6 Agustus - (moerni) Ketika mendengar nama Sinar Mas, yang terbayang tentu sebuah perusahaan yang super besar. Punya banyak cabang. Punya banyak lini usaha. Punya banyak pekerja. Punya banyak asset dan banyak yang lainnya.
Tapi semua yang banyak-banyak itu diawali dari yang sedikit. Yang super besar itu dimulai dari yang sangat kecil. Dimulai dari satu orang. Eka Tjipta Widjaja. Yang telah wafat pada 26 Januari 2019 lalu di usia 98 tahun.
Tulisan ini dibuat untuk mengenang sosok Eka Tjipta Widjaja. Perannya dalam membangun Indonesia. Dan 100 tahun Sinar Mas untuk Indonesia. Namun sebelum membahas raksasa bisnis Sinar Mas. Atau lini bisnis lain seperti Asian Pulp and Paper. Akan canggung rasanya jika tak membahas kegigihan Eka dalam membangun kerajaan bisnisnya.Â
Eka memulai semuanya dari bawah. Dari ketidakadaan. Sekitar seabad lalu. Saat pria bernama asli Oei Ek-Thjong itu datang ke Indonesia. Ia datang bersama ibunya. Berangkat dari kota kelahirannya Zhang Zhou, Tiongkok. Naik kapal laut. Berhari-hari bermalam-malam. Menyusul ayahnya Oei Tjek Tjai yang sudah lebih dulu ke Makasar, Sulewasi Selatan.
Di Makassar ayahya sudah punya rumah-walaupun berdinding bambu-yang orang sini bilangnya gedhek. Walaupun atapnya dari daun rumbia. Tapi sudah punya usaha kelontong kecil-kecilan.
Saat tiba di Makassar usianya baru 9 tahun. Belum bisa bicara bahasa lokal. Bisanya hanya basa Hokkian. Tapi punya tekad dagang yang kuat.
Tak hanya membantu ayahnya berjualan di warung. Eka juga 'jemput bola' mendatangi rumah-rumah pelanggan. Yang dijual adalah barang-barang ayahnya. Lama-lama berjualan sendiri. Dagangan pertamanya adalah biskuit-seperti yang sudah banyak dikisahkan.
Eka memang terkenal dengan otaknya yang cerdik. Sama cerdiknya ketika ia membujuk kepala sekolah. Agar tak memaksanya bersekolah mengulang dari kelas 1. Ia bersimpuh di kaki kepala sekolah. Menciumi kakinya. Memohon agar bisa langsung duduk di kelas 3. Karena kalau harus ngulang dari kelas 1, itu akan menghabiskan banyak waktu. Lagi pula, ia tak mau sekelas dengan anak usia 7 tahun. Akhirnya Eka dipersilahkan duduk di kelas 3.
Akal cerdik pula yang jadi modal awal berjualan biskuit. Eka yang tak punya uang, datang ke sebuah toko. Nama tokonya Ming Heng. Ia memohon diberi pinjaman biskuit. Agar si empunya toko percaya-ia serahkan ijazah SD-nya. Ijazah yang didapat dengan susah payah.
Cara itupun berhasil. Ia dipinjami empat kaleng biskuit. Lalu dijual-dan uangnya disetor ke pemilik toko. Terus begitu sampai ia bisa mendapatkan enam kaleng biskit. Lama setelah itu, keuntungannya tak lagi bertambah. Mentok. Karena hanya bisa berjualan enam kaleng biskuit.