Mohon tunggu...
Mohamad Aby Gael
Mohamad Aby Gael Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa S1 Antropologi, Universitas Airlangga

Menulis untuk meredam kegelisahan yang sering datang tanpa diundang.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Rakyat dan Luapan Derita

7 Desember 2020   15:45 Diperbarui: 7 Desember 2020   15:51 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Senyawa kehidupan itu bersiklus
dan yang disebut siklus tak jelas ujungnya,
beda kisah dengan gelegar nafasnya
yang mulai putus menggantung tak mulus

Embun ke terik, terik ke senja, senja ke gulita
bongkahan nada-nada sumbang
mendistorsi gendang telinga, bak gempa
menggoyah benteng pertahanan tekadnya
tapi lalat di tong sampah menenangkannya
desingnya merdu, seolah penunjuk arah baginya

Berjejer kampung rusuh menjorok ke rel kereta
disebutnya firdaus, tempat nyaman untuk bertapa
goresan dan gemuruh gerbong kereta
menjadi pengingat firdaus yang nyata,
indah, damai di alam sana

Di istana, penguasa keliling sudut meja kerja,
dahinya mengkerut menyimpan tanda tanya
dijawab penasehatnya, "terobosan yang tak serupa!"

Jikalau Genghis Khan menginvasi benua
penguasa ini menginvestigasi desa-desa
ditelisiknya desa potensial
dibangunnya pelabuhan, jalan tol, bandara
Menyambung lidah rakyat, katanya
dari lidah orang desa ke kantong para tersangka
bertopeng demi kemajuan bangsa!

Rakyat yang geram, merasa dentum nafas harus diubah
dibelokannya pada siklus semula
diterjangnya sabana-sabana ibu kota
dibebaskannya binatang-binatang piaraan mereka
Berhamburan, berkolo-koloni
terbang ke langit, berenang ke danau, menggali ke tanah

Setibanya di istana, suara rakyat bergema:
"Penguasa! Kami bersama bidadari-bidadari surga!"
Rakyat merangsak ke taman-taman istana
Oase yang sekian lama dinantinya

Digedor pintu istana
ratusan, ribuan, jutaan, tak terhingga! Derap kaki berlari
berdesak ke ruang-ruang istana
Dijumpainya penguasa
direnggutnya kantong mata penguasa,
dipasang pada matanya, diresapinya jerih payah penguasa, dan tak diketemukan lembaran tentang dia

Rakyat yang kian putus asa keluar berteriak bak orchestra
Di hadapan berjuta pasang mata dan media,
disobeknya kaos kumal nan lusuhnya
Dia dan lubang di dadanya telah menganga
dengan bercak hitam sisa sisa kepulan asap
perenungan nasibnya

Di sudut ruangan
penguasa tahu jasanya tak kan dikenang,
sebatas hinaan, mentok-mentok bahan gurauan,
maka dibubuhkan kisah perjuangan sunyinya
dalam sajak-sajak manjur cara berhutang yang benar

Rakyat yang kelaparan,
sepiring nasi aking dibaginya rata
bersama berjuta-juta rakyat di luar sana
santapan lezat menu khas keluarga
meredam jeritan sejalan waktu,
digantikan tawa

Hujan turun dengan lebatnya
membasah-kuyubukan rambut rakyat penuh gelora
Siklus kembali menemukan makna
bersama jutaan rakyat yang terpingkal tawa.

Surabaya, 7 Desember 2020.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun