Mohon tunggu...
Moh. Ilyas
Moh. Ilyas Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Karangan Bunga: Politik, Intrik, atau...

11 Mei 2017   22:26 Diperbarui: 12 Mei 2017   13:12 1625
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dengan mengikuti filosofi karangan bunga, mereka yang kalah dalam kontestasi politik, tidak berarti harus meninggalkan bau yang tidak sedap, dengan terus saling mencela dan melakukan bully. Mereka mesti berbesar hati atas perjuangan yang belum membuahkan hasil. Kekalahan, tak membuat mereka berpaling untuk tetap bisa mewariskan pesan keharuman kepada publik.

Begitu pun jika memotret karangan bunga untuk Polri yang mengandung pesan memberantas radikalisme, menegakkan Pancasila, dan Bhineka Tunggal Ika, demi keutuhan NKRI. Dukungan melalui karangan bunga ini bernilai besar, karena ia bisa menjadi antitesa dari cara-cara kekerasan. Bahkan karangan bunga lebih soft daripada demonstrasi dan aksi hingga berjilid-jilid, yang selama ini banyak didengungkan untuk mendukung penegak hukum agar tak keluar dari koridornya sebagai penegak keadilan. Karangan bunga mengandung nilai dukungan, tetapi juga membungkus dukungan itu dalam aura keharuman dan keindahan.

Lalu apakah sesederhana itu? Jika kiriman karangan bunga itu benar-benar holistik, ikhlas, dan pure, maka jawabnya “ya”. Tetapi jika di balik kiriman bungan itu ada motif-motif lain yang keluar dari ketulusan, maka ia tak lebih daripada sekadar “karangan bunga politis”. Maka, ketika ia bermakna politis, tentu sulit dipisahkan dengan yang namanya kepentingan. Sebab, tidak akan ada politik, seandai nya tidak ada kepentingan. Politik, ada kalanya memang sulit dimaknai atau bahkan ditafsirkan, sebab politik dan dunianya terkadang memang penuh dengan misteri.

Jika ia tak holistik, boleh jadi karangan-karangan bunga itu hanya bermakna sebagai intrik politik semata yang digarap secara sistematis guna mengemas opini dan menciptakan persepsi tertentu di mata publik. Jika ini yang terjadi, karangan bunga kemudian hanya dijadikan komoditas politik. Ukuran kesuksesan suatu intrik politik, jika dalam perkembangannya mampu menyedot perhatian banyak pihak. Misalnya, orang-orang jadi terangsang untuk ikut nimbrung mengomentarinya, terbawa dan ikut simpati. Singkatnya, emosi mereka ikut teraduk oleh intrik tersebut.

Lazimnya, sebuah intrik tidak lepas dari pesanan seseorang atau sekelompok orang tertentu. Sebab, nyaris tidak pernah ada intrik politik yang sifatnya alamiah dan berjalan apa adanya. Ibarat paket dalam dunia pijat refleksi, tawaran pijat berkualitas dengan tangan-tangan terampil dan seterusnya sudah dikemas sedemikian rupa, tentu dengan tarifnya juga yang tersedia sesuai dengan yang diinginkan: apakah sekujur tubuh, atau hanya bagian kaki saja, tangan, dan seterusnya, tinggal kemauan kita. Hasilnya, juga sesuai dengan keinginan kita: nyaman seluruh badan, atau sebagian organ yang dipijat saja. Begitu pula model pesanan intrik dalam politik. Dalam KBBI, intrik dimaknai sebagai “penyebaran kabar bohong yang sengaja untuk menjatuhkan lawan”. Intrik biasanya dilakukan dengan cara persekutuan, konspirasi, kerjasama, rekayasa, dan perkomplotan. 

Lalu, apakah karangan bunga yang dikirim kepada Ahok-Djarot di Balai Kota atau yang dikirim ke Polri dan TNI adalah bagian dari politik dan intrik? Wallahu a’lam. Kita tidak tahu secara pasti. Hanya saja, saya tetap berkeyakinan bahwa makna karangan bunga ini tetaplah mengandung kelembutan dan keindahan, kendatipun memiliki niat yang disembunyikan sekalipun. Dalam terminologi Joseph Nye dari Harvard University, pengiriman karangan bunga ini tergolong dalam kategori Soft Power, karena ia berupaya membentuk preferensi orang lain, daya pikat, dan daya tarik dengan cara yang halus, tidak mengkooptasi dengan cara memaksa (hard power).

Oleh karenanya, meski secara hitungan material, terbilang “menghambur-hamburkan”, tetapi secara politik juga bisa bermakna: mengubah pandangan akan suatu hal di saat bersamaan menjadi pandangan baru. Seni-seni untuk mengolah yang paling mungkin inilah salah satu poin penting dari definisi politik sebagai “The art of possibility”.

East Tebet, 5/5/2017

Pukul 22.25 WIB.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun