Baru baru ini lagi viral di media sosial tentang touring moge yang akan dilakukan oleh kalangan elit papan atas di Aceh, sebenarnya tidak ada masalah dengan kegiatan tersebut, selama tidak menggunakan sumber anggaran dari kas daerah (APBA).Â
Meskipun kegiatan touring tersebut mengaitkan dengan hari jadinya perdamaian Aceh, katanya "Menunjukan pada dunia bahwa Aceh telah benar-benar damai". Saya rasa jika hanya itu landasan dasarnya sangat keliru, karena efek manfaatnya pun sangat kecil.
Untungnya acara tersebut dibatalkan, karena terjadinya gelombang protes dari masyarakat dan beberapa aktifis yang masih memiliki pikiran jernih.Â
Menurut keterangan dari Kepala Sekretariat BRA,. Tgk. Syukri M.Yusuf, anggaran untuk memeriahkan peringatan perdamaian Aceh ke-15 adalah sebesar Rp. 267. 813. 796 (www.popularitas.com). Bayangkan betapa bermanfaatnya dana tersebut jika diberikan pada pelaku usaha dari kalangan masyarakat miskin dan korban konflik.
Barang kali bagi kalangan pejabat angka tersebut, tidaklah besar, dan wajar-wajar saja touring itu dilaksanakan. Tetapi dengan nilai sebasar itu bagi masyarakat sangat banyak, akan sangat membantu masyarakat korban konflik dalam memulai atau mengembangkan usahanya, apa lagi di tengah masa-masa pandemi covid-19, rakyat sangat membutuhkan suntikan dana.
Sebagaimana kita ketahui bahwa perdamaian Aceh telah berlangsung sekitar 15 Tahun, semenjak disepakatinya perjanjian MoU Helsinki antara pemerintah RI dengan GAM pada tanggal, 15 Agustus 2005.Â
Setelah terjadinya konflik dan perang antara tentara RI dengan GAM yang terjadi kurang lebih selama 30 tahun. Meskipun perdamaian telah berlangsung selama tiga priode, akan tetapi masih banyak persoalan yang belum tuntas terkait poin-poin yang disepakati dalam perjanjian tersebut.
Seperti masalah bendera Aceh yang belum bisa dikibarkan berdampingan dengan bendara merah putih, dan belum meratanya kesejahteraan bagi masyarakat korban konflik, sehingga munculnya kesenjangan sosial ditengah masyarakat Aceh.
Perdamaian akan terus kita rasakan jika kita mau menjaga dan merawatnya, namun untuk menjaga dan merawatnya bukanlah hanya tugas dan tanggung jawab pemerintah dan intansi terkait lainnya.Â
Perdamaian merupakan milik bersama, jadi sudah sepatutnya kita harus memiliki kesadaran secara kolektif untuk merawatnya, kalau tidak, siap-siaplah kita untuk kembali harus berhadapan dengan konflik. Ada banyak cara untuk merawat perdamaian, salah satunya adalah dengan membina masyarakat Aceh yang mempunyai jiwa entrepreneurship (wirausaha).