Nah, bagi pelaku ekonomi, i'tikaf itu juga tidak bisa diabaikan. Ia bisa bermakna bahwa perenungan ekonomi bangsa ini harus terus dibangun. Kesejahteraan rakyat tidak diukur dari statistik dari hari ke hari, bulan ke bulan. Boleh saja ukuran statistik itu betul, tetapi justru kenyataannya pengangguran, kemiskinan masyarakat, kita semakin hari semakin meningkat. Apalagi baru-baru ini dengan naiknya tarif dasar listrik (TDL), yang tentu saja sangat mencekik ekonomi kita. Oleh karenanya, perenungan para pelaku ekonomi kita akan sampai pada beberapa kalimat tanya: Mau dibawa kemana ekonomi bangsa ini? Kenapa semuanya harus pakai hutang? Jika pembangunan infrastruktur atau yang lainnya digalakkan, kenapa mesti melalui pintu hutang? Jika hutang atau dengan perhalusan bahasa "investasi", lagi-lagi yang perlu dipikirkan "No free lunch", tidak ada makan siang gratis sehingga harus ada yang dipertaruhkan, harus ada yang dijaminkan. Bukankah kita sudah menjaminkan tiga bank milik BUMN kita ke Cina? Inilah perenungan yang perlu dilakukan oleh para ekonom dan para stake holders di sektor ekonomi bangsa ini?
Di atas semua itu, tentu i'tikaf yang paling mendesak, adalah bagi presiden. Baginya, i'tikaf nasional merupakan sebuah keniscayaan. Presiden perlu melakukan i'tikaf full sepanjang malam untuk merenungkan kepemimpinannya, apakah sudah benar, apakah berhasil, setengah berhasil atau malah gagal total? Hasil survei terbaru tentang kepuasan publik terhadap presiden barangkali memang memuaskan. Tetapi jangan lupa, lembaga survey yang mengeluarkannya adalah SMRC. Bukankah SMRC dalam kasus Pilkada DKI beberapa waktu lalu, termasuk lembaga survei yang gagal total? Meski tak separah lembaga survei Charta Politika, yang akhirnya "divonis" sebagai lembaga survei ini paling gagal dan paling bohong saat Pilkada lalu.
Imbas semua ini, maka kini muncullah tren ketidakpercayaan publik terhadap lembaga survei. Lembaga survei dianggap sudah tidak bisa menetralisir diri dan memosisikan diri sebagai "penjaga demokrasi". Lembaga survei lebih tampil sebagai "penikmat demokrasi". Di sinilah kemudian, para pelaku lembaga survey perlu melakukan i'tikaf dan perenungan untuk membangun kesadaran bahwa "nations interest" harus diutamakan dibanding "self interest".
Selain itu, para intelektual, kemudian akademisi, pelaku-pelaku media, bahkan aktivis juga mesti i'tikaf melakukan perenungan, apakah mereka sudah benar berjalan di garisnya atau selama ini atau justru juga terjebak dalam perdagangan intelektualitas atau jual-beli kapasitas diri yang muncul begitu masif pasca-Pilpres 2014? Bukankah sektor ini juga tengah mengalami krisis kepercayaan, di tengah kekhawatiran publik yang menyebut kebanyakan media kita sudah melacurkan diri karena dalih eksistensi alias bertahan hidup, para intelektual juga takluk dalam "kue" kekuasaan, sehingga tega menjual intelektualismenya. Lembaga survei juga menjual idealismenya dan dan kapasitasnya dengan cara menjadi "corong" kepentingan yang sangat menodai demokrasi kita. Jika ini terus terjadi, bukan semakin baik kualitas demokrasi kita, tetapi justru semakin terpuruk.
Demokrasi kita dibajak oleh sekian banyak kepentingan. Semua pilar demokrasi kita mulai dari legislatif, eksekutif, dan yudikatif, hampir sulit untuk dikatakan tidak dirasuki kepentingan dan "bebas dari tangan-tangan kotor" para mafia dan pemilik modal. Oleh karena meluasnya keprihatinan ini maka, i'tikaf kebangsaan ini boleh jadi akan menjadi jalan keluarnya.
Wallahu a'lamu bi al-shawab.
Tebet Dalam Timur, 15 Juni 2017
Pukul 23.59 WIB.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H