Mohon tunggu...
Muhibuddin Aifa
Muhibuddin Aifa Mohon Tunggu... Perawat - Wiraswasta

Jika Membaca dan Menulis adalah Cara yang paling mujarab dalam merawat Nalar, Maka Kuliah Adalah Pelengkapnya.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Presiden Malang yang Terlupakan dalam Sejarah RI

18 Agustus 2020   23:11 Diperbarui: 19 Agustus 2020   06:00 4717
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya belum pernah memasuki istana kepresidenan. Katanya, terdapat banyak foto mantan presiden dan wakilnya dari masa kemasa. Dari sederat foto yang terpampang di dinding megah itu, seharusnya ada foto Sjarifuddin Prawiranegara dan Mr. Moehammad Hasan. Berdasarkan catatan sejarah, mereka pernah menjadi presiden dan wakil presiden, saat berdirnya Pemerintah Darurat Indonesia (PDRI).

Ketika terjadi agresi meliter Belanda ke II, tanggal 19 Desember 1948, dengan bringasnya tentara Belanda menangkap tokoh-tokoh penting, termasuk Soekarno Hatta. Ibukota Jogyakarta jadi lumpuh. Terjadi kekosongan pimpinan, hingga pihak Hindia Belanda mengira Indonesia telah dikuasai kembali.

Padahal, di luar dugaan, mereka jauh di seberang pulau, ada dua tokoh utama yang mengadakan rapat untuk menyelamatkan Indonesia. Tokoh itu adalah Sjarifuddin Prawiranegara yang berasal dari Sumatara Barat dan Mr. Teuku Moehammad Hasan pria kelahiran Aceh.

Atas mandat Soekarno, mereka mengisi kekosongan pemerintahan Soekarno-Hatta, untuk membentuk Pemerintah Darurat Indonesia (PDRI).

Saya angkat salut dengan pemikiran dan siasat Bung Karno kala itu. Disaat tokoh proklamator itu mengetahui keadaan Indonesia yang sedang terjepit akibat agresi Belanda ke II, beliau punya siasat dengan membuat dua perencanaan.

Yang pertama memberi mandat kepada Sjarifuddin Prawira negara untuk mempimpin Indonesia. Bila itu gagal maka perencanaan kedua adalah memandatkan Mr. A.A. Marmis saat itu sebagai menteri luar negeri yang berkedudukan di New Delhi India, untuk melanjutkan kepemimpinan di  apa bila kabinet Sjarifuddin gagal.

Namun rencana Soekarno yang pertama berhasil. Kekosongan pemimpin Indonesia bisa diatasi oleh Sjarifuddin Prawiranegara dan teman-teman seperjuangan lainnya di Sumatera.

Di bawah pimpinan mereka juga dibentuk kabinet yang terdiri dari para mentri dan panglima besar tentara. Presiden PDRI menyerukan untuk perlawanan atas agresi Belanda ke II, sembari terus menyuarakan pada dunia internasional tentang kebenaran, bahwa pemerintahan Indonesia masih ada.

Belanda saat itu benar-benar kewalahan melawan pejuang dan rakyat Indonesia. Dunia internasionalpun mengecam agresi Belanda ke-II. Pada akhirnya Belanda yang sudah merasa terjepit, membawa perang kembali ke perundingan, yang dikenal dengan perundingan Roem-Royen.

Setelah adanya keputusan dari perjanjian tersebut, PDRI pun berakir dan mandat kembali diserahkan pada Soekarno.

Apa jadinya jika tidak ada PDRI

Para Pejabat PDRI Melakukan Sesi Foto Bersama (twitter.com/potretlawas)
Para Pejabat PDRI Melakukan Sesi Foto Bersama (twitter.com/potretlawas)

Sebelum ditangkap Soekarno-Hatta sempat mengadakan rapat. Inti penting keputusan rapat tersebut adalah memberikan mandat kepada Sjarifuddin untuk membentuk pemerintahan sementara.

Tak lama kemudian Soekarno-Hatta, benar-benar ditangkap dan diasingkan oleh Belanda keluar pulau Jawa.

Sjarifuddin Prawiranegara, selaku pemegang mandat, dalam pidato politiknya beliau menyerukan "Negara Republik Indonesia tidak tergantung kepada Soekarno-Hatta sekalipun kedua pemimpin itu adalah sangat berharga bagi bangsa kita. Patah tumbuh hilang berganti. Hilang pemerintah Soekarno-Hatta, sementara atau untuk selama-lamanya, rakyat Indonesia akan mendirikan pemerintahan yang baru, hilang pemerintah ini akan timbul yang baru lagi".(kompas.com)

Menurut saya, keberadaan PDRI sangatlah penting. Dalam setiap pertempuran pemenang perang akan menyimpulkan, apabila telah menawan pemimpin tertinggi sebuah negara yang kalah perang, maka negara tersebut telah bubar. Tiba saatnya bagi pemenang perang untuk menguasai wilayah tersebut. Sayangnya perkiraan Belanda itu, jauh meleset.

Keberadaan pemerintahan Indonesia tetap ada, dan lengkap dengan kabinetnya, serta masih berada dalam wilayah Indonesia. Berbeda dengan pimpinan Belanda yang mengasingkan dirinya ke negara Inggris, saat dikuasai oleh Jerman.

Perjanjian Roem -- Royen

Setelah Perjanjian Roem-Royen Sjarifuddin Prawiranegara bertemu dengan Preseden Soekarno  di Istana (kompas.com)
Setelah Perjanjian Roem-Royen Sjarifuddin Prawiranegara bertemu dengan Preseden Soekarno  di Istana (kompas.com)
Pemerintah Darurat Rupublik Indonesia (PDRI) berakhir setelah terlaksananya perundingan Roem-Royen, antara pemerintah Belanda dengan Indonesia. Perundingan tersebut juga mengembalikan tawanan politik yang diasingkan oleh Belanda tanpa syarat. Tepat pada tanggal, 13 Juli 1949 Presiden RI Ir. Soekarno dan Moh Hatta kembali kejakarta. 

Agar tidak terjadi dualisme kepemimpinan di Indonesia, kabinet Sjarifuddin Prawiranegara, mengembalikan mandatnya kepada Presiden Soekarno.

Bagi saya pribadi menilai sosok Sjarifuddin Prawiranegara dan Mr. Tuku Moehammad Hasan adalah dua bintang yang pernah bersinar. Walaupun sinar itu pelan-pelan meredup seiring dengan kepentingan dan gejolak politik paska Indonesia yang baru merdeka.

Presiden tanpa Jejak di Istana

Sepertinya ada bab yang hilang dalam sejarah kepresidenan Indonesia. Padahal, bukti otentik sejarah tentang sepak terjang presiden PDRI ini masih ada. Salah satunya masih terdapat kantor PDRI di Bidar Alam Solok Sumatera Barat. Pada awalnya kantor tersebut adalah kediaman bapak Sjarifuddin Prawiranegara.

Semasa agresi Belanda ke II, Indonesia pernah menjadikan Jokyakarta sebagai ibukota. Setelah Jogja dikuasai Belanda, Ibu kota Indonesia pindah ke kota Bukit Tinggi Sumatra Barat. Bukan hanya di Sumatra Barat. Konon kabarnya, sempat di Aceh juga. Tepatnya dikota Juang Biruen pernah menjadi Ibu Kota Indonesia, selama sepekan Soekarno berkantor disana.

Terlepas dari pro dan kontra tentang presiden periode 22 Desember 1948 - 13 Juli 1949, seharusnya sejarawan mengkaji lebih dalam tentang peristiwa ini. Pelurusan sejarah itu perlu, apa lagi ini menyangkut identitas kebangsaan.

Tanpa presiden PDRI, bisa saja Indonesia punya alur cerita yang berbeda dengan hari ini. Mungkin kita akan mengalami penjajahan yang lebih panjang lagi, dikarenakan hilangnya pemimpin paska Soekarno-Hatta selama dalam tawanan politik Belanda.

Oleh sebab itu, siapapun penguasa saat ini, saya rasa perlu membentuk tim khusus untuk mengisi bab yang hilang dalam sejarah kepresidenan Indonesia.

Harusnya, di Istana Jakarta ada foto kedua tokoh hebat yaitu Syarifuddin Prawiranegara dan Mr.Teuku Moehammad Hasan, sebagai Presiden dan Wakil Presiden priode Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI).

Saya jadi ingat tentang kebesaran sebuah bangsa itu terlihat dari bagaimana bangsa tersebut menghargai jasa para pahlawanya. Ketika kedua sosok besar tersebut dilupakan, sebagai bagian dari warga Negara Indonesia, yang mengaku sebagai bangsa besar, saya ikut sedih. Terlebih, hari ini kita sedang mengenang HUT 75 R.I.

Semoga saja ada kepedulian untuk ini. Sejarah perlu tercatat rapi. Jangankan yang baik, yang kelam pun, mendokumentasikannya adalah bagian dari proses menyampaikan kebenaran. Agar bisa dijadikan sebagai saksi bisu, namun akan selalu dikenang bagi generasi mendatang.*)

*) Dari berbagai sumber.

Banda Aceh, 18 Agusutus 2020

Moehib Aifa

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun