Mohon tunggu...
Muhibuddin Aifa
Muhibuddin Aifa Mohon Tunggu... Perawat - Wiraswasta

Jika Membaca dan Menulis adalah Cara yang paling mujarab dalam merawat Nalar, Maka Kuliah Adalah Pelengkapnya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kupiah Meukeutop ala Teuku Umar Menghiasi Adat Perkawinan Aceh

9 September 2020   14:29 Diperbarui: 10 September 2020   14:30 1278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Peralatan Peusijuk Saat Tueng Dara Baro/ngunduh mantu (Koleksi Pribadi)

Lain lubuk lain pula ikannya, pun begitu dengan sebuah daerah, lain daerah lain pula adat istiadatnya. Bangsa Indonesia yang terdiri dari 34 provinsi, memiliki adat istiadat yang berbeda meskipun berada dalam satu kepulauan yang sama. Sumatera yang terbagi atas beberapa provinsi memimiliki adat dan kebudayaan yang beda.

Begitupun pulau Jawa, Kalimantan, Maluku, dan pulau lainnya, sudah pasti punya adat istiadat dengan akar budaya masing-masing. Bagi penulis perbedaan tersebut adalah anugerah sekaligus kekayaan budaya Indonesia, yang barang kali saja tidak dimiliki oleh negara lain.

Seperti halnya daerah lain di Indonesia, tanpa kecuali Aceh yang berada di bagian pulau sumatera, juga memiliki budaya dan adatnya sendiri yang bersandar atas nilai-nilai ke Islaman dan tak terlepas dari pengaruh budaya masa lalu (Pra Islam).

Kali ini penulis ingin sedikit berbagi tentang adat istiadat perkawinan dalam bingkai budaya Aceh. Ini hanya sepenggal kisah berdasarkan pengalaman apa yang penulis rasakan saat menjadi pengantin dalam balutan pakaian adat Aceh.

Kupiah Meukutop 

Sekitar tahun 2016, saya melakukan prosesi adat Tung Dara Baroe (ngunduh mantu), sebelumnya saya sudah melakukan prosesi Intat Linto ke rumah mempelai wanita.  Tueng dara baro dalam adat istiadat Aceh juga merupakan suatu upacara yang sangat sakral.

Dalam acara tersebut kedua pengantin diwajibkan untuk mengenakan pakaian adat setempat, saya sebagai pengantin pria mengenakan pakaian adat Aceh sebagai lambang kebesaran raja diraja tempo dulu.

Masih begitu segar dalam ingatan saya ketika itu, pakaian yang saya gunakan menyerupai pakaian melayu dengan perpaduan kain songket ditambah dengan pernak pernik lainnya. Bagi lelaki Aceh yang akan duduk sanding dipelaminan, kurang lengkap rasanya bila tanpa mengenakan Mahkota Kopiah Meukutop.

Katanya sih saat kopiah Meukutop sudah mendarat dikepala pengantin pria, maka akan terlihat lebih gagah dan tampan. Kopiah meukutup merupakan warisan dari pakaian raja aceh dan mungkin lebih melekat pada sosok Teuku Umar Pahlawan yang begitu melegenda dari Aceh Barat.

Patham Dhoe (Mahkota) dan Hiasan Sanggul Pada Mempelai Wanita Aceh

Bagi mempelai wanita, ketika itu istri saya juga mengenakan pakaian adat Aceh sebagaimana umumnya mempelai wanita Aceh lainnya. Walaupun terlihat bersanggul, tapi tetap mengedepankan nilai sayariat Islam dengan menutup rambut.

Saya melihat sanggul istri saya ketika itu dihiasi dengan bagai aksisoris yang berbentuk tangai bunga, kemudian pada bagian dahi di lekatkan Patham (Mahkota). Patham ini berbentuk seperti mahkota ada yang terbuat dari emas, ada juga dari kuningan biasa.

Bentuk phatam (Mahkota) di buat dengan bergai macam coraknya, tapi jika diperhatikan sekilas, juga menyerupai tangkai bunga yang berjibun dilingkar mahkota tersebut. Memiliki warna kuning keemasan, saat itu istri saya terlihat sangat cantik ketika disangulkan mahkota pada dahinya.   

Kelapa Hias (U pawe)

U pawe/Kelapa Hias di buat menyerupai Replika Kupiah Meukeutop (Koleksi Pribadi)
U pawe/Kelapa Hias di buat menyerupai Replika Kupiah Meukeutop (Koleksi Pribadi)

U pawe atau dalam bahasa Indonesia dikenal dengan kelapa hias, kelapa hias ini merupakan tunas kelapa yang baru tumbuh dihiasi dalam berbagai jenis miniatur. Ada dalam bentuk rumah aceh, mobil, bentuk hewan, ataupun bentuk senjata, dll.

Ketika itu tunas kelapa saat dihantar untuk dara baro, dihiasi dalam bentuk kupiah meukutop, nyaris sempurna menyerupai bentuk aslinya. Philosopi dari U pawe ini adalah sebagai wujud perjalanan rumah tangga.

Setelah ditanam kita akan melihat tunas kelapa itu tumbuh besar seiring dengan perjalanan rumah tangga kita. Sebagaimana tumbuhan kelapa yang setiap unsur mulai dari pohon, buah, hingga dedaunannya bermanfaat untuk manusia.

Kiranya seperti itulah harapan orang tua kami, menghendaki keluarga kami, serta keturunan selanjut terus tumbuh menjadi orang-orang yang bermanfaat untuk masyarakat banyak. Sesuai dengan keahlian yang dimilikinya kelak.

Ranup dalam Cerana

Dari kanan Abah  saya, sedang duduk santai bersama tamunya, sambil menyunyah Sirih yang disuguhkan dalam cerana (Koleksi Pribadi)  
Dari kanan Abah  saya, sedang duduk santai bersama tamunya, sambil menyunyah Sirih yang disuguhkan dalam cerana (Koleksi Pribadi)  
Ranup atau sirih yang dicampur dengan pinang  dan kapur kusus, akan menyertai upacara perkawianan. Baik pada saat prosesi intat linto (Antar Mempelai Pria), maupun saat preh Dara Baro (Ngunduh Mantu).

Biasanya sirih diletakan dalam puan (cerana), didekat pintu masuk para tetamu undangan, ada kalanya sambil masuk langsung disungguhkan sirih tersebut. Ataupun setelah makan para tamu akan mengunyah sirih sambil santai dengan salah satu pihak keluarga tuan rumah.

Keberadaan ranup lampuan pada upacara perkawninan sangatlah penting, sebagai lambang kemuliaan. Sebagaimana pepatah Aceh mengatakan "Mulia jame ranup lampuan, Mulia wareh mameh suara" yang berarti memuliakan tamu dengan menyuguhkan sirih dalam cerana, memuliakan sahabat/teman dengan tutur bahasa yang lembut dan ramah tamah.

Peusijuk dalam Upacara Perkawinan

Peralatan Peusijuk Saat Tueng Dara Baro/ngunduh mantu (Koleksi Pribadi)
Peralatan Peusijuk Saat Tueng Dara Baro/ngunduh mantu (Koleksi Pribadi)
Saat menerima linto baro maupun dara baro, maka akan disambut dengan sebuah adat yang disebut dengan Peusijuk. Dalam istilah lain disebut dengan tepung tawar, sebuah adat yang masih melekat dikalangan masayarakat Aceh, dari dahulu kala hingga saat ini.

Prosesi ini dilakukan oleh orang tua kedua pihak mempelai, didampingi oleh ustaz dan tokoh masyarakat yang dituakan dalam kampung tersebut. Ada beberapa materi yang digunakan seperti, daun, bunga, beras dan padi sebanyak kurang lebih satu genggam, tepung tawar, ketan, dll.

Dilakukan dengan cara memercikan air yang dihempaskan dari dedaunan dan bunga yang telah diikat. Kemudian menyuntingkan ketan di salah satu telinga, biasanya telinga yang kanan, terakir di beri sejumlah uang oleh setiap orang yang melakukan pesijuk, sembari memanjatkan doa kepada Allah.   

Agar kiranya kedua mampelai diberikan keberkahan olehNYa, tentram dalam rumah tangga, serta segera memiliki anak sebagai penyambung sejarah. Kalau sudah di tepung tawari, itu berarti sudah melengkapi serangkain prosesi dalam tahapan adat istiadat perkawinan masyarakat Aceh.

Adat peusijuk masih sangat kental di Aceh, karena ritual tersebut dilakukan pada beberapa peristiwa penting lainnya. Seperti pada saat usia kandungan telah memasuki tujuh bulan, turun tanah anak, memulai turun kesawah, mendiami rumah baru, dll.

Begitulah peringan hitam memori saya, merekam peristiwa penting itu, sebagai orang Aceh saya merasa bangga denga adat istiadat dan budayanya masih bersandar atas nilai-nilai Islam. Begitulah cara masyarakat Aceh dalam mengespresikan rasa syukurnya, selalu ingat kepada Rabbi atas segala limpahan nikmat dan rahmatNya. Amin.

Banda Aceh, 09 September 2020

Moehib Aifa

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun