Mohon tunggu...
Muhibuddin Aifa
Muhibuddin Aifa Mohon Tunggu... Perawat - Wiraswasta

Jika Membaca dan Menulis adalah Cara yang paling mujarab dalam merawat Nalar, Maka Kuliah Adalah Pelengkapnya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Budaya Hedonisme Kalangan Pejabat, Membuat Penjara Dipenuhi "Koruptor"

27 Agustus 2020   22:45 Diperbarui: 27 Agustus 2020   23:48 478
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (koranmadura.com)

Budaya hedonisme dapat merasuki siapa saja, baik dari kalangan orang kelas pejabat, hingga kalangan kelas bawah. Budaya tersebut juga bisa menyerang pelajar dan hingga mahasiswa.

Sesuai dengan kelasnya masing-masing, yang jelas mereka mulai berbelanja melampui kebutuhannya, hanya ingin dikatakan hebat oleh rekan-rekannya. Padahal itu jelas budaya hedonisme.   

Seandainya orang kaya di negeri ini mau bersatu, dan memanfaatkan hartanya untuk membantu ekonomi kaum miskin, maka harta dari sikaya bisa mengentaskan kemiskinan dalam skala besar.

Namun orang kaya sekarang sudah jarang memikirkan tentang nasib kaum fakir, padahal didalam harta orang kaya, juga terdapat hak bagi kaum fakir.

Zaman sekarang memang sudah sulit menemukan orang yang memiliki kelebihan rezeki, memiliki hati yang tulus. Biasanya mereka akan menghujat orang miskin, dengan kata-kata yang tidak senonoh.

Terkadang saat seseorang yang perlu bantuan menghadapnya, kebanyakan orang yang mampu/kaya, dengan mudahnya berkata "makanya kerja, kalau tidak mau hidupmu susah" bukannya mendapatkan bantuan, dan perlakuan baik, malah sumpah serapah yang didapatkan oleh orang miskin.

Ini memang sangat bertentangan denga naluri seorang manusia yang beriman, hilangnya rasa kemanusian, sebagaimana terdapat dalam sila kedua dalam Panca Sila yang menjadi rujukan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Budaya Hedonisme telah merusak nilai-nilai tersebut, membuat manusia nafsi-nafsi (tidak peduli dengan orang lain) dalam kehidupan sehari-sehari.

Budaya hedonisme hanya beroreantasi pada pandangan hidup seseorang yang menyukai kehidupan mewah, glamor, dan berfoya-foya serta terkadang disertai dengan kehidupan yang bebas. Biasanya yang memimilki pandangan hidup, dan prilaku seperti itu adalah orang yang hanya menganggap bahwa hidupnya hanya semata untuk duniawi.

Kecerdasan intelektual semata, tanpa di imbangi dengan kecerdasan emosional, maka akan timbullah sikap dan budaya hedonisme. Mereka hanya bereontasi pada kesenangan dan kepuasan semata.

Hedonisme Aktualisasi Tertinggi

Bagi sebagian orang, budaya hedonisme sudah menjadi tuntutan hidup, bahkan menempatkannya pada aktualisasi tertinggi. Bisa pamer tas branded dengan merk terbaru dan aysik gonta-ganti barang lain baik pakain, kendaraan dll, menjadi suatu hal yang sangat menyenangkan bagi sebagian kalangan ibu-ibu. Kebiasaan tersebut juga bagian dari budaya hedonisme.

Bagi Bapak-bapak pun, tak kalah dengan ibu-ibu, apa lagi kelas pejabat sudah terbiasa dengan pakaian mewah, mulai jam tangan, sepatu, dll, semuanya bermerk dengan harga puluhan dan bahkan ratusan juta rupiah.  

Tidak sampai di situ, untuk sekedar nongkrong sambil ngopi, mereka juga rela menghabiskan kocek yang tak tanggung-tanggung, barang kali sekali duduk dengan kolegenya bisa menghabiskan uang puluhan juta.

Budaya yang mereka lakukan semata hanya untuk sebuah kepuasan dan secara aktualisasi diri mendapatkan pengakuan tertinggi dari teman-temannya.

Matinya Kepekaan Sosial

Jika hatinya sudah disesaki dengan kepuasan semata, maka yang ada dalam ruang pikiranya hanya untuk mendapatkan barang-barang mewah semata, traveling keujung dunia, kunjungan ketempat hang out yang mewah dll. Untuk mendapatkan itu semua muncullah budaya konsumtif yang berlebihan, tidak berdasarkan pada kebutuhan, tapi lebih kepada kepuasan dan hanya berfoya-foya semata.

Sekitar tahun 2009, saya mencoba ngopi dan sekedar santai di salah satu hotel teranama di Aceh, ketika itu saya hanya memesan dua gelas kopi, satunya lagi buat teman saya. Betapa terkejutnya waktu hendak membayar melihat tagihan bill sekitar Rp.66ribu hanya untuk dua gelas kopi robusta biasa.

Bagi orang kelas bawah seperti saya harga segitu sangat mahal, karena bila kita minum diwarung biasa, harga pergelasnya hanya sekitar Rp.5ribu. Itu hanya contoh kecil berdasarkan pengalaman pribadi penulis.

Dengan kejadian seperti pengalaman saya, bisa kita simpulkan bahwa, kebutuhan sebenarnya hanya Rp.5ribu, sementara Rp.28 ribu lagi itu harga yang harus kita bayar, untuk sekedar bergaya, yang akan menempatkan kita seolah-olah berada pada golongan kelas atas.

Tentunya bisa di bayangkan, betapa banyaknya orang kaya yang menghambur-hamburkan uannya hanya sekedar untuk gaya hidup mewah. Andaikan orang kaya berbelanja sesuai kebutuhan, betapa banyak orang miskin yang akan tertolong. Namun budaya hedonisme yang memasksa diri untuk melakuan konsumtif yang berlebihan, dapat mematikan kepekaan sosial orang tersebut.

Hedonisme Para Pejabat Berujung Penjara

Sekitar 41 orang anggota DPRD Kota Malang Ditangkap KPK (realitarakyat.com)
Sekitar 41 orang anggota DPRD Kota Malang Ditangkap KPK (realitarakyat.com)

Bukanlah suatu hal asing lagi saat kita mendengar pejabat negara di tangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Salah satu faktor yang melatar belakanginya adalah terjadinya budaya konsumtif yang berlebihan.

Pada tahun 2017, orang nomor satu di Aceh kena Operasi Tangkap Tangan (OTT), mungkin hal itu terjadi karana hasrat dan kebutuhan yang tinggi yang membuatnya harus melakukan perbuatan tidak terpuji hingga akhirnya dirinya berujung penjara.

Kasus serupa juga pernah terjadi di kota Malang, korupsi berjamaah yang melibatkan sekitar 41 orang anggota DPRD setempat.

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Malang lumpuh pasca-penahanan 41 dari 45 anggota DPRD Kota Malang oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akibat kasus suap pembahasan P-APBD Kota Malang tahun anggaran 2015. (kompas.com)

Kuat dugaan korupsi yang merela didasari pada keigingan untuk hidup mewah dengan berbagai barang mewah, baik itu rumah, pakaian, hingga liburan ke luar negeri dll. Sehingga mereka mencari jalan pintas dengan melakukan korupsi untuk mewujudkan keinginan tersebut.

Sehingga membuat mereka berani untuk melakukan perbuatan korupsi yang sama sekali tidak mencerminkan sikap terpuji seorang anggota dewan yang terhormat. Dan masih banyak kejadian lain, hanya karena ingin terlihat waw dengan gaya hedonisme, mengahalakan berbagai cara, dan ujung-ujungnya harus mendekam di penjara.  

Berbagi Dengan Sesama, Dapat Menghidari Hedonisme

Dalam keluasan rezeki kita, ada hak anak yatim dan orang miskin yang harus diperhatikan. Akan lebih baik dan berfaedah jika harta itu digunakan dijalan yang lebih bermanfaat, bukan hanya sekedar menghabiskan untuk hal yang tidak terlalu penting.

Dengan membelanjakan uang untuk orang miskin akan membuat harta kita lebih berkah, dan ada kebahagian secara batin yang mungkin tidak kita dapatkan dengan cara hidup berfoya-foya. Selain dari itu kebiasaan membatu sesama juga dapat menghindari seseorang dari budaya hedonisme.

Oleh sebab itu, jika ada diantara kita, atau siapapun yang sudah terlanjur terjebak dengan budaya tersebut, sudah saatnya kembali dengan budaya ketimuran kita yang suka membantu sesama, dan saling gotong royong dalam merajut kebersamaan. Semoga artikel ini bermanfaat, amin.

Banda Aceh, 27 Agustus 2020

Moehib Aifa 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun