Mohon tunggu...
Moh. Ilyas
Moh. Ilyas Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

I'tikaf, Momentum Perenungan Keummatan dan Kebangsaan

24 Juli 2017   17:32 Diperbarui: 24 Juli 2017   20:55 457
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

HARI ini adalah hari pertama di 10 hari terakhir bulan Ramadhan. Dalam perspektif agama, hari ini merupakan tangga ketiga bulan Ramadhan yang sangat bernilai.  Ia jadi momentum penting hadirnya sebuah malam  yang disebut Lailatul Qadar.

Apa itu Lailatul Qadar? Secara letterlijk, ia bermakna malam ketetapan. Maka kemudian kita dianjurkan meminta apapun kebutuhan kita kepada-Nya. Surat Al-Qadr menggambarkan pangkat malam itu lebih baik dari 1000 bulan, sebuah periode yang dalam batas rasionalitas manusia tentu sangat jarang dicapai. Sebab, kalau dikonversi ke dalam hitungan tahun, sama dengan masa 83 tahun. Padahal usia rata-rata umat Nabi Muhammad hanya berkisar 60-70 tahun. (HR Tirmidzi dan Ibnu Majah, diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a.).

Besarnya reward di 10 hari terakhir Ramadhan ini kemudian memotivasi umat Islam berbondong-bondong menunggunya. Bahkan Nabi sendiri ketika masuk 10 terakhir Ramadhan, mengencangkan sarung, menghidupkan malam, dan membangunkan keluarganya. Secara substantif, mengencangkan sarung ini bermakna mempersiapkan diri secara sungguh-sungguh untuk membangun spritualitas vertikal. Pada waktu-waktu tersebut, Nabi memgenyampingkan spritualitas horizontal.

Lalu apa yang bisa dicatat dan dilakukan dalam 10 malam terakhir tersebut? Jawabnya adalah i'tikaf. I'tikaf berasal dari bahasa Arab 'akafa yang berarti menetap, mengurung diri, atau terhalangi. Namun menetap dan berdiam diri di sini bukan berarti hanya "duduk manis" untuk sekadar menghabiskan malam. I'tikaf dalam konteks ibadah dalam Islam adalah berdiam diri di dalam masjid dalam rangka untuk mencari keridhaan Allah SWT. Dengan begitu, ia kemudian diisi dengan ritus-ritus seperti berdzikir, berdoa, membaca Al Quran dan seterusnya.

Momentum Perenungan

Jika kita renungkan lebih jauh, makna i'tikaf sejatinya bisa jauh lebih dari sekadar diam atau sekedar berdoa dalam rangka memenuhi tuntutan sekaligus tuntunan agama. I'tikaf juga memiliki arti perenungan diri, muhasabah an-nafs, termasuk upaya pembersihan diri dari noda-noda duniawi.

Perenungan diri dalam konteks ini adalah melupakan sementara kehidupan duniawi dan fokus pada hubungan kita dengan Sang Rabb, hubungan kita dengan pencipta kita. Alasannya karena momentumnya sangatlah tepat. Inilah setidaknya momentum perenungan keummatan kita.

Dengan begitu, makna i'tikaf bisa melampaui penerjemahan dalam perspektif agama. Ia juga bisa masuk ke wilayah-wilayah kebangsaan, termasuk dunia sosial, politik, budaya, dan ekonomi. I'tikaf merupakan perenungan seseorang tentang kehidupannya, tentang hari-harinya yang telah dilalui. Dengan begitu, i'tikaf juga bisa bermakna kontemplasi untuk melepaskan diri dari noda, dari duri-duri masa lalu.

Dalam konteks kebangsaan, maka perenungan yang dilakukan menyangkut berbagai aspek kehidupan kita secara menyeluruh, multi aspek. Mu'takif (orang yang beri'tikaf) mesti menghidupkan kembali alam pikirannya tentang situasi politik, situasi sosial, dan fenomena kebangsaan hari ini. Para mu'takifin juga sebagai konsumen politik melakukan perenungan dengan melihat secara jernih isu-isu politik, kemudian mencoba menawarkan ide-ide dan gagasan yang bisa jadi solusi.

Bagi mereka para politisi, baik di Senayan ataupun di Istana, perenungan ini perlu lebih mendalam karena mereka menggenggam policy, kebijakan negeri ini. Merekalah sejujurnya pengendali arah bangsa yang berpengaruh terhadap masyarakat banyak. Jika dalam genggaman mereka, politik salah arah, dipastikan dampaknya amatlah buruk.

Bagi aparat hukum, i'tikaf juga sangat penting untuk menelisik kembali sejauh mana hukum kita hari ini berjalan. Apakah masih penuh dengan tipu-tipu, misteri, pesanan, permainan dan sebagainya, yang banyak dituduhkan publik kita? Ataukah sudah bersih dan betul-betul memenuhi visi Kapolri, yakni profesional, modern, dan terpercaya (Promoter)? Begitu pun dengan KPK dan kejaksaan, apakah masih penuh dengan kriminalisasi, tebang pilih, dan jadi alat kekuasaan, seperti penilaian publik selama ini?

Nah, bagi pelaku ekonomi, i'tikaf itu juga tidak bisa diabaikan. Ia bisa bermakna bahwa perenungan ekonomi bangsa ini harus terus dibangun. Kesejahteraan rakyat tidak diukur dari statistik dari hari ke hari, bulan ke bulan. Boleh saja ukuran statistik itu betul, tetapi justru kenyataannya pengangguran, kemiskinan masyarakat, kita semakin hari semakin meningkat. Apalagi baru-baru ini dengan naiknya tarif dasar listrik (TDL), yang tentu saja sangat mencekik ekonomi kita. Oleh karenanya, perenungan para pelaku ekonomi kita akan sampai pada beberapa kalimat tanya: Mau dibawa kemana ekonomi bangsa ini? Kenapa semuanya harus pakai hutang? Jika pembangunan infrastruktur atau yang lainnya digalakkan, kenapa mesti melalui pintu hutang? Jika hutang atau dengan perhalusan bahasa "investasi", lagi-lagi yang perlu dipikirkan "No free lunch", tidak ada makan siang gratis sehingga harus ada yang dipertaruhkan, harus ada yang dijaminkan. Bukankah kita sudah menjaminkan tiga bank milik BUMN kita ke Cina? Inilah perenungan yang perlu dilakukan oleh para ekonom dan para stake holders di sektor ekonomi bangsa ini?

Di atas semua itu, tentu i'tikaf yang paling mendesak, adalah bagi presiden. Baginya, i'tikaf nasional merupakan sebuah keniscayaan. Presiden perlu melakukan i'tikaf full sepanjang malam untuk merenungkan kepemimpinannya, apakah sudah benar, apakah berhasil, setengah berhasil atau malah gagal total? Hasil survei terbaru tentang kepuasan publik terhadap presiden barangkali memang memuaskan. Tetapi jangan lupa, lembaga survey yang mengeluarkannya adalah SMRC. Bukankah SMRC dalam kasus Pilkada DKI beberapa waktu lalu, termasuk lembaga survei yang gagal total? Meski tak separah lembaga survei Charta Politika, yang akhirnya "divonis" sebagai lembaga survei ini paling gagal dan paling bohong saat Pilkada lalu.

Imbas semua ini, maka kini muncullah tren ketidakpercayaan publik terhadap lembaga survei. Lembaga survei dianggap sudah tidak bisa menetralisir diri dan memosisikan diri sebagai "penjaga demokrasi". Lembaga survei lebih tampil sebagai "penikmat demokrasi". Di sinilah kemudian, para pelaku lembaga survey perlu melakukan i'tikaf dan perenungan untuk membangun kesadaran bahwa "nations interest" harus diutamakan dibanding "self interest".

Selain itu, para intelektual, kemudian akademisi, pelaku-pelaku media, bahkan aktivis juga mesti i'tikaf melakukan perenungan, apakah mereka sudah benar berjalan di garisnya atau selama ini atau justru juga terjebak dalam perdagangan intelektualitas atau jual-beli kapasitas diri yang muncul begitu masif pasca-Pilpres 2014? Bukankah sektor ini juga tengah mengalami krisis kepercayaan, di tengah kekhawatiran publik yang menyebut kebanyakan media kita sudah melacurkan diri karena dalih eksistensi alias bertahan hidup, para intelektual juga takluk dalam "kue" kekuasaan, sehingga tega menjual intelektualismenya. Lembaga survei juga menjual idealismenya dan dan kapasitasnya dengan cara menjadi "corong" kepentingan yang sangat menodai demokrasi kita. Jika ini terus terjadi, bukan semakin baik kualitas demokrasi kita, tetapi justru semakin terpuruk.

Demokrasi kita dibajak oleh sekian banyak kepentingan. Semua pilar demokrasi kita mulai dari legislatif, eksekutif, dan yudikatif, hampir sulit untuk dikatakan tidak dirasuki kepentingan dan "bebas dari tangan-tangan kotor" para mafia dan pemilik modal. Oleh karena meluasnya keprihatinan ini maka, i'tikaf kebangsaan ini boleh jadi akan menjadi jalan keluarnya.

Wallahu a'lamu bi al-shawab.

Tebet Dalam Timur, 15 Juni 2017

Pukul 23.59 WIB.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun