Kiprah Tjoet Nya' Dien didalam melawan penjajah tak bisa dipandang sebagai hal yang biasa saja, ia menjadi pang lima perang Aceh setelah Teuku Umar selaku suaminya sayahid di medan tempur.Â
Perjuangannya dalam mengusir penjajahan Belanda patut kita tauladani menjadi sebuah spirit yang bisa memompa semangat kita untuk terus mengisi perjuangan ini dengan hal yang bersifat  positif dan membangun.
Nilai spirit yang diwarisi oleh seorang Tjoet Nya' tidak saja dari segi semangat juangnya, akan tetapi jauh dari itu, Tjoet Nya' juga seorang wanita muslim yang taat agama.Â
Sebagaimana kita ketahui dalam pengasingannya di Sumedang Jawa Barat karena dibuang oleh Belanda. Ia dalam keadaan matanya yang sudah rabun masih mengajarkan mengaji untuk masyarakat setempat.
Islam mengakar dengan kuat di Aceh, hingga dijuluki dengan bumi serambi mekkah, orang-orang terdahulu sangat menghargai segala suatu yang terkait dengan syia'ar Islam.Â
Termasuk masalah penggunaan jilbab di kalangan wanita Aceh. Dari semenjak kerajaan era tahun 1607-1636 semasa Sultan Iskandar Muda, wanita Aceh sudah meggunakan jilbab.
Ketika itu kebanyakan masyarakat Aceh mengenal jibab dengan sebutan "ija sawak" bila kita artikan kata-kata tersebut mengandung arti "Kain yang disangkutkan". Saya melihat budaya ija sawak ini masih terlihat di pedalama Aceh.Â
Para ibu-ibu menggunakan ija sawak biasanya dari kain batik, tinggal dililitkan diatas kepalanya, atau kadang dengan sederhana menutupi rambut dan dadanya.
Masyarakat Aceh, menjadikan jilbab sebagai sesutu yang memang harus melekat dalam pakaiannya.Â
Artinya dalam kedaan apapun, kemanapun, walau hanya pergi ke tetangganya, apa lagi dalam acara-acara penting, seperti pesta, dan kenduri adat lainya, tanpa terkecuali, mereka tetap menggunakan jilbab. Yang membedakan hanya bentuk jilbabnya lebih sederhana, dengan jelbab yang digunakan berpergian jauh atau ketempat penting lainnya.
Sekitar tahun 2004 pemerintah Indonesia memberikan keistimewaan bagi masyarakat Aceh untuk melaksanankan Syari'at Islam. Paska disahkan penerapan Syaria't Islam, maka untuk seluruh wilayah Aceh telah terbiasa menggunakan jilbab. Tidak terlalu sulit untuk menyadarkan perempuan Aceh untuk menggunakan jilbab, karena secara historis Aceh memang dikenal masyarakatnya sangta relegius.
Kalaupun ada dilakukannya berupa razia jilbab dan celana ketat, itu lebih kepada penertipan kepada pendatang yang beragama Islam, tapi belum paham terhadap penerapan syaria't Islam di Aceh.Â
Tidak dipungkuri juga masih ada satu atau beberapa remaja Aceh yang terjaring razia ini, untuk punishment bagi yang melanggar busana muslim, hanya diberikan sanki ringan, bahkan terkadang cuma dilakukan pembinaan dan membuat surat pernyataan tidak akan mengulangi perbuatannya.
Jilbab Sebagai Fashion
Seiring dengan perkembangan zaman dan kemajuan fashion, maka para perancang busana mulai mendesain jilbab dengan memmadu padankan dengan busana modern. Jilbab sebagai fashion ada yang bisa digunakan secara nyaman bagi kum muslimah. Karena memenuhi syarat yang sesuai dengan tuntutan syaria't Islam.
Namun disi lain ada rancangan jilbab modern yang tidak bisa diterima dengan mutlak oleh kalangan muslimah. Karena ada sebagaian jilbab yang dibuat tidak sesuai dengan tuntunan agama Islam. Sehingga bagi yang memakainya belum bisa dikatagorikan sebagai upaya dalam menutup aurat, tapi lenih kepada estetika busananya saja.
Berjilbab sebagai fashion hendak harus diperhatikan oleh remaja dan kaum ibu-ibu, memenuhi unsur dan syarat yang diperintahkan oleh agama. Salah satunya adalah tertutupnya rambut, hanya nampak bagian wajah. Jilbab juga harus mampu menutup bagian dada, sehingga benar-benar melindungi wanita dari pandangan liar seorang lelaki yang bukan muhrimnya.
Jilbab sebagai Indentitas Relegi
Menyangkut identitas keIslman, memang dengan berjilbab telah mampu memberikan pesan secara visual pada seseorang bahwa wanita tersebut adalah seorang muslim.Â
Barangkali bagi pemeluk agama lain, mereka hanya menganggap berjilbab adalah sebagai warisan budaya dari Arab. Itu tidak masalah dikarenakan memang mereka punya keyakinan dan pendriannya yang berseberangan dengan kita yang beragama Islam.
Bagi masyarakat Islam yang memahami secara terperinci tentang, kewajiban dalam mengenakan jilbab, dan apa saja ganjaran yang akan didapatkan hari yaumil masyhar bagi yang tidak menggunakan jilbab.Â
Maka mereka akan selalu mengenakan jilbab disaat keluar dari pintu rumah sekalipun. Karena ditakutkan kalau tidak menggunakan jilbab, nanti akan diliat oleh laki-laki bukan muhrimnya, yang kebetulan lewat didepan pekarangan rumahnya. Dan itu jadi sebuah dosa baginya.
Jilbab sebagai Historis Tjoet Nya' Dien Selaku Wanita Aceh
Banyak foto yang beredar, tentang sosok Tjoet Nya' Dien tanpa mengenakan jilbab yang sempurna sesuai dengan tuntutan syiar Islam. Hingga saat ini tentang keabsahan gambar tersebut masih diperdebatkan, karena gambar tersebut bukanlah berupa foto hasil rekaman sebuah lensa kamera. Tapi lebih kepada sebuah imajenasi sebuah lukisan.
Tidak tertutup kemungkinan Tjoet Nya' Dien pada lukiskan tersebut sarat dengan kepentingan lainnya, jika yang melukiskan adalah orang Belanda. Bisa jadi ia punnya maksud lain untuk mendiskreditkan tentang seorang tokoh yang disegani oleh dunia.
Hingga saat ini kita memang belum menjumpai foto Tjoet Nya' yang lengkap dengan jilbabnya, yang banyak beredar adalah foto Tjoet Nya' yang sudah tua. Terlihat beliau sudah sangat tua, menderita rabun, dengan ekpresi wajah meringis dan menduduk, ia kelihatan tak menyukai saat dirinya di foto.
Semoga kedepan terdapat foto lama tentang beliau yang akan menjawab kebenarannya saat mengenakan jelbab. Untuk sementara penulis masih menyimpulkan semasa beliau muda dan sehat, mengenakan jilbab.Â
Karena logikanya kala itu ia juga terkahir dari kalangan bangsawan yang sangat menghargai urusan agama. Saya tidak berani berspekulasi terlalu jauh, karena terkait kebenaran fakta dan sejarah, tentunya perlu penelitian lebih jauh.
Semangat Murram dan Memaknai Jilbab yang Sebenarnya
Bulan Muharram dalam Islam dikenal sebagai bulan permulaan dalam hitungan tahun Hijrah, untuk tahun ini besok adalah bertepatan dengan taggal 1 Muharram 1442 H.Â
Manakala kita mendengar kata Hijrah maka pikiran kita akan terbayang tentang suatu peristiwa perpindahan dari sebuah daerah ke daerah lain. Sebagaimana berpindahnya nabi Muhammad, SAW. dari kota ke Mekkah ke kota Madinah, peristiwa tersebut yang dikenal dengan awal mulanya tahun Hijrah.
Namun lebih dari itu, arti kata hijrah juga sering disematkan oleh seseorang, tentang  memperbaiki diri dari suatu keadaan yang buruk atau kurang baik kepada keadaan yang lebih baik.
Berhubung besok kita kembali memasuki tahun baru Hijrah, maka sudah saatnya melakukan evaluasi terhadap diri sendiri, katakanlah bagi muslimah msih terbiasa dengan jilbab dan fashionnya yang sama sekali tidak sesuai dengan anjuran Islam. Sudah saatnya hijrah kepada upaya memperbaiki diri dari segi berpakaian dan berjibab sehingga sesuai dengan tuntutan agama dan syaria't Islam.
Memaknai tahun hijrah hendaknya juga menstimulus kita untuk terus memperbaiki nasib dan diri kita lebih baik. Karena menurut saya "Ketika suatu tempat sudah tidak menjanjikan harapan lagi, sudah saatnya kita hijrah ketempat lain untuk menjemput asa yang lebih pasti".
Banda Aceh, 19 Agustus 2020
Moehib Aifa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H