Keputusan tersebutlah yang kemudian menjadi dasar bagi mereka yang ditunjuk untuk kemudian melakukan rapat-rapat dalam proses perintisan cita-cita tersebut. Dan dasar itu pulalah yang kemudian menjadi filosofi Anggaran Dasar Yayasan sebagaimana di akta No. 34 tanggal 22 Maret 1983 yang dikeluarkan oleh notaris Soetardjo Soemuatmodjo di Purwokerto (Silahkan baca keputusan PMD, risalah rapat, dan Akta 34).
Kepemilikan
Ada pendalil (misalnya AM dalam berbagai ciutan twit dan tulisannya di kompasiana) yang mendalilkan bahwa pemilik RSI Purwokerto itu milik umat Islam Banyumas. Lantas timbul pertanyaan, umat Islam yang mana? Kalau didaftar, umat Islam se Kabupaten Banyumas itu banyak sekali. Jadi siapa sebenarnya, dan apa buktinya. Guna memperkuat argumennya dia mengajukan rekomendasi bupati (SK Nomor 446/110/83/51 dan Nomor 445.04.XII.51.86) untuk mencari infaq dan sumbangan kepada masyarakat. Apa bisa dijadikan ini sebagai bukti? Ya tentu saja bisa, tetapi konteksnya lain ndak nyambung dengan pokok persoalan.
Lantas apakah Muhammadiyah melalui badan pendiri rumah sakit yang dibentuk tidak boleh minta rekomendasi kepada Pemerintah? Ya tentu saja bisalah. Di zaman pemerintahan Orba, rekomendasi semacam itu penting. Dan toh tidak ada yang salah dengan meminta rekomendasi.
Jadi siapa pemilik RSI Purwokerto sebenarnya? Tentulah Muhammadiyah. Tentu dengan berkaca pada penjelasan historis diatas tidak ada yang bisa membantah bahwa RSIP didirikan oleh Persyarikatan Muhammadiyah. Secara hukum bagaimana, menurut saya tentu semua dokumen-dokumen tersebut dapat dibaca menjadi satu kesatuan utuh yang itu berarti bahwa RSIP adalah milik Persyarikatan Muhammadiyah.
“Saya hanya sampaikan singkat saja, semua dokumen berbunyi (menyatakan, red.) punya Muhammadiyah. Sejak awal berdiri sampai sekarang, semua berbunyi punya Muhammadiyah. Jadi tidak ada klaim, tidak ada caplok,” demikian penjelasan Ketua PDM Banyumas, Ibnu Hasan dalam sebuah wawancara dengan media.
Dan karena polemik ini sudah masuk ke ranah hukum, maka tentu proses pembuktiannya melalui mekanisme pengadilan. Dan kalau kita merujuk pada Pasal 164 HIR menyebutkan bahwa alat bukti dalam perkara perdata terdiri atas: Bukti surat/tulisan, Bukti saksi, Persangkaan, dan Sumpah. Dalam kajian saya, bukti-bukti yang berupa surat/tulisan yang ada dan terbuka ke publik sekarang ini cukup kuat untuk menjelaskan posita Muhammadiyah Banyumas. Muhammadiyah menghargai proses ini.
Yang harus dibuktikan oleh para pihak yang berperkara bukanlah hukumnya, tetapi peristiwanya atau hubungan hukumnya yang menimbulkan hak atau yang menghapuskan hak. Dan pada kerangka itulah kita berharap proses ini diperiksa dengan teliti dengan jeli oleh hakim yang memeriksa dan memutus perkara ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H