Dalam sepekan terakhir, bunga jadi perbincangan di beberapa tempat, wabilkhusus di Jakarta. Penyebabnya, tak lain karena banyaknya karangan bunga yang dikirim ke Balai Kota DKI, tempat Ahok-Djarot menghabiskan hari-hari terakhir kepemimpinannya di Ibu Kota.
Namun, tak sampai sepekan, karangan bunga kembali jadi sorotan utama kamera awak media. Bukan hanya soal aksi para buruh yang membakar bunga di Balai Kota DKI dan di area Monas, tetapi juga soal karangan bunga yang kini “bergeser tempat” ke kepolisian.
Jika di Balai Kota DKI karangan bunga didefinisikan sebagai simbol "gagal move on" para pendukung Ahok-Djarot yang kalah pada Pilkada DKI 19 April 2017, di Kepolisian (Mabes Polri dan sejumlah Polda di Tanah Air), karangan bunga dijadikan simbol dukungan terhadap Polri untuk menindak tegas kelompok radikalisme.
Seperti gayung bersambut, Polri yang beberapa hari terakhir memang mengaku membutuhkan dukungan dari "silent majority" merasa terbantu dengan adanya bunga-bunga tersebut. Polri merasa semakin punya energi tambahan untuk memberantas radikalisme, atau organisasi yang anti-Pancasila, anti-NKRI, dan anti-Bhinneka Tunggal Ika.
Spekulasi
Namun begitu, ribuan karangan bunga itu tak luput dari spekulasi publik. Apalagi ia dikirim secara serentak. Ada yang menyebut karangan bunga di Balai Kota DKI sebagai bentuk “gagal move on” dan bentuk empati kepada Ahok-Djarot, namun ada pula pesan di medsos yang mengabarkan jika karangan bunga itu memang sudah disiapkan sejak sebelum Hari H Pilkada DKI Putaran Kedua. Tujuannya, sebagai persiapan ucapan kemenangan untuk Ahok-Djarot.
Perihal kabar angin ini, konon, disebutkan pihak pemesan meminta pengembalian dana yang sudah masuk ke tempat pemesanan bunga, setelah Ahok-Djarot kalah di Pilkada. Namun pihak penjual bunga tidak mau dirugikan dan tidak mau mengembalikan. Akhirnya, tercapailah kesepakatan jika bunga tetap dipesan namun dengan perubahan redaksi, dan kata-kata yang menjadi pesan pada karangan bunga tersebut. Bukan itu saja. Ada pula yang berspekulasi dengan menyebut bahwa karangan-karangan bunga itu dipesan oleh seorang Taipan, konglomerat pendukung Ahok. Sehingga wajar jika pada sebagian besar karangan bunga, tidak ada nama pengirim yang jelas. Kebanyakan adalah anonim.
Begitu pun dengan karangan bunga di kepolisian. Meski banyak mendukung, karena bunga itu berisi dukungan kepada Polri untuk menjaga NKRI, namun ia tak bisa lepas dari spekulasi. Apalagi dikirimnya secara serentak.
“Kok bisa bersamaan? Ada apa? Kok aneh,” begitu isi sebagian pertanyaan publik. Bahkan, sebagian media non-mainstream pun juga telah terbawa dalam spekulasi tersebut. Oleh karenanya, sebagian persepsi publik kemudian terbentuk jika karangan bunga yang mencapai ribuan atau jika diuangkan bernilai hingga miliaran rupiah tersebut tak lepas dari unsur politik, bahkan intrik. Betulkah spekulasi-spekulasi itu? Bisa ya, bisa juga tidak.
Politik, Intrik, atau…
Bunga adalah simbol keindahan. Dalam politik, tentu itu menjadi nilai plus yang layak diapresiasi. Dengan kata lain, jika politik menggunakan filosofi bunga, maka yang hadir adalah keindahan, kebaikan, dan aroma yang wangi, yang berarti kedamaian.
Dengan mengikuti filosofi karangan bunga, mereka yang kalah dalam kontestasi politik, tidak berarti harus meninggalkan bau yang tidak sedap, dengan terus saling mencela dan melakukan bully. Mereka mesti berbesar hati atas perjuangan yang belum membuahkan hasil. Kekalahan, tak membuat mereka berpaling untuk tetap bisa mewariskan pesan keharuman kepada publik.
Begitu pun jika memotret karangan bunga untuk Polri yang mengandung pesan memberantas radikalisme, menegakkan Pancasila, dan Bhineka Tunggal Ika, demi keutuhan NKRI. Dukungan melalui karangan bunga ini bernilai besar, karena ia bisa menjadi antitesa dari cara-cara kekerasan. Bahkan karangan bunga lebih soft daripada demonstrasi dan aksi hingga berjilid-jilid, yang selama ini banyak didengungkan untuk mendukung penegak hukum agar tak keluar dari koridornya sebagai penegak keadilan. Karangan bunga mengandung nilai dukungan, tetapi juga membungkus dukungan itu dalam aura keharuman dan keindahan.
Lalu apakah sesederhana itu? Jika kiriman karangan bunga itu benar-benar holistik, ikhlas, dan pure, maka jawabnya “ya”. Tetapi jika di balik kiriman bungan itu ada motif-motif lain yang keluar dari ketulusan, maka ia tak lebih daripada sekadar “karangan bunga politis”. Maka, ketika ia bermakna politis, tentu sulit dipisahkan dengan yang namanya kepentingan. Sebab, tidak akan ada politik, seandai nya tidak ada kepentingan. Politik, ada kalanya memang sulit dimaknai atau bahkan ditafsirkan, sebab politik dan dunianya terkadang memang penuh dengan misteri.
Jika ia tak holistik, boleh jadi karangan-karangan bunga itu hanya bermakna sebagai intrik politik semata yang digarap secara sistematis guna mengemas opini dan menciptakan persepsi tertentu di mata publik. Jika ini yang terjadi, karangan bunga kemudian hanya dijadikan komoditas politik. Ukuran kesuksesan suatu intrik politik, jika dalam perkembangannya mampu menyedot perhatian banyak pihak. Misalnya, orang-orang jadi terangsang untuk ikut nimbrung mengomentarinya, terbawa dan ikut simpati. Singkatnya, emosi mereka ikut teraduk oleh intrik tersebut.
Lazimnya, sebuah intrik tidak lepas dari pesanan seseorang atau sekelompok orang tertentu. Sebab, nyaris tidak pernah ada intrik politik yang sifatnya alamiah dan berjalan apa adanya. Ibarat paket dalam dunia pijat refleksi, tawaran pijat berkualitas dengan tangan-tangan terampil dan seterusnya sudah dikemas sedemikian rupa, tentu dengan tarifnya juga yang tersedia sesuai dengan yang diinginkan: apakah sekujur tubuh, atau hanya bagian kaki saja, tangan, dan seterusnya, tinggal kemauan kita. Hasilnya, juga sesuai dengan keinginan kita: nyaman seluruh badan, atau sebagian organ yang dipijat saja. Begitu pula model pesanan intrik dalam politik. Dalam KBBI, intrik dimaknai sebagai “penyebaran kabar bohong yang sengaja untuk menjatuhkan lawan”. Intrik biasanya dilakukan dengan cara persekutuan, konspirasi, kerjasama, rekayasa, dan perkomplotan.
Lalu, apakah karangan bunga yang dikirim kepada Ahok-Djarot di Balai Kota atau yang dikirim ke Polri dan TNI adalah bagian dari politik dan intrik? Wallahu a’lam. Kita tidak tahu secara pasti. Hanya saja, saya tetap berkeyakinan bahwa makna karangan bunga ini tetaplah mengandung kelembutan dan keindahan, kendatipun memiliki niat yang disembunyikan sekalipun. Dalam terminologi Joseph Nye dari Harvard University, pengiriman karangan bunga ini tergolong dalam kategori Soft Power, karena ia berupaya membentuk preferensi orang lain, daya pikat, dan daya tarik dengan cara yang halus, tidak mengkooptasi dengan cara memaksa (hard power).
Oleh karenanya, meski secara hitungan material, terbilang “menghambur-hamburkan”, tetapi secara politik juga bisa bermakna: mengubah pandangan akan suatu hal di saat bersamaan menjadi pandangan baru. Seni-seni untuk mengolah yang paling mungkin inilah salah satu poin penting dari definisi politik sebagai “The art of possibility”.
East Tebet, 5/5/2017
Pukul 22.25 WIB.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H