Entah ini peristiwa konflik perubutan lahan yang keberapa? Saya tidak mengerti sebab tidak punya catatan dan dokumentasi soal ini. Yang memiliki dokumen dan catatan tentang konflik perebutan lahan seperti ini adalah kepolisian dan lembaga-lembaga yang concern dengan isu-isu sumberdaya lahan seperti ini.
Kali ini peristiwa itu terjadi di Desa Sungai Sodang, Kecamatan Mesuji, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan. Walau baru booming hari ini di TV, tetapi peristiwa ini terjadi sudah sejak lama. Tepat ketika perusahaan akan melakukan pembukaan lahan. Kita tau bahwa perusahaan ini memulai usahanya di kawasan itu sejak 1996 (Data Walhi Sumsel). Tahun-tahun akhir dimana Soeharto bertahta.
Jadi betapa rumitnya menjelaskan kondisi ini. Sementara di masa-masa itu, pendekatannya melulu menggunakan kekuatan tangan besi sang jenderal. Walau tidak terjadi apa-apa pada masa itu seperti protes warga tetapi problem itu tidak selesai, nyatanya berbuntut panjang hingga hari ini. Puncaknya pada tanggal 21 April 2011 terjadilah bentrokan yang mengakibatkan jatuhnya korban di kedua pihak. Yaitu masyarakat dan perusahaan, PT. Sumber Wangi Alam.
Peristiwa tersebut mengakibatkan 7 (tujuh) orang dari kedua pihak menjadi tumbal. Mereka meninggal dunia dengan cara yang tragis.Â
Parahnya konflik ini tidak hanya melibatkan antara warga dan masyarakat. Aparat keamanan dalam hal ini TNI dan Polri pun ikut diseret-seret. Karena adanya rekruitmen masyarakat untuk terlibat dalam pengamanan kelompok sipil yang disebut dengan pam swakarsa.Â
Akibatnya terjadi konflik horizontal yang melibatkan antara warga dengan warga (anggota masyarakat yang direkrut jadi pam swakarsa). Tahun 1998, pam swakarsa ini pernah di galang oleh panglima ABRI, Wiranto ketika itu untuk membenturkan antara pam swakarsa dengan mahasiswa yang berujung pada kasus semanggi. Dan kini kejadian itu pun kembali terulang.Â
Apa yang bisa dipelajari dari peristiwa ini? Pertama, pemerintah sebagai regulator harus memperjelas kedudukan dan masalah tanah yang berkaitan dengan masyarakat dan investor. Perusahaan baru bisa beroperasi setelah ada ketetapan hukum yang mengikat diantara berbagai pemangku kepentingan.Â
Kedua, jangan lagi menggunakan pendekatan peta konflik dengan membenturkan warga di kawasan-kawasan perkebunan. Apalagi dalam kasus ini ada dimensi suku yang bisa menyulut pertikaian lebih jauh. Paradigma pam swakarsa sudah harus ditinggalkan oleh Polri/TNI. Sekarang dalam konsep Polri ada yang disebut dengan pemolisian masyarakat (Polmas) alias community police. Akan lebih baik, kiranya pandekatan Polmas yang dikedepankan dengan senantiasa membangun dialog dan saling pengertian.Â
Ketiga, TNI/Polri harus berhati-hati jangan hanya mementingkan fulus yang berakibat pada pembelaan yang berlebihan terhadap perusahaan. Polri harus tetap independen dan menjaga diri sebagai pelayan masyarakat.
Akhirul kalam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H