Senyawa kehidupan itu bersiklus
dan yang disebut siklus tak jelas ujungnya,
beda kisah dengan gelegar nafasnya
yang mulai putus menggantung tak mulus
Embun ke terik, terik ke senja, senja ke gulita
bongkahan nada-nada sumbang
mendistorsi gendang telinga, bak gempa
menggoyah benteng pertahanan tekadnya
tapi lalat di tong sampah menenangkannya
desingnya merdu, seolah penunjuk arah baginya
Berjejer kampung rusuh menjorok ke rel kereta
disebutnya firdaus, tempat nyaman untuk bertapa
goresan dan gemuruh gerbong kereta
menjadi pengingat firdaus yang nyata,
indah, damai di alam sana
Di istana, penguasa keliling sudut meja kerja,
dahinya mengkerut menyimpan tanda tanya
dijawab penasehatnya, "terobosan yang tak serupa!"
Jikalau Genghis Khan menginvasi benua
penguasa ini menginvestigasi desa-desa
ditelisiknya desa potensial
dibangunnya pelabuhan, jalan tol, bandara
Menyambung lidah rakyat, katanya
dari lidah orang desa ke kantong para tersangka
bertopeng demi kemajuan bangsa!
Rakyat yang geram, merasa dentum nafas harus diubah
dibelokannya pada siklus semula
diterjangnya sabana-sabana ibu kota
dibebaskannya binatang-binatang piaraan mereka
Berhamburan, berkolo-koloni
terbang ke langit, berenang ke danau, menggali ke tanah
Setibanya di istana, suara rakyat bergema:
"Penguasa! Kami bersama bidadari-bidadari surga!"
Rakyat merangsak ke taman-taman istana
Oase yang sekian lama dinantinya
Digedor pintu istana
ratusan, ribuan, jutaan, tak terhingga! Derap kaki berlari
berdesak ke ruang-ruang istana
Dijumpainya penguasa
direnggutnya kantong mata penguasa,
dipasang pada matanya, diresapinya jerih payah penguasa, dan tak diketemukan lembaran tentang dia
Rakyat yang kian putus asa keluar berteriak bak orchestra
Di hadapan berjuta pasang mata dan media,
disobeknya kaos kumal nan lusuhnya
Dia dan lubang di dadanya telah menganga
dengan bercak hitam sisa sisa kepulan asap
perenungan nasibnya
Di sudut ruangan
penguasa tahu jasanya tak kan dikenang,
sebatas hinaan, mentok-mentok bahan gurauan,
maka dibubuhkan kisah perjuangan sunyinya
dalam sajak-sajak manjur cara berhutang yang benar
Rakyat yang kelaparan,
sepiring nasi aking dibaginya rata
bersama berjuta-juta rakyat di luar sana
santapan lezat menu khas keluarga
meredam jeritan sejalan waktu,
digantikan tawa
Hujan turun dengan lebatnya
membasah-kuyubukan rambut rakyat penuh gelora
Siklus kembali menemukan makna
bersama jutaan rakyat yang terpingkal tawa.
Surabaya, 7 Desember 2020.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H