Mohon tunggu...
Mulyadi Wijaya
Mulyadi Wijaya Mohon Tunggu... Freelancer - Baca

Lahir di pulau kecil di Selayar, Sulawesi Selatan. Bekerja sebagai fasilitator, peneliti independen dan associate di Prakarsa Cipta, hobinya menyelam, camping dan sesekali memotret

Selanjutnya

Tutup

Money

Lagi-lagi Konflik Sumber Daya Lahan

14 Desember 2011   14:46 Diperbarui: 24 Mei 2020   19:01 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Entah ini peristiwa konflik perubutan lahan yang keberapa? Saya tidak mengerti sebab tidak punya catatan dan dokumentasi soal ini. Yang memiliki dokumen dan catatan tentang konflik perebutan lahan seperti ini adalah kepolisian dan lembaga-lembaga yang concern dengan isu-isu sumberdaya lahan seperti ini.

Kali ini peristiwa itu terjadi di Desa Sungai Sodang, Kecamatan Mesuji, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan. Walau baru booming hari ini di TV, tetapi peristiwa ini terjadi sudah sejak lama. Tepat ketika perusahaan akan melakukan pembukaan lahan. Kita tau bahwa perusahaan ini memulai usahanya di kawasan itu sejak 1996 (Data Walhi Sumsel). Tahun-tahun akhir dimana Soeharto bertahta.

Jadi betapa rumitnya menjelaskan kondisi ini. Sementara di masa-masa itu, pendekatannya melulu menggunakan kekuatan tangan besi sang jenderal. Walau tidak terjadi apa-apa pada masa itu seperti protes warga tetapi problem itu tidak selesai, nyatanya berbuntut panjang hingga hari ini. Puncaknya pada tanggal 21 April 2011 terjadilah bentrokan yang mengakibatkan jatuhnya korban di kedua pihak. Yaitu masyarakat dan perusahaan, PT. Sumber Wangi Alam.

Peristiwa tersebut mengakibatkan 7 (tujuh) orang dari kedua pihak menjadi tumbal. Mereka meninggal dunia dengan cara yang tragis. 

Parahnya konflik ini tidak hanya melibatkan antara warga dan masyarakat. Aparat keamanan dalam hal ini TNI dan Polri pun ikut diseret-seret. Karena adanya rekruitmen masyarakat untuk terlibat dalam pengamanan kelompok sipil yang disebut dengan pam swakarsa. 

Akibatnya terjadi konflik horizontal yang melibatkan antara warga dengan warga (anggota masyarakat yang direkrut jadi pam swakarsa). Tahun 1998, pam swakarsa ini pernah di galang oleh panglima ABRI, Wiranto ketika itu untuk membenturkan antara pam swakarsa dengan mahasiswa yang berujung pada kasus semanggi. Dan kini kejadian itu pun kembali terulang. 

Apa yang bisa dipelajari dari peristiwa ini? Pertama, pemerintah sebagai regulator harus memperjelas kedudukan dan masalah tanah yang berkaitan dengan masyarakat dan investor. Perusahaan baru bisa beroperasi setelah ada ketetapan hukum yang mengikat diantara berbagai pemangku kepentingan. 

Kedua, jangan lagi menggunakan pendekatan peta konflik dengan membenturkan warga di kawasan-kawasan perkebunan. Apalagi dalam kasus ini ada dimensi suku yang bisa menyulut pertikaian lebih jauh. Paradigma pam swakarsa sudah harus ditinggalkan oleh Polri/TNI. Sekarang dalam konsep Polri ada yang disebut dengan pemolisian masyarakat (Polmas) alias community police. Akan lebih baik, kiranya pandekatan Polmas yang dikedepankan dengan senantiasa membangun dialog dan saling pengertian. 

Ketiga, TNI/Polri harus berhati-hati jangan hanya mementingkan fulus yang berakibat pada pembelaan yang berlebihan terhadap perusahaan. Polri harus tetap independen dan menjaga diri sebagai pelayan masyarakat.

Akhirul kalam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun