Mohon tunggu...
Moh. Ilyas
Moh. Ilyas Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ahok, Skenario Allah, dan Kekagetan Saya

13 Mei 2017   20:53 Diperbarui: 13 Mei 2017   21:40 1312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

"Bayangkan beberapa kali juga diperiksa KPK tidak bisa jadi tersangka tapi setelah ditangani Polri sudah jadi tersangka. Proses hukumnya terus berjalan," kata Kapolri saat itu.

Bagi saya, penetapan Ahok tersangka ini seperti menghapus memori “kesaktian dan kekuatan” Ahok yang sebelumnya disebut-sebut publik untouchable,alias tak tersentuh kasus hukum, akhirnya tersentuh juga.

Sebelum menjadi tersangka, publik cemas, pesimistis sembari bergumam: Sulit Ahok menjadi tersangka. Alasannya tidak jauh-jauh dari kekuasaan, sebagaimana dikhawatirkan banyak kalangan – meskipun terhadap tuduhan ini, Presiden Joko Widodo berkali-kali membantahnya. Sebagian lainnya juga masih percaya penetapannya sebagai tersangka hanya sekadar “permainan” untuk meredam gejolak publik yang di antaranya ditandai dengan aksi-aksi bela Islam menuntut keadilan.

Dengan melihat sepak terjang orang-orang di sekitar kekuasaan, misalnya ketika Ahok “salah ngomong” di pengadilan dan menyudutkan Ketua Umum MUI yang juga petinggi NU KH Ma’ruf Amin, tiba-tiba Menko Luhut Panjaitan dan Kapolda Metro mendatangi kediaman Ma’ruf Amin. Mereka memintakan maaf Ahok kepada Amin. “Lho, kok mereka yang memintakan maaf? Ahok siapa, mereka siapa, apa kaitannya?” Begitulah bisik-bisik publik waktu itu.

Modus ini berlanjut hingga sikap keukeuh Mendagri yang tidak mau menonaktifkan Ahok sebagai Gubernur DKI, di saat statusnya sudah menjadi terdakwa; disusul kemudian tuntutan JPU yang terbilang aneh bin ajaib, yang hanya menuntut penjara untuk Ahok satu tahun. Publik kemudian mengait-kaitkan ini dengan posisi Jaksa Agung yang diemban oleh politikus Nasdem, yang notabene merupakan salah satu partai utama pendukung Ahok. Tapi jaksa bukanlah akhir. Pintu keadilan terakhir berada di hakim. Maka sikap hakimlah yang kemudian ditunggu publik.

Lalu kekagetan kedua saya adalah ketika Ahok-Djarot keok di Pilkada DKI pada 19 April 2017. Ahok-Djarot kalah telak dari rivalnya Anies-Sandi yang berdasarkan Hasil Pleno KPU DKI meraup suara 57,96%. Sedangkan Ahok-Djarot hanya 42,04%.

Kemenangan dengan selisih suara yang sangat besar ini sangat membuat saya kaget. Saya memprediksi, sebagaimana juga prediksi kawan-kawan saya, termasuk mereka yang menekuni dunia survei dan penelitian, menyebutkan bahwa siapapun pemenangnya, selisihnya sangatlah tipis. Namun, apa yang terjadi, hasilnya jauh dari prediksi lembaga survei. Sebelum hari H, selisih Anies-Sandi dan Ahok-Djarot hanya sekitar 2 persen, yakni 49% untuk Anies-Sandi dan 47% untuk Ahok-Djarot. Bahkan salah satu lembaga survei, Charta Politica (lembaga survey yang diketahui sebagai pendukung Ahok-Djarot) malah berani menempatkan Ahok-Djarot di atas Anies-Sandi.

Saya sendiri saat itu tengah ‘bertugas’ di Kelurahan Kedaung Kali Angke, Cengkareng, Jakarta Barat. Tapi sambil menginput data masuk, saya terus mengikuti dan menyaksikan secara live beberapa media online dan media elektronik. Saya terus dibuat geleng-geleng kepala tidak percaya dengan selisih perolehan suara yang cukup jauh, dengan kemenangan Anies-Sandi. Hasil ini sungguh mengagetkan saya dan kemungkinan juga sebagian besar warga DKI. Mereka-mereka di lembaga survei nyaris tidak percaya melihat selisih yang terlalu renggang tersebut.

Kenapa semua ini terjadi? Sulit untuk tidak dikatakan bahwa semua ini ada invisible hand, ada campur tangan Allah, kekuatan transendental, kekuatan yang tak terhingga dan tak terlihat manusia. Peristiwa ini tidaklah natural sebagaimana kasus pada umumnya. Dengan mengikuti kekayaan dinamika dari berbagai aksi dan praharanya, termasuk banyaknya korban-korban tuduhan makar, kita melihat bahwa ada skenario yang lebih tinggi pangkatnya daripada skenario yang diciptakan manusia, secanggih apapun itu.

Pertolongan Allah melalui kekuatan do’a ini selain diakui banyak kalangan, juga diakui secara luar biasa oleh Anies Baswedan. Dalam sebuah syukuran kemenangan yang diadakan Relawan Dahmi di bilangan Tebet Barat pada akhir April 2017, Anies menyebut bahwa kemenangannya adalah benar-benar pertolongan Allah. Ini disebabkan banyaknya umat Islam yang menggelar doa, istighatsah, dan bahkan berpuasa, demi kekalahan Ahok. Dan doa-doa itu diakui Anies tidak hanya di Jakarta, tetapi di daerah-daerah lainnya di Indonesia.

“Ada namanya Pak Bahar, di Palu, itu puasa tujuh hari, dan tiap malam membacakan 40 yasin,” Anies menuturkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun