Mohon tunggu...
Moh. Ilyas
Moh. Ilyas Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Paceklik Kejujuran: Musim Hoax, Bully, dan Fitnah

24 Juli 2017   16:22 Diperbarui: 26 Juli 2017   09:27 572
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

BEBERAPA waktu terakhir ini kita betul-betul dihadapkan dengan sebuah musim memilukan. Musim, dimana virus-virus media sosial berkecambah, dan sebaliknya, kejujuran mengalami paceklik. Pada musim ini, tiga tradisi setidaknya sudah menyebar dan menjadi virus bagi netizen di dunia maya, media sosial.

Namun virus ini berbeda. Ini virus spesial. Jika umumnya orang-orang tidak menyukai virus, tetapi khusus virus ini ada kalanya bukan hanya disukai, tetapi dirawat dan dijaga. Bahkan bagi orang maupun kelompok tertentu, virus ini diternak secara sembunyi-sembunyi. Tiga virus ini adalah hoax, bullying, dan fitnah.

Kenapa sampai mau repot-repot menternak dan mengembalanya? Karena ketiganya sarat dengan kepentingan.

Ya, kepentingan dan target kekuasaan jadi pemantik sekaligus motif utamanya. Sebenarnya, ketika seseorang memiliki target politik dan kekuasaan, it's oke. Nevermind. Itu merupakan hak setiap individu. Hanya saja ia jadi masalah ketika ditempuh secara ilegal, dengan cara kotor.

Arena 'pertarungan' virus-virus ini tak lain adalah media sosial. Di dunia maya inilah kebencian ditabur dan bully dilancarkan kepada lawan politik. Di situ pula hoax ditebar dan fitnah digoreng hingga sampai dianggap sebagai kebenaran. Maka imbasnya kepalsuan kian merajalela, kebohongan mengkudeta kejujuran, dan fitnah menyingkirkan kebenaran.

Sayangnya, sebagian kita tak terlalu sedih dan tak terlalu menghawatirkan semua itu. Sebab, ia sengaja dipiara, ia diternak, dan mereka merasa puas dengan itu. Betapa banyak kabar-kabar bohong dibiarkan terus beredar. Betapa besar info-info hoax diproduksi bahkan direproduksi. Bukan hanya oleh rakyat biasa, tetapi boleh jadi juga oleh penguasa. Bukankah tak sedikit orang-orang yang menuduh info-info kesejahteraan rakyat melalui data BPS seringkali dimanipulasi? Bukankah survei-survei kepuasan publik terhadap kinerja sebuah rezim juga disebut-sebut sebagai pesanan dan bisa dibeli? Maka, jika itu benar terjadi, kebohonganlah yang kemudian menjadi panglima.

Menjaga Medsos, Merawat Kemajuan

Kemajuan teknologi di era modern ini merupakan sebuah fenomena yang tak terelakkan dan tak terhindarkan lagi dari lini kehidupan umat manusia. Kemajuan ini berlangsung begitu cepat merasuk ke jantung setiap kita. Salah satu dari kemajuan ini adalah menjamurnya media sosial yang juga menandai berkembangnya dunia digital.

Kita tidak bisa membendung kemajuan ini. Maka, yang kemudian bisa kita lakukan adalah menerimanya secara positif-optimistis. Bila dalam laju perkembangannya ada dampak negatif, kita juga tidak serta merta menolaknya, termasuk ketika media sosial itu dirasuki virus-virus yang berbahaya bagi kehidupan kita. Namun juga tidak dibenarkan jika kita hanya membiarkan 'lalu lintas virus' itu. Kendati virus-virus itu sudah menjangkiti hampir semua jenis media sosial, mewabah, dan bahkan mentradisi, ia tak boleh kita biarkan terus terjadi.

Kita tidak bisa hanya meratapi, apalagi menyesali. Kita harus bangkit meninggalkan virus yang sudah menjadi tradisi ini. Di sinilah tugas kita adalah merawat kemajuan ini sekaligus mencarikan solusi sehingga virus-virus semacam ujaran kebencian dan penyebaran hoax, segera diakhiri. Bila ini dibiarkan, bangsa ini akan sulit maju, politik kita akan sulit bergerak ke arah perbaikan, dan demokrasi kita akan terancam. Kenapa? Karena yang berkuasa bukan lagi kebenaran tetapi kebohongan yang dibalut atau disulap hingga seolah seperti kebenaran. Demokrasi yang mengandalkan suara rakyat akhirnya dimanipulasi dengan menghadirkan "rakyat tanpa bayangan" alias rakyat di dunia maya. Betapa suara-suara sumbang, aneka ragam persepsi dibentuk lewat akun-akun palsu yang terus bergentayangan? Sejatinya merekalah pemain-pemain sekaligus sumber-sumber pencipta kebohongan di ruang publik.

Hoax, bully, dan fitnah tak punya jenis kelamin, dan tak punya suku. Siapapun bisa menjadi pelakunya. Jika merujuk ke arena Pilkada DKI beberapa waktu lalu, buzzer ini terbelah dengan sebutan "Ahoker" dan "Anti-Ahok". Tensi pembelahan ini terus menguat, bahkan meskipun Pilkada sudah berlalu. Musim bully, hoax, dan fitnah, ternyata belum juga berakhir.

Ini kemudian yang mendorong Andrian Tanjung mengeluarkan sebuah pengandaian dalam tulisannya beberapa waktu lalu dengan judul "Andai Ahoker Hidup di Zaman Rasulullah". Ia menulis,

"Seandainya orang ini hidup di zaman Nabi lalu melihat nabi hijrah, mereka akan berkata nabi kok pengecut, cemen, harusnya dihadapi dong Jangan lari. Begitu melihat Nabi menghadapi dan memimpin perang Badar, Uhud, Khandaq dll, mereka akan berkata: Nabi kok hobinya perang, mestinya Nabi itu mengajarkan kedamaian, toleransi, kebhinekaan, seperti aku ini." "Mengetahui Nabi menghukum potong tangan bagi pencuri wanita dari kalangan bangsawan, kemudian Nabi marah karena ada yang coba-coba menawar hukuman tsb. Niscaya mereka pun akan berkata: Nabi kok keras dan pemarah begitu, mestinya Nabi itu mengayomi dan mudah memaafkan, seperti aku ini."

Inilah yang betul-betul terjadi hari ini. Pasukan cyber atau yang sering dicibir dengan sebutan "pasukan nasi bungkus" bergentayangan tampil memoles yang benar jadi salah dan yang salah menjadi benar. Bagi mereka, semua perilaku lawan-lawan politiknya tak ada yang benar. Sebaliknya, semua perilaku gengnya dianggap pasti benar. Lihat saja bagaimana misalnya Aksi Bela Islam yang dilakukan hingga berjilid-jilid itu selalu dibully, ditantang, dan dihujani kritik di media sosial? Belum lagi tuduhan anti-Pancasila, anti-Kebhinekaan, dan anti-NKRI.

Begitupun dengan tokoh-tokohnya. Mereka yang tampil sebagai tokoh pemilik panggung pergerakan ini dicarikan masalah, dibully, dihina bahkan tanpa lagi menghormati sejarah yang ia torehkan untuk bangsa ini. Sebut saja Amien Rais dihina dengan berbagai kata-kata nyinyir, cercaan seolah ia tidak pernah punya jasa terhadap negeri ini. Padahal dialah salah satu motor penggerak perubahan sehingga kita lepas dari rezim Orba. Dialah Tokoh Reformasi yang berdiri di Garda terdepan pada tahun 1998; Tokoh politik seperti Sri Bintang Pamungkas bukan hanya diciduk, tetapi juga dicibir dengan berbagai cibiran di dunia maya. Padahal dialah jendral pensiunan TNI yang masih peduli dengan bangsanya, nasionalismenya yang diajarkan di TNI tak luntur meskipun dia telah pensiun. Saya kira, para jenderal yang ada dalam penjara kekuasaan harus belajar banyak dari sosok Sri Bintang Pamungkas tentang bagaimana 'menghamba' pada bangsa ini melalui jiwa nasionalisme dan jiwa-jiwa patriotisme, bukan menghamba pada kekuasaan sesaat.

Sayangnya, apa yang dilakukan Sri Bintang pada akhirnya harus mengantarkannya ke dalam jeruji besi dengan tuduhan makar. Tokoh sentral perjuangan umat Islam, Habib Rizieq Shihab dikejar dengan puluhan kasus yang sulit dicarikan pembuktian kebenarannya. Ustadz Bachtiar Nasir dituduh kirim bantuan dana kepada teroris Suriah. Munarman ditersangkakan. Kemudian banyak aktivis yang terlibat dalam Aksi 411, 212, dan dijeblokskan ke penjara. Mereka dituduh dengan berbagai tumbuhan, mulai dari makar, hate speech, dan UU ITE.  Ini belum lagi bully yang harus mereka terima di dunia media sosial, yang sarat dengan fitnah dan character assassination (pembunuhan karakter). Media sosial sudah menjadi arena kebohongan dan ruang kebencian.

Pasti Ada Solusi

Semua itu bukanlah akhir dari segalanya. Masih bisa diperbaiki. Caranya, mulai dari diri sendiri. Ketika pemerintah melarang hoax, dengan mengampanyekan anti-hoax, maka mereka harus memulai terlebih dahulu. Mereka tak boleh menyampaikan informasi-informasi hoax kepada rakyat. Bukankah kabar jutaan pekerja Cina yang berduyun-duyun ke Indonesia sampai kini masih menjadi misteri? Pemerintah menyebut mereka hanya turis biasa. Tetapi di sisi lain, banyak ditemukan camp-camp bahkan perkampungan Cina? Bukankah banyak pekerja Cina hanya bermodalkan paspor turis, bukan paspor bekerja?

Imbasnya, tidak sedikit malah dari pendatang Cina yang mulai menggeser pekerjakita, sehingga pekerja kita 'berganti posisi' menjadi pengangguran baru. Modusnya kebanyakan, perusahaan-perusahaan atau pabrik yang dibangun dengan kontrak G to G dengan pemerintah Cina mensyaratkan tenaga kerja dari Cina. Mudah bukan? Di sinilah banyak yang meragukan bahwa apa yang disampaikan pemerintah soal turis Cina sebagai hoax.

Tentu bukan hanya pemerintah. Aparat penegak hukum, khususnya kepolisian pun juga harus jujur. Mereka tak boleh menyampaikan kabar bohong atau fitnah. Temuan kasus-kasus hukum harus benar-benar ada, bukan sengaja diciptakan dan diada-adakan. KPK juga harus membongkar korupsi secara adil (equal before the law). Usut tanpa tebang pilih, meski yang dihadapi seorang pejabat elite yang dekat dengan penguasa sekalipun, meskipun ia seorang petinggi partai politik yang berafiliasi dengan lingkar kekuasaan. KPK harus berani menembus dinding kekuasaan, bukan malah menyelamatkan dengan berbagai alasan seperti "tidak ada niat jahat" dan seterusnya. Jangan sampai kepanjangan KPK diplintir menjadi Komisi Pembela Koruptor atau Komisi Pesanan Kekuasaan.

Jika hukum, kemudian kebijakan politik pemerintah sudah disampaikan dengan benar, apa adanya dengan penuh kejujuran, secara tidak langsung mereka telah memulai menghilangkan hoax, bully, serta fitnah di media sosial. Tetapi jika itu semua itu masih dibiarkan, bahkan terkesan dikelola untuk menguatkan dukungan di media sosial, akan sangat sulit membendung ribuan bahkan jutaan informasi- informasi palsu yang siap menyerang kita kapan pun. Oleh karenanya, penutupan media sosial yang sempat diwacanakan salah seorang menteri beberapa waktu lalu bukankah solusi terbaik. Menutup dengan tujuan mengurangi informasi hoax justru akan menampilkan kesan 'menghidupkan' kembali model kepemimpinan otoritatif gaya Orde Baru, di mana yang kritis dibungkam.

Jika ingin memulai, sampaikan informasi-informasi yang benar walau pahit sekalipun. Data kemiskinan, pengangguran, tingkat kesejahteraan rakyat, sampaikan secara akurat tanpa ada manipulasi data. Penegak hukum, jeratlah yang bersalah, dan lepaskan yang mereka yang tak bersalah. Biasakan jadikan informasi yang benar sebagai habit, bukan sebaliknya, kabar bohong malah yang dijadikan habit. Jika kebohongan yang terus dikumandangkan, kita pada akhirnya akan sampai pada level terendah dari kita, yaitu kebohongan dianggap biasa, dan bahkan menjadi komando utama dalam diri kita. Kita bakal terjebak dalam kebohongan berjamaah.

Bukan hanya pemerintah dan aparat penegak hukum, para politisi juga belajar memulai mengampanyekan kebenaran. Tokoh masyarakat, ulama, habib, aktivis, dan bahkan penulis dan intelektual pun harus jujur dan belajar memulai agar jangan menggadaikan intelektualitasnya demi segepok dolar. Pelaku-pelaku lembaga survei juga harus mulai jujur dengan hasil surveinya. Jangan menjual idealism survei dan menukarnya dengan anggaran. Saya sangat yakin hoax, bully, dan fitnah akan segera bisa diakhiri. Musim tiga kondisi ini akan segera berganti dengan musim kejujuran, kebenaran, serta penghormatan. Sehingga masa depan media sosial kita menjadi media yang ramah, nyaman untuk disinggahi, nyaman dalam pikiran dan hati.

Wallahu a'lam bi al-shawab

Rumahku, Bintara Bekasi, 12 Juni 2017

Pukul 02.56 WIB

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun