"Hipnosis", sebuah ilmu pemberdayaan diri yang unik. Dia digemari, dicari, dibenci, bahkan dicaci-maki dan disalahpahami. Betapa tidak? Banyak sekali orang yang berminat menguasai ilmu ini sehingga rela mengeluarkan jutaan rupiah untuk mendapatkannya. Tidak sedikit orang beguru ke sana-kemari, mengikuti berbagai seminar, workshop, training, dan pelatihan. Alih-alih menguasai, banyak di antara mereka tetap 0 (nol) besar, lantas mengambinghitamkan guru atau trainer (bahkan lembaga) yang mengajarkan. Tidak sedikit pula orang yang belajar secara otodidak, kemudian menjadi piawai membawakan "ilmu Dewa Tidur" ini dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Tak jarang dari mereka yang berhasil menjadi hipnotis, resign dari tempat dan selanjutnya bersolo karier menjadi terapis, trainer, penghibur, bahkan motivator andal. Ada pula yang tetap menggeluti pekerjaan atau mempertahankan karier mereka di perusahaan dan menerapkan ilmu yang diperolehnya untuk melambungkan karier tersebut. Belum lagi, munculnya persaingan-persaingan yang luar biasa dahsyat di antara sesama praktisi hipnosis ---terutama di media sosial--- untuk sekadar menunjukkan eksistensi diri hingga berebut periuk nasi.
Melalui hipnosis pula, yang kemudian berkembang pesat menjadi berbagai "cabang ilmu", seperti hipnoterapi, hypnoparenting, hypnoselling, hypnoteaching, hypnolearning, hypnoanesthesia, hypnoforensic,hypnobirthing,dan stagehypnosis, berbagai permasalahan kehidupan klien/subjek dipecahkan, dicarikan jalan keluar, difasilitasi, bahkan disembuhkan secara total. Dari fobia, trauma, stres, kurang bisa konsentrasi, malas belajar, hingga kebiasaan buruk "direparasi", diinstal ulang, di-reprogramming, diubah total menjadi jauh lebih baik lagi. Dari anak yang suka ngompol sampai pasangan suami-istri yang hampir cerai bisa "diebereskan" dengan sempurna. Dari masalah obesitas, malas belajar, hingga sulit mendapatkan jodoh dan bahkan sulit memperoleh keturunan "diselesaikan dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya."
Karenanya, bisa dikatakan, hipnosis sebagai salah satu ilmu karunia Tuhan Yang Mahakuasa merupakan "komunikasi yang berhasil" mengubah kegagalan menjadi kesuksesan, membuat yang kusam suram menjadi indah merona, membuat orang/klien/subjek yang merana menjadi bahagia.
Itu bagi yang mengerti, memahami, dan menyikapi hipnosis secara positif. Bagaimana di "belahan dunia" lain di luar sana? Tentu saja masih banyak yang nyinyir karena under estimate, negative thinking, ketidaktahuan, ketidakpahaman, bahkan keantipatian. Tak jarang dari kelompok ini yang mengharamkan hapnosis karena menganggap hipnosis itu bekerja sama dengan kuasa kegelapan: sihir, setan, jin, iblis. Bahkan, menuduh hipnosis adalah setan itu sendiri. Lebih unik lagi, ketika mereka kehilangan dompet atau handphone-nya dicopet, dengan serta merta melapor kepada polisi, "Saya dihipnotis, Pak!"
Hingga, akhirnya KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) pun menghentikan dan melarang segala tayangan televisi yang berbau hipnosis/hipnoterapi, selain pada acara kesehatan, pada tanggal 28 Juni 2014. Hahahaha. Unik sekali, bukan?
Flas Back
Di Indonesia, perkembangan ilmu hipnosis yang luar biasa memang tidak terlepas dari maraknya acara stagehypnosis di televisi swasta pada 2007---2014. Stagehypnosis (hipnosis sebagai hiburan) yang dibawakan beberapa orang hipnotis berhasil meraih rating yang luar biasa. Hingga seolah-olah tiada hari tanpa acara hipnosis.
Namun, apa yang ditampilkan mereka, selain membuat hipnosis semakin dikenal publik, sekaligus juga "menghancurkan" reputasi hipnosis itu sendiri di mata publik. Publik menilai bahwa hipnosis itu hanya ilmu yang sekadar lucu-lucuan yang melecehkan klien, membuka aib/borok sendiri dan orang lain, bahkan sebagai sarana untuk berbuat kejahatan (kejahatan atas nama hipnosis: pencopetan atau penodongan).
Pada masa itu, literatur tertulis tentang hipnosis masih sangat minim, meskipun Bapak Hipnosis Indonesia, Yan Nurindra, dengan IBH (Indonesian Board of Hypnotherapy)-nya sangat gencar melakukan seminar, pelatihan, workshop untuk melahirkan para praktisi, trainer, dan pakar hipnosis. Â Saat itu, aku yang masih bekerja sebagai redaktur pelaksana di sebuah penerbitan buku ---yang sedikit banyak mengetahui apa dan bagaimana hipnosis, bahkan pernah menjadi korban hipnosis--- berusaha berjuang, berargumen, bernegosiasi dengan berbagai pihak untuk bisa menerbitkan buku-buku tentang hipnosis.
Alasanku, "Sekarang adalah waktunya menerbitkan buku-buku hipnosis untuk memberikan pembelajaran kepada masyarakat bahwa hipnosis bukan cuma dagelan di panggung yang mengelupas sisi-sisi buruk pikiran dan tabiat manusia. Bahwa hipnosis adalah ilmu yang sangat bagus dan besar manfaatnya bagi kehidupan!"
Maka, terbitlah buku-buku bertema hipnosis yang kemudian menjamur di toko-toko buku, di rak-rak buku best seller. Sebut saja Dahsyatnya Hipnosis, Hypnosis in Teaching, Hipnoterapi, Hypnosis for Selling, Dahsyatnya Otak Tengah, Dhasyatnya Pikiran Bawah Sadar, Hypnolearning, Membongkar Rahasia Hipnosis,Men(g)akali Pikiran (Mind Rascal), Hitler Effect, Becoming Snipper, Komunikasi Dahsyat dengan Hipnosis, dan 4 Jam Pintar Hipnosis!Dari sana, banyak penerbit lain menjadi follower, banyak menerbitkan buku dengan tema seragam: hipnosis!
Pada saat bersamaan, aku pun bersama penulis ---sambil mempromosikan buku-buku tersebut dan memperdalam pengetahuanku tentang hipnosis--- terus giat mengampanyekan ilmu hipnosis dan manfaatnya bagi manusia. Maka, tak kurang dari empat-lima kali wajah pas-pasanku nongol di TVRI Nasional; puluhan kali talkshow di berbagai toko buku; berkali-kali menyelenggarakan seminar yang melibatkan peserta para pendidik dari tingkat taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi di beberapa kota besar di Pulau Jawa; puluhan kali road show di berbagai radio, baik pemerintah maupun swasta, di berbagai kota (Jakarta, Bandung, Sukabumi, Cirebon, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, Ponorogo). Â
Entah karena kegiatan "ngoceh sana-sini" yang kulakukan dengan para penulis, karena buku-buku hipnosis yang telah diterbitkan, karena masih adanya acara stagehypnosis di televisi swasta, karena perjuangan teman-teman trainer, atau karena kebetulan, mulai 2008 dunia pelatihan hipnosis menjadi marak. Oooohh No! Di dunia ini tak ada yang kebetulan. Semua telah diatur oleh Sang Maha Pengatur, lalu digerakkan secara otomatis oleh semesta. Lalu, banyak trainer muda, teritama alumni IBH-nya almarhum Yan Nurindra, menyelenggarakan pelatihan, seminar, workshop di seluruh pelosok Tanah Air. Kemudian melahirkan trainer, hipnoterapis, motivator muda/baru yang luar biasa! Unik bukan?
Epilog
(Menempatkan Hipnosis di Tempat Istimewa)
Dalam berbagai kesempatan seminar, training,workshop, atau sekadar sharing tentang hipnosis, kerap kali aku menemui peserta yang sangat menolak untuk dihipnosis. Alasannya, klasik, takut rahasianya terbongkar! Stagehypnosis effect! Namun, pada sesi akhir, setelah melihat kawannya dalam kondisi hipnosis menguraikan permasalahannya, lantas menyelesaikannya dengan hasil gemilang, mereka yang "ketakutan" ini memintaku untuk menghipnosisnya karena mereka mengaku punya masalah. Nah... lho! Baru tahu dia! Unik, bukan?
Sementara itu, dari bebrapa sesi terapi (2---3 kali), baik yang aku lakukan maupun yang dilakukan teman-teman hipnoterapis lain, jika klien/subjek memang berkeinginan besar mengatasi permasalahannya dan mau menjalani sesi hipnoterapi, hampir semuanya sukses mengatasinya. Tampaknya, keunikan ini sejalan studi komparatif yang dilakukan American Health Magazine. Majalah itu mengomparasikan terapi terhadap klien dengan psikoanalisis, terapi tingkah laku (behavior therapy), dan hipnoterapi yang menghasilkan kesimpulan sebagai berikut.
Seberapa efektif hipnosis itu?
Psychoanalysis: 38% recovery after 600 sessions.
Behavior Therapy: 72% recovery after 22 sessions.
Hypnotherapy: 93% recovery after 6 sessions.
Artinya apa? Jelas hypnosis/hipnoterapi merupakan pilihan terbaik untuk mengatasi persoalan-persoalan psikis manusia, yang sering kali berimplikasi pada masalah kesehatan fisik,
Dari penjelasan singkat ini, sudah selayaknya para pakar dan praktisi hipnosis semakin percaya diri, profesional, bersaing secara sehat, dan terus mengembangkan ilmu sesuai dengan kemampuan dan kapasitasnya. Dan, masyarakat atau publik sudah semestinya bersedia membuka hati dan pikiran untuk menerima hipnosis, positive thinking, lalu belajar memahaminya dengan kritis tanpa menghakimi. Sebab, hipnosis, sebagaimana ilmu-ilmu lain, ibarat pisau. Fungsinya tergantung pada siapa yang memegangnya. Dengan begitu, hipnosis akan menjadi ilmu yang semakin bermanfaat bagi kehidupan dan kebahagiaan seisi alam semesta. Hypnosis for better life. Â
Salam damai bahagia super sukses luar biasa!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H