Ini kemudian yang mendorong Andrian Tanjung mengeluarkan sebuah pengandaian dalam tulisannya beberapa waktu lalu dengan judul "Andai Ahoker Hidup di Zaman Rasulullah". Ia menulis,
"Seandainya orang ini hidup di zaman Nabi lalu melihat nabi hijrah, mereka akan berkata nabi kok pengecut, cemen, harusnya dihadapi dong Jangan lari. Begitu melihat Nabi menghadapi dan memimpin perang Badar, Uhud, Khandaq dll, mereka akan berkata: Nabi kok hobinya perang, mestinya Nabi itu mengajarkan kedamaian, toleransi, kebhinekaan, seperti aku ini." "Mengetahui Nabi menghukum potong tangan bagi pencuri wanita dari kalangan bangsawan, kemudian Nabi marah karena ada yang coba-coba menawar hukuman tsb. Niscaya mereka pun akan berkata: Nabi kok keras dan pemarah begitu, mestinya Nabi itu mengayomi dan mudah memaafkan, seperti aku ini."
Inilah yang betul-betul terjadi hari ini. Pasukan cyber atau yang sering dicibir dengan sebutan "pasukan nasi bungkus" bergentayangan tampil memoles yang benar jadi salah dan yang salah menjadi benar. Bagi mereka, semua perilaku lawan-lawan politiknya tak ada yang benar. Sebaliknya, semua perilaku gengnya dianggap pasti benar. Lihat saja bagaimana misalnya Aksi Bela Islam yang dilakukan hingga berjilid-jilid itu selalu dibully, ditantang, dan dihujani kritik di media sosial? Belum lagi tuduhan anti-Pancasila, anti-Kebhinekaan, dan anti-NKRI.
Begitupun dengan tokoh-tokohnya. Mereka yang tampil sebagai tokoh pemilik panggung pergerakan ini dicarikan masalah, dibully, dihina bahkan tanpa lagi menghormati sejarah yang ia torehkan untuk bangsa ini. Sebut saja Amien Rais dihina dengan berbagai kata-kata nyinyir, cercaan seolah ia tidak pernah punya jasa terhadap negeri ini. Padahal dialah salah satu motor penggerak perubahan sehingga kita lepas dari rezim Orba. Dialah Tokoh Reformasi yang berdiri di Garda terdepan pada tahun 1998; Tokoh politik seperti Sri Bintang Pamungkas bukan hanya diciduk, tetapi juga dicibir dengan berbagai cibiran di dunia maya. Padahal dialah jendral pensiunan TNI yang masih peduli dengan bangsanya, nasionalismenya yang diajarkan di TNI tak luntur meskipun dia telah pensiun. Saya kira, para jenderal yang ada dalam penjara kekuasaan harus belajar banyak dari sosok Sri Bintang Pamungkas tentang bagaimana 'menghamba' pada bangsa ini melalui jiwa nasionalisme dan jiwa-jiwa patriotisme, bukan menghamba pada kekuasaan sesaat.
Sayangnya, apa yang dilakukan Sri Bintang pada akhirnya harus mengantarkannya ke dalam jeruji besi dengan tuduhan makar. Tokoh sentral perjuangan umat Islam, Habib Rizieq Shihab dikejar dengan puluhan kasus yang sulit dicarikan pembuktian kebenarannya. Ustadz Bachtiar Nasir dituduh kirim bantuan dana kepada teroris Suriah. Munarman ditersangkakan. Kemudian banyak aktivis yang terlibat dalam Aksi 411, 212, dan dijeblokskan ke penjara. Mereka dituduh dengan berbagai tumbuhan, mulai dari makar, hate speech, dan UU ITE. Â Ini belum lagi bully yang harus mereka terima di dunia media sosial, yang sarat dengan fitnah dan character assassination (pembunuhan karakter). Media sosial sudah menjadi arena kebohongan dan ruang kebencian.
Pasti Ada Solusi
Semua itu bukanlah akhir dari segalanya. Masih bisa diperbaiki. Caranya, mulai dari diri sendiri. Ketika pemerintah melarang hoax, dengan mengampanyekan anti-hoax, maka mereka harus memulai terlebih dahulu. Mereka tak boleh menyampaikan informasi-informasi hoax kepada rakyat. Bukankah kabar jutaan pekerja Cina yang berduyun-duyun ke Indonesia sampai kini masih menjadi misteri? Pemerintah menyebut mereka hanya turis biasa. Tetapi di sisi lain, banyak ditemukan camp-camp bahkan perkampungan Cina? Bukankah banyak pekerja Cina hanya bermodalkan paspor turis, bukan paspor bekerja?
Imbasnya, tidak sedikit malah dari pendatang Cina yang mulai menggeser pekerjakita, sehingga pekerja kita 'berganti posisi' menjadi pengangguran baru. Modusnya kebanyakan, perusahaan-perusahaan atau pabrik yang dibangun dengan kontrak G to G dengan pemerintah Cina mensyaratkan tenaga kerja dari Cina. Mudah bukan? Di sinilah banyak yang meragukan bahwa apa yang disampaikan pemerintah soal turis Cina sebagai hoax.
Tentu bukan hanya pemerintah. Aparat penegak hukum, khususnya kepolisian pun juga harus jujur. Mereka tak boleh menyampaikan kabar bohong atau fitnah. Temuan kasus-kasus hukum harus benar-benar ada, bukan sengaja diciptakan dan diada-adakan. KPK juga harus membongkar korupsi secara adil (equal before the law). Usut tanpa tebang pilih, meski yang dihadapi seorang pejabat elite yang dekat dengan penguasa sekalipun, meskipun ia seorang petinggi partai politik yang berafiliasi dengan lingkar kekuasaan. KPK harus berani menembus dinding kekuasaan, bukan malah menyelamatkan dengan berbagai alasan seperti "tidak ada niat jahat" dan seterusnya. Jangan sampai kepanjangan KPK diplintir menjadi Komisi Pembela Koruptor atau Komisi Pesanan Kekuasaan.
Jika hukum, kemudian kebijakan politik pemerintah sudah disampaikan dengan benar, apa adanya dengan penuh kejujuran, secara tidak langsung mereka telah memulai menghilangkan hoax, bully, serta fitnah di media sosial. Tetapi jika itu semua itu masih dibiarkan, bahkan terkesan dikelola untuk menguatkan dukungan di media sosial, akan sangat sulit membendung ribuan bahkan jutaan informasi- informasi palsu yang siap menyerang kita kapan pun. Oleh karenanya, penutupan media sosial yang sempat diwacanakan salah seorang menteri beberapa waktu lalu bukankah solusi terbaik. Menutup dengan tujuan mengurangi informasi hoax justru akan menampilkan kesan 'menghidupkan' kembali model kepemimpinan otoritatif gaya Orde Baru, di mana yang kritis dibungkam.
Jika ingin memulai, sampaikan informasi-informasi yang benar walau pahit sekalipun. Data kemiskinan, pengangguran, tingkat kesejahteraan rakyat, sampaikan secara akurat tanpa ada manipulasi data. Penegak hukum, jeratlah yang bersalah, dan lepaskan yang mereka yang tak bersalah. Biasakan jadikan informasi yang benar sebagai habit, bukan sebaliknya, kabar bohong malah yang dijadikan habit. Jika kebohongan yang terus dikumandangkan, kita pada akhirnya akan sampai pada level terendah dari kita, yaitu kebohongan dianggap biasa, dan bahkan menjadi komando utama dalam diri kita. Kita bakal terjebak dalam kebohongan berjamaah.