Kementerian Perdagangan (Kemendag) bulan lalu melakukan pemusnahan pakaian bekas impor. Ada 750 bal pakaian bekas impor yang dimusnahkan. Nilainya mencapai Rp8,5 miliar. Semua itu barang hasil sitaan. Dari pergudangan Gracia, Karawang, Jawa Barat.
Penjualan pakaian impor bekas kembali menggeliat paska pandemi. Data badan pusat statistik (BPS) menunjukkan, impor pakaian bekas tahun 2021 sebanyak 8 ton atau setara USD 44 ribu. Data itu masih rendah. Apalagi jika dibandingkan data impor pakaian bekas tahun 2019. Pada saat itu jumlah impor pakaian bekas mencapai 392 ton. Atau senilai lebih dari USD 6 juta.
Impor pakaian bekas masih terus terjadi karena tingginya permintaan. Bahkan ada pasar khususnya. Di hampir setiap daerah. Anak muda pun punya sebutan sendiri. Istilahnya Thrifting. Berburu pakaian bekas.
Thrift berasal dari bahasa Inggris. Artinya berhemat. Mungkin maksudnya, membeli pakaian bekas impor adalah untuk berhemat. Bisa beli pakaian branded tapi dengan harga murah.
Pakaian bekas impor yang diburu adalah pakaian branded dari luar negeri; China, Korea, Jepang, dan Eropa.
Merk yang diburu biasanya yang sulit ditemukan di pasaran. Di antaranya; True Religion-asal Amerika. Evisu-dari Jepang. Atau Levi's, Zara hingga Guess.
Di toko resmi, harga pakaian merk ini bisa sampai jutaan. Namun di pasar pakaian bekas impor, harganya hanya sekitar Rp200-300 ribu. Tapi untuk bisa menemukannya, bukanlah hal yang gampang. Butuh usaha. Butuh tenaga. Ibaratnya mencari 'harta karun' di sisa reruntuhan.
Sebagian barang-barang thrift yang ada di Indonesia masuk melalui jalur-jalur tikus. Karena jika masuk dari pelaburan resmi, akan langsung disita. Karena pemerintah sudah melarang impor pakaian bekas. Salah satunya karena faktor kesehatan. Pakaian bekas impor sulit dibersihkan. Butuh berkali-kali cuci. Agar bersih dan bebas dari kuman penyakit.
Mengutip BBC Indonesia, Barang-barang thrift masuk dari perbatasan Singapura dan Malaysia. Diangkut dengan kapal tongkang. Menuju sejumlah pelabuhan. Di antaranya Batam, Kalimantan dan Sumatera. Kemudian, barang-barang itu diangkut melalui kapal kayu lewat pelabuhan-pelabuhan kecil. Di Sumatera saja ada sekitar 100 pelabuhan kecil. Belum lagi di Batam dan Kalimantan.
Kemudian barang-barang tersebut berpindah. Dari kapal kayu diangkut ke truk atau mobil box. Barulah kemudian di kirim lewat jalur darat. Ke pulau-pulau Jawa. Lalu tersebar ke seluruh Indonesia bahkan hingga ke pelosok desa.