Ia kemudian membeli becak bekas. Becak itu bisa mengangkat lebih banyak biskuit. Bisa angkut sampai 18 kaleng. Untuk mengayuh becak, ia bayar seorang tukang becak. Dengan begitu, keuntungannya bertambah. Ia bisa menabung hingga 2.500 gulden.
Uang itu kemudian digunakan untuk memperbaiki rumah. Dinding bambu diganti papan. Atap daun diganti seng. Uang yang dihabiskan sekitar 1.000 Gulden. Sisa uangnya ditabung. Eka kepingin sekali bisa sekolah ke luar negeri.Â
Eka terus menabung untuk mimpinya itu. Ia bekerja ke sana kemari. Mengumpulkan uang dan menabung. Salah satunya dengan cara ikut arisan. Karena saat itu belum banyak bank. Apalagi bank yang mau meladeni seorang anak kecil.
Tak lama berselang, Jepang datang menjelang. Menjajah Indonesia-termasuk Makasar. Keadaan kacau. Ekonomi hancur. Si pengelola arisan kabur. Bersama tabungan seluruh anggota-termasuk tabungan milik Eka.
Eka pun hancur. Kecewa. Uang arisan yang diimpikan untuk bersekolah ke luar negeri hilang entah ke mana.
Peluang kemudian datang menghampiri. Saat duduk-duduk di Pantai Losari ia melihat pasukan Jepang membuang rongsokan sisa perang. Banyak besi-terigu-semen yang dibuang-buang.
Ia melihatnya hampir setiap hari. Hingga akhirnya jiwa enterprenurnya bangkit. Akal cerdiknya kembali bermain. Ia ingin membeli barang rongsokan itu. Untuk dijual kembali. Tapi ia tak punya uang. Semua uang ludes dibawa kabur. Bagaimana caranya? Â
Ia kemudian pulang ke rumah. Membawa semua barang-barang yang bisa dibawa. Ia bawa kopi. Meja kursi. Besok pagi-pagi sekali, ia sudah berada di dekat tempat pembuangan rongsokan. Menawarkan kopi kepada para tentara Jepang.
Laku? Tidak. Tentara Jepang tak ada mau yang mampir minum kopi.
Lalu keesokan harinya ia masak ayam putih. Minta dimassakan ibu. Untuk dijual bersamaan dengan kopi.
Berhasil? Belum juga. Tentara Jepang belum juga mau beli.