(Catatan kecil penggemar & penjual buku)
Oleh M. RudiÂ
Sudah terlalu banyak orang dan media menulis tentang Pram, mulai dari penulis asing hingga penulis-penulis Indonesia sendiri. Baru-baru ini bahkan ada dua buku baru tentang Pram yang terbit, "Pram dalam kliping" disusun Deni Rachman, penulis dan pegiat buku di Bandung, satu lagi buku "Yang tersisa dari Pram & catatan lain" ditulis oleh Gilang Saputro.Â
Kedua buku tadi terbit akhir tahun 2020. Pada tahun 2017 buku "Pram dan kenangan pulau Buru" karya Rudolf Mrazek diterbitkan ulang penerbit di Yogyakarta.
Jauh sebelum itu ada pula buku di susun Adhy Asmara dr, bertajuk "Analisa ringan kemelut roman karya pulau Buru 'Bumi manusia' Pramoedya Ananta Toer. Buku yang terbit tahun 1980 ini bukan berisi tulisan Adhy Asmara sendiri, melainkan sekumpulan penulis lain seperti Rendra, Goenawan Mohamad, A. Teeuw, Hasyim Rahman, dll.Â
Pada Tahun 1997 muncul sebuah buku "Polemik hadiah Magsaysay" menyoal penghargaan Magsaysay diterima Pramoedya. Seingat saya ada satu buku lagi mendokumentasikan penolakan hadiah Magsaysay untuk Pram, buku ini berisi diskusi-diskusi terjadi pada pertemuan di TIM dihadiri banyak tokoh antara lain Ikranegara, Goenawan Mohamad, Taufik Ismail, dll.Â
Meski sebentar, Pram juga hadir dalam diskusi tersebut. Sayang sekali saya lupa judul buku bercover hitam putih itu. Selain buku-buku diatas, banyak buku lain ditulis oleh adik Pram sendiri, Soesilo Toer, serta tulisan berbentuk esai, artikel dan sebagainya menyangkut Pramoedya.
Novel 'Bumi manusia' diangkat ke layar lebar 2019 lalu oleh sutradara Hanung Bramantyo. Sesungguhnya itu bukan pertama kalinya karya Pram diadaptasi sebagai sinema. Djoko lelono pernah menyutradarai film berdasarkan karya Pram pada tahun 1955, film ini berjudul "Rindu damai" dibintangi Ellya Rosa dll.Â
Pada tahun 1956 Djoko Lelono menggarap lagi sebuah film berdasarkan karya Pram yang kemudian terangkum pada buku "Cerita dari Jakarta", film ini berjudul "Peristiwa Surabaya Gubeng" dibintangi salah satunya oleh Tan Tjeng Bok.Â
Pada tahun yang sama muncul pula "Buruh bengkel" berdasarkan fragmen novel 'Gulat dari Jakarta' yang hanya menulis Asrul Sani sebagai penulis naskah. Tahun 1957 seorang indo kelahiran Jerman, Waldemar Caerel Hunter alias S. Waldy, menggarap film berdasarkan cerpen 'Anak haram' yang terangkum dalam kumpulan cerpen "Cerita dari Blora". Film dibintangi Sofia WD ini berjudul "Biola".
Penggemar karya Pram cukup banyak yang ekstrem, ekstrim disini dalam pengertian mengoleksi karya-karyanya. Mereka tak cuma mengoleksi semua karya Pram yang pernah terbit di Indonesia, melainkan bisa memburu semua karya Pram yang diterbitkan dalam berbagai bahasa.Â
Untuk karya yang pernah terbit di Indonesia sendiri, mereka seringkali memiliki berbagai edisi cetak ulangnya. Memiliki karya Pram cetakan lama pun menjadi semacam kebanggaan tersendiri.
Harga buku-buku Pram cetakan lama biasanya dibanderol pedagang cukup mahal, untuk cetakan pertama bisa dihargai 300.000 hingga 2 jutaan Rupiah, ini belum lagi jika buku tersebut dilengkapi tanda tangan dari sang sastrawan. Terakhir sekali saya mendapat ratusan majalah Siasat tahun 1950 an, dari majalah ini saya menemukan 10 esai Pram.Â
Majalah memuat esai tersebut saya pisahkan dan di lelang disebuah media sosial. Lelang ini tembus lebih 1,7 juta dan dimenangkan oleh kawan sesama pedagang.Â
Belasan majalah buluk itu kemudian oleh  kawan pemenang lelang dijual kembali pada teman pedagang lain seharga  2,8 juta.  Saya tidak tahu berapa pedagang terakhir tadi menjualnya pada kolektor.
Mahalnya buku sastra lawas tak cuma di dominasi Pram, tapi juga bisa karya-karya sastrawan lain seperti misalnya Utuy Tatang Sontani, Hamka, Iwan Simatupang dll, meski memang yang paling menonjol tetap  adalah Pram. Penggemar karya Pram pun tak cuma di Indonesia, tapi juga banyak di negeri lain terutama negeri Jiran Malaysia.Â
Saya pernah mendapat hibah setumpuk buku lawas karya Pram dari kolektor karya Pram disana. Buku Pram terbitan Malaysia itu dikirim untuk keperluan lelang amal gempa Palu-Donggala, hasilnya seratus persen untuk para korban gempa yang saya kirim langsung pada teman di Donggala, sebagian dalam bentuk sembako dan keperluan lain lewat jalur pemerintah.
Saya beruntung, sempat melihat sosok sastrawan besar Indonesia itu dua kali, yang pertama adalah ketika peringatan ulang tahunnya di TIM, diatas podium Pram yang sudah sepuh masih terlihat gagah, meledak-ledak dan lantang berbicara.Â
Pertemuan kedua masih di TIM, ini bertepatan penerbitan ulang semua karya Pram seri perempuan antara lain gadis pantai, larasati, midah si manis bergigi emas, panggil aku kartini saja dan Sekali peristiwa di Banten selatan.Â
Ketika orang lain berebut minta ditanda tangani bukunya, saya saat itu juga ikutan, hanya giliran memegang buku saya dia bingung lalu berkata "Apa ini?" Buku saya dikembalikan, Pram tak mau menanda tangani buku itu karena memang jika orang lain menyodorkan buku karyanya, saya saat itu malah menyodorkan buku agenda berukuran besar, hehe..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H