dosen : Apollo, prof. Dr, M.S.Si.Ak, CIFM, CIABV, CIBG) Nim : 43121010124 Kampus Universitas Mercubuana Meruya

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Jeremy Bentham yang Sangat Populer di Inggris

21 Maret 2022   14:05 Diperbarui: 21 Maret 2022   14:05 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Nama Jeremy Bentham sangat populer di kalangan masyarakat Inggris hingga sekarang ini. Ia lahir pada tanggal 15 Februari 1748 di London, Inggris. Ayah dan kakeknya berprofesi sebagai jaksa yang berkecimpung di bidang hukum. 

Latar belakang profesi ini membuat Bentham memiliki minat yang sangat tinggi terhadap masalah hukum sejak ia kecil. Ia lalu menempuh pendidikan hukum di Oxford dan memperoleh kualifikasi terakhir sebagai seorang barrister atau advokat di London. Hukum pula yang memberikan kontribusi besar mengharumkan namanya hingga memasuki abad ke21 ini.

Kondisi sosial politik yang didominasi oleh berbagai praktik ketidakadilan sosial di zamannya mendorong Bentham sebagai seorang mahasiswa hukum untuk peduli pada persoalan-persoalan yang berkaitan dengan moralitas publik. 

Ia terinspirasi untuk menulis banyak esai yang berkaitan dengan problem etika, politik, dan hukum yang memiliki relevansi praktis. Karena memiliki pemikiran yang luas, ia dipercayakan menjadi pemimpin kelompok filsuf radikal (philosophical radicals) yang menjadi ujung tombak (avant garde) dari gerakan reformasi liberal di Inggris. 

Gerakan ini banyak menyoroti masalah-masalah seputar pendidikan, hukum tentang aktivitas seksual, praktik korupsi dalam institusi-institusi publik, penyensoran dan pemenjaraan para pelaku kejahatan alias narapidana di Inggris.

Bentham merupakan salah seorang filsuf besar aliran empirisme yang berpengaruh di bidang moral dan politik. Pemikiran filsafat hukum Bentham dipengaruhi oleh banyak filsuf sebelumnya. 

Gagasan penting Bentham tentang The Greates Happines Principle sangat kuat dipengaruhi oleh nama-nama filsuf seperti Protagoras, Epicurus, John Locke, David Hume, Montesquieu dan Thomas Hobbes. 

Sebagai filsuf pendiri utilitarisme Inggris, Bentham tumbuh menjadi seorang pemikir brilian yang menanamkan pengaruh kukuh bagi para filsuf pelanjut tradisi sesudahnya. Beberapa nama yang dapat disebutkan antara lain John Stuart Mill, Hendry Sidgwick, Michael Foucault, Peter Singer, John Austin, dan Robert Owen.

Di antara banyak filsuf yang mempengaruhi dinamika pemikiran Bentham, David Hume patut dicatat sebagai seorang filsuf penting yang sangat mempengaruhi pemikiran Bentham. Hume hidup antara tahun 1711-1776. 

Hume memiliki pemikiran kritis-rasional brilian yang meruntuhkan dasar teori ilmu alam waktu itu. Hume menegaskan bahwa sesuatu yang berguna haruslah dapat membawa kebahagiaan bagi individu manusia. Semua keputusan hukum harus menjamin kebahagiaan manusia baik sebagai individu maupun sosial.

Seorang pemikir biasanya menuangkan gagasannya dalam dokumen atau tulisan. Begitu juga halnya dengan Bentham yang senang menulis walau ia enggan untuk menerbitkan karya tulisnya. Ada satu hal yang unik dari sosok seorang Bentham. 

Sebelum satu tulisannya selesai, ia suka meninggalkan tulisan pertama yang belum tuntas digores dan langsung beralih untuk menggores tulisan lain lagi. Kalaupun ia menyelesaikan tulisannya itu, ia tidak suka mempublikasikannya ke publik. Namun banyak teman membantunya sehingga tulisan-tulisannya akhirnya bisa terekspos juga ke media massa.

Bentham sangat konsisten untuk memperjuangkan masalah-masalah hukum. Bentham bahkan merogoh koceknya sendiri dan mendirikan sebuah Westminister Review pada tahun 1824. Selama bertahun-tahun forum ini mempublikasikan ide-ide politik dan hukum Bentham bagi kalangan publik luas. 

Publik akhirnya bisa mengenal dan mengakui pemikiran-pemikiran Bentham. Banyak apresiasi positif dan konstruktif diberikan publik untuk menghargai forum ini. Suatu tanda bahwa pemikiranpemikiran Bentham mulai merasuki jagad wacana dan kesadaran orang bahkan berkembang meluas ke seantero dunia.

Keadilan Hukum Jeremy Bentham

Teori utilitarisme tentang hukuman tidak langsung terbentuk dalam waktu singkat. Ia bertumbuh dalam proses menjadi dalam waktu yang amat panjang. Teori utilirisme tentang hukuman berproses dalam sejarah yang panjang sejak filsuf Plato. 

Plato (427-347 SM) merupakan pemikir klasik Yunani yang juga memberikan pemikiran-pemikiran konstruktif penting terkait politik, hukum dan negara. Malahan dapat dikatakan bahwa gagasan Plato ini bisa menjadi cikal bakal kemunculan utilitarisme kelak.

Di dalam dialog Protagoras, Plato telah mendudukkan gagasan hukum berkaitan dengan praktik sebuah hukuman. Plato menulis bahwa dalam menghukum seseorang yang bersalah, kita tidak boleh mendasarkan hukuman atas fakta bahwa ia telah bertindak salah pada masa lampau atau menghukumnya dengan rasa balas dendam yang buta seperti seekor binatang, namun demi masa depan yaitu sebagai tindakan preventif bagi si terhukum dan orang-orang lain agar tidak lagi melakukan kesalahan (Ohoitimur: 1997, p. 25). 

Pandangan ini tidak hanya memerhatikan dimensi masa lampau dan masa sekarang dari praktik hukuman, tetapi lebih mementingkan dimensi masa depan hukuman pada si pelaku atau subjek pelanggar hukum. 

Banyak filsuf kontemporer lain di kemudian hari yang menganuti gagasan utilitaris Plato ini yakni T.L.S. Sprigge, S.I Benn dan J.J.C. Smart. Namun tulisantulisan mereka belum sempurna. Bentuk paling lengkap dan komprehensif dari teori utilitarisme tentang hukuman baru akan tereksplisitasi dalam tulisan-tulisan Jeremy Bentham yang diklaim sebagai bapak utilirisme Inggris.

Utilitarisme

Utilitarisme merupakan salah satu aliran filsafat yang memberikan kontribusi penting dalam aplikasi hukuman bagi manusia. Utilirarisme memiliki prinsip dasar filosofis atau pendirian sangat kukuh bahwa setiap hukuman yang adil bagi pelanggar hukum harus memerhatikan akibat-akibat selanjutnya. 

Teori ini sebetulnya merupakan bentuk terapan secara terbatas dari prinsip dasar etika utilitarisme yang menyatakan bahwa suatu tindakan dapat dibenarkan secara moral hanya sejauh konsekuensi-konsekuensinya baik untuk sebanyak mungkin orang (Ohoitimur:1997, p. 24). 

Di sini hukuman yang diberikan kepada seorang pelaku kejahatan harus mempertimbangkan juga sisi konsekuensi positifnya juga. Hukuman harus memerhatikan konsekuensi-konsekuensinya. Muncullah istilah konsekuensialisme yang diciptakan oleh Elizabeth Anscombe pada tahun 1957 (Jenny Teichman: 1998, p. 16).

Hukuman yang adil tidak boleh hanya melihat sisi negatifnya saja. Perspektif utilitarisme dapat diklaim sebagai pemikiran kontra terhadap praktik hukuman yang hanya melihat aspek negatifnya saja dari suatu hukuman yang diberikan pada subjek pelanggar hukum. Utilitarisme coba menyodorkan konsep alternatif. 

Utilitarisme menunjukkan suatu verfikasi etis (posivitisme hukum) dalam penerapan hukuman. Hukuman, sebagai suatu tindakan terhadap seorang penjahat, dapat dibenarkan secara moral bukan terutama karena si terhukum telah terbukti bersalah melawan hukum, melainkan karena hukuman itu mengandung konsekuensi-konsekuensi positif bagi si terhukum, korban, dan juga orang-orang lain dalam masyarakat (Ohoitimur: 1997, p. 24). Hukum harus memiliki relevansi positif-konstruktif bagi manusia. Jika tidak, hukuman tidak bermakna dan tidak berguna.

Dimensi Utilitas Hukuman Makna kunci di dalam istilah atau kosakata utilitas Bentham yakni kemanfaatan. Di dalam menghukum subjek terhukum, lembaga penegak hukum atau apapun otoritas yang berwenang tentu harus mempertimbangkan manfaat hukuman bagi subjek pelanggar hukum. 

Apakah hukuman itu bermanfaat positif bagi subjek pelanggar hukum ke depannya, di sini perlu diperhatikan mekanisme pelaksanaan hukuman agar sesuai dengan tujuan hukuman itu sendiri. Jika hukuman itu tidak bermanfaat, hukuman itu tidak adil. Hukuman akan menjadi sebuah praktik formalistis yang kehilangan relevansi nilai guna.

Hukuman yang bermanfaat adalah hukuman yang membawa makna dan nilai positif bagi subjek terhukum, masyarakat publik dan para penjahat potensial di dalam masyarakat.

 Hukuman bermanfaat untuk pelaku pelanggar hukum yakni membuat jera pelaku, dengan tujuan untuk menciptakan masa depan subjek terhukum lebih baik. 

Setiap bentuk hukuman yang tidak menjamin masa depan lebih baik bagi subjek terhukum, layak dikritisir malah ditolak secara tegas. Di sini kita bicara tentang kebahagiaan bagi subjek terhukum sendiri.

Jika hak setiap manusia yakni ingin hidup bahagia dalam kehidupan ini penting, maka hukuman perlu diupayakan agar memastikan hidup subjek terhukum dalam kondisi bahagia dimasa depan. Hukuman yang dijalankan oleh subjek terhukum, membuat hidupnya kurang bahagia. 

Kebahagiaan subjek terhukum yakni bebas dari hukuman. Kalau menjalankan hukuman, itu artinya kebahagiaan subjek terhukum terpangkas, terpotong, dan terpasung. Untuk itu subjek terhukum akan merasa kurang bahagia. Kebahagiaan mengandaikan kondisi kebebasan.

kesimpulan

Bagaimana suatu praktik hukuman dikatakan adil dan dapat dibenarkan? Pertanyaan ini menjadi pertanyaan kritis yang telah digaungkan terus-menerus sepanjang zaman di semua negara dalam masyarakat kontemporer. 

Alasannya, karena praktik hukuman yang sungguh-sungguh adil bagi manusia masih harus terus diperjuangkan dalam praktik hukuman berbagai bangsa di dunia ini. 

Sering kali karena kekeliruan manusiawi, para eksekutor hukum melalaikan mekanisme praktik hukuman yang adil pada subjek terhukum. Akibatnya, pratik hukuman bukan malah mendatangkan manfaat, melainkan justru mendatangkan risiko lebih buruk bagi subjek terhukum. Sebuah kesadaran baru dalam momentum kekinian harus tetap diperjuangkan dan dihayati oleh para penegak hukum negara. 

Setiap penegak hukum harus selalu menyadari pentingnya hukuman yang mencerminkan nilai-nilai humanis, etis-moral, dan nilai kegunaan atau manfaat.

Kita bisa bercermin atau mengambil inspirasi dari pandangan kaum utilitaris khususnya pemikiran Jeremy Bentham yang sudah dikaji dalam tulisan ini. Bentham mengembangkan sebuah teori yang relevan dan tetap bermakna sepanjang masa tentang praktik hukuman yang adil bagi seorang subjek terhukum. 

Ia menggariskan pokok-pokok pemikiran tentang hukuman yang adil dari perspektif utilitas atau prinsip kemanfaatan. Setiap bentuk hukuman yang adil adalah hukuman yang mendatangkan manfaat sebesar-besarnya bagi subjek pelanggar hukum itu sendiri pada masa depan

Dasar etis teori hukum Bentham menitikberatkan pada unsur psiko-humanis, dimensi etismoral, dan dimensi utilitas bagi subjek terhukum. Bentham menegaskan bahwa hukuman yang tidak mengindahkan ketiga hal ini, patut ditolak karena tidak adil dan tidak bisa dibenarkan secara logisempiris. 

Oleh karena itu, hukuman yang adil bisa direalisasikan hanya jika para eksekutor hukum memerhatikan dimensi humanisme, dimensi etis-moral, dan dimensi utilitas dalam proses hukuman terhadap subjek pelanggar hukum. 

Hanya dengan ini hukuman dikatakan adil. Di luar ketiga hal ini, hukuman dikatakan tidak adil, dan karena itu, tak layak diterima oleh seorang subjek terhukum. Konsekuensi lanjutnya, hukuman yang adil menjadi kontradiksi menjadi hukuman yang tidak adil.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun