Mohon tunggu...
Kang Moenir
Kang Moenir Mohon Tunggu... Lainnya - Berproses menjadi sesuatu

Murid yang masih butuh bimbingan seorang Guru

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Desa "Mengepung" Kota, Strategi Bawaslu Perangi Politik Uang

14 Januari 2022   16:44 Diperbarui: 17 Januari 2022   09:45 272
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru-baru ini melakukan operasi tangkap tangan terhadap Bupati Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Abdul Gafur Mas'ud. 

Orang nomor satu di lokasi ibu kota negara (IKN) baru pengganti Jakarta itu ditetapkan sebagai tersangka suap terkait dengan kegiatan pekerjaan pengadaan barang dan jasa serta perizinan di Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur tahun 2021-2022. 

Dalam penangkapan itu KPK menyita uang Rp 1,4 miliar sebagai barang bukti penangkapan. Abdul Gafur tak sendiri, ia diamankan bersama 10 orang yang terdiri dari aparatur sipil negara (ASN) dan pihak swasta dalam operasi tangkap tangan (OTT) di Jakarta dan Kalimantan Timur pada Rabu (12/1/2022).

Kasus OTT Bupati Penajam Paser menambah deretan pejabat politik yang terjerat kasus korupsi dan terpaksa berurusan aparat penegak hukum. 

Setidaknya berdasarkan data yang dirilis Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhir September 2020, tercatat ada 397 pejabat politik yang terjerat kasus korupsi sejak tahun 2004 hingga Mei 2020. 

Rinciannya, anggota DPR/DPRD 257 orang, Gubernur 21 orang dan Bupati/Walikota 119 orang. Sementara data Indonesia Corruption Watch (ICW) yang menggabungkan jumlah kasus yang ditangani KPK, Kejaksaan dan Kepolisian, dalam kurun yang sama ada 253 kepala daerah dan 503 anggota DPR/DPRD yang menjadi tersangka korupsi. 

Dilihat dari persebarannya, kasus korupsi yang melibatkan pejabat public tersebut terjadi di 27 dari 34 provinsi se-Indonesia. Data ini jika terus diperbarui hingga awal tahun 2022, tentu jumlahnya semakin bertambah, mengingat kasus-kasus korupsi yang melibatkan pejabat public masih menghiasi pemberitaan media massa kita akhir-akhir ini.

Mengutip pendapat Fransiska Adelina (2019), salah satu penyebab dari praktik korupsi politik ialah politik uang yang digunakan untuk praktik jual beli suara pemilih. Dampak korupsi dalam Pemilu sangat beragam. 

Salah satu contohnya ialah ketika politisi yang terpilih dengan cara korup, maka dapat dipastikan akan melakukan praktik korupsi ketika berkuasa. 

Ironisnya, praktik politik uang di masyarakat kita dewasa ini masih dianggap hal yang sepele. Survei yang dilakukan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), 40% menunjukkan masyarakat Indonesia menerima uang dari peserta pemilu 2019 dan 37% masyarakat Indonesia mengaku menerima uang dan mempertimbangkan untuk tetap memilih mereka (Purnamasari, 2019).

Fenomena tersebut tentu sangat memprihatinkan dan perlu disikapi bersama. Kualitas sistem demokrasi perlu diperbaiki, baik melalui perbaikan regulasi pemilu, maupun menumbuh kembangkan budaya anti politik uang di tengah-tengah masyarakat. 

Praktik politik uang ini terbukti sudah mencederai sistem demokrasi kita, dan harus diakui bahwa politik uang telah tumbuh subur dalam sistem sosial kemasyarakatan kita. 

Maka dibutuhkan sebuah upaya yang sistematis dan massif serta dukungan dari masyarakat dalam memberantas keberadaan politik uang ini. 

Masyarakat harus disadarkan bahwa praktik politik uang dalam pemilu akan menciptakan seorang pejabat publik yang korup dan tidak pro terhadap rakyat. 

Awal mula terjadinya korupsi di dalam pemerintahan ialah proses pemilu/ pemilihan yang didominasi praktik politik uang. Akibatnya ialah biaya politik yang tinggi. Maka dari itu, cara mencegah korupsi dapat di awali dari memberikan pendidikan politik mengenai politik uang di tingkat basis.

Lantas siapakah yang pihak-pihak yang berkewajiban/bertugas memberikan pendidikan politik?

Berdasar konstitusi, pihak yang berkewajiban memberikan pendidikan politik salah satunya adalah Badan Pengawas Pemilu, selain Partai Politik tentunya.  Wabil khusus Bawaslu Kabupaten/Kota, kewajiban itu termaktup pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu, yakni mengembangkan pengawasan Pemilu partisipatif (Pasal 104, huruf f). Pengawasan Partisipatif kurang lebih berarti melibatkan seluruh warga negara untuk ikut aktif dalam proses pengawasan pemilu. Proses melibatkan warga dalam pengawasan Pemilu ini secara otomatis dilalui melalui kerja-kerja pendidikan politik. Salah satu materinya, tentu bagaimana penyelenggaraan Pemilu berintegritas, tanpa politik uang. Kewajiban Bawaslu Kabupaten/Kota mengembangkan pengawasan Pemilu partisipatif ini sejalan dengan salah satu tugas yang diembannya, yakni mencegah terjadinya praktik politik uang (Pasal 93e, Pasal 97c, Pasal 101c)). 

Maka, Bawaslu ini setidaknya sejak dipermanenkan terus melakukan langkah-langkah strategis yang bertujuan untuk mencegah praktek politik uang. Basis pencegahan ini bisa dimulai dari keluarga dan lingkungan sosial terdekat. Untuk itulah kemudian disusun sebuah konsep Desa Pengawasan dan Desa Anti Politik Uang untuk menghasilkan Pemilihan Umum yang bersih dan bermartabat.

Sesuai dengan konsep Bawaslu, definisi Desa Pengawasan adalah Desa yang masyarakatnya memiliki kesadaran untuk terciptanya pemilu yang demokratis dan mampu menekan potensi pelanggaran dengan pendekatan pencegahan dan penindakan serta berpartisipasi ikut mengawasi dan melaporkan dugaan pelanggaran di wilayahnya. 

Sedangkan Desa Anti Politik Uang (Desantiku) adalah desa yang karakteristik masyarakatnya diharapkan memiliki kesadaran politik tinggi untuk mewujudkan demokrasi  bersih  dan  bermartabat  serta memiliki komitmen kokoh menolak dan melawan politik uang.

Deklarasi Desa Pengawasan maupun Desa Anti Politik Uang ini cukup marak di Pemilu 2019 lalu. Di Kabupaten Semarang misalnya, ada 3 Desa Pengawasan dan 24 Desa Anti Politik Uang. Kemudian program ini dilanjutkan pada tahun 2021. Meskipun dalam suasana Pendemi Covid-19, Bawaslu Kabupaten Semarang bisa menambah jumlah Desa Pengawasan dan Desa Anti Politik Uang, masing-masing 4 Desa. Sehingga secara keseluruhan, di Kabupaten Semarang hingga akhir 2021 terdapat 7 desa pengawasan dan 27 Desa Anti Politik Uang. Dibandingkan keseluruhan desa/kelurahan di Kabupaten ini, yakni 235 Desa/Kelurahan, jumlah Desa Pengawasan maupun Desa Anti Politi uang ini memang masih relative sedikit.

Pembentukan Desa Pengawasan maupun Desa Anti Politik Uang ini merupakan bentuk sinergi antara penyelenggara pemilu yang jujur dan adil serta keinginan publik yang kuat untuk menghilangkan hal-hal yang merusak demokrasi, termasuk salah satunya praktik politik uang. Baik pemberi maupun penerima harus diedukasi guna memberantas praktik politik uang ini. 

Pihak pemberi perlu diingatkan karena perbuatan ini bisa diindikasikan tindak pidana pemilu. Sedangkan warga penerima juga harus diingatkan agar tidak mengorbankan hak politiknya dengan imbalan uang. Perlawanan masyarakat terhadap praktik politik uang ini sangat penting untuk memosisikan masyarakat sebagai good citizen dan sebagai kontrol roda pemerintahan.

Pasca deklarasi Desa Pengawasan dan Desa Anti Politik Uang, perlu didorong keterlibatan stakeholder terkait terutama dari pihak pemerintahan desa untuk bersama-sama mendukung dan menjamin kerja-kerja pendidikan politik dapat berjalan maksimal dan terus menerus. 

Beberapa kegiatan lanjutan yang bisa dilakukan antara lain;  Bimtek penguatan kapasitas tim/forum warga sebagai bekal untuk melakukan pendidikan politik di masyarakat;  Aksi Bersama kampanye anti politik uang di setiap kegiatan warga; Khutbah jumat dengan meteri sosialisasi bahaya politik uang; Pemasangan rambu-rambu pengawasan pemilu; Workshop bersama para ahli pemilu dan penyelenggara pemilu untuk memberikan pendidikan terkait bahaya politik uang; Literasi atau pendidikan politik berbasis forum warga seperti di arisan RT/RW, pengajian, dan forum karang taruna dengan komponen materi yang disampaikan yaitu bahaya politik uang dan posisi masyarakat di negara demokrasi. 

Harus diakui, sejauh ini sangat jarang masyarakat Desa mendapatkan pendidikan politik yang baik. Maka, dengan pembentukan Desa Pengawasan maupun Desa Anti Politik Uang ini bisa menjadi langkah awal untuk terbentuknya tim/forum Desa yang selalu memberikan narasi politik positif di masyarakat secara berkala. Kita secara bersama-sama harus bisa mengembalikan Pemilu sebagai proses pelibatan warga negara ke dalam proses pemerintahan berdasarkan komitmen moral-rasional, bukan lagi politik transaksional. Jika masyarakat di desa di seluruh Indonesia bergerak menolak dan melawan praktik politik uang, hal itu akan mampu mengubah wajah demokrasi Indonesia di masa mendatang menjadi semakin baik.

Kalau Mao Zedong memiliki strategi desa mengepung kota dalam menjalankan revolusi di China dan Jack Ma si bos Alibaba menjadikan desa sebagai basis perekonomian digital yang menyulap Hangzhou menjadi pusat ekonomi digital China, maka berharap titik tolak perlawanan terhadap praktik politik uang melalui pembentukan Desa Pengawasan dan Desa Anti Politik Uang ini bukanlah hal yang mengada-ada. Sebagaimana kata-kata sakti Bung Hatta tentang desa "Indonesia tidak akan besar karena obor di Jakarta, tapi Indonesia akan bercahaya karena lilin-lilin di desa".

Salam Awas!!!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun