Menguras energi juga untuk sebuah proses belajar mengajar, tugas pengolola kampus juga menjadi beban kami untuk memastikan dosennya hadir.
Inilah wajah-wajah kampus di negeri kita yang tak mau ambil pusing ngurusin masalah dosen. Mereka hanya mau tahu asal uang SPP tetap jalan. Belum lagi kutipan dan untuk semester pendek dalam rangka memperbaiki nilai. Kata kawan-kawan, ada proyek lagi untuk mafia-mafia dunia pendidikan. Saya tidak tahu apakah sekarang masih ada istilah semester pendek.Â
Fasilitas Terbatas
Idealnya sebuah lembaga pendidikan menyediakan ruang perkuliahan yang nyaman bagi mahasiswanya. Namun tidak semua lembaga pendidikan tinggi memiliki fasilitas yang cukup baik. Pengalaman saya di era 2004 hingga 2007, ruang perkuliahanya masih menggunakan kipas angin, sehingga saat cuaca lagi panas-panasnya kami seperti sedang menjalani terapi mandi sauna.
Sebagai alumni dari kampus tersebut, yang kebetulan saya masih bekerja dan menetap di Banda Aceh dekat dengan kampus, saat tim surveyor datang untuk masalah akreditasi, saya selalu mendapat undangan untuk keperluan Akretaditasi. Diminta membantu penilaian tentang alumni dan pekerjaannya.
Saya melihat pemandangan yang lucu. Kala tim surveyor mensurvey kelengkapan laboratorium Fakultas A maka ia akan pinjam alat dari Fakultas B. Begitu pula sebaliknya. Masalah perpustakaan juga tidak jauh beda. Ketika tim surveyor datang kadang kala mahasiswa harus memindahkan buku-buku dari Perpustakaan A ke perpustakaan B.
Ini jadi masalah, entah bagaimana cara pengelolaan keuangan, sehingga fenomena ini sering muncul saat akreditasi kampus dilakukan. Â
Besarnya Pengeluaran Dana
Untuk masalah uang kuliah bisa jadi dua kali lipat, jika dibandingkan dengan Universitas Negeri. Ketika saya kuliah di era tahun 2004 biaya masih Rp.700.000. Sementara di perguruan tinggi negeri hanya sekitar Rp.350.000. Setiap tahun dinaikan kurang lebih Rp.200.000. Sekarang sudah mendekati Rp.3-5 jutaan sepertinya.
Untuk biaya praktek lain lagi. Juga biaya PBL, serta biaya jelang wisuda juga membuat orangtua kami harus geleng-geleng kepala.
Sebenarnya bagi saya pribadi tidak terlalu mempermasalahkan kutipan dana tersebut selama kepentinganya jelas untuk keperluan proses belajar kami. Yang kita sayangkan dari tahun ketahun dengan kenaikan SPP dan biaya lain.
Kita melihat belum adanya perkembangan kampus secara signifikan. Ke mana larinya dana yang bersumber dari mahasiswa? Saya tidak mau berprasangka buruk tentang ini, meskipun zahirnya ada kesenjangan antara kediaman pribadi sang pemilik kampus dengan fasilitas kampus.
Kampus Hanya Mendidik
Di negeri kita, kualitas kampus masih menganut aliran lama. Tugasnya mendidik, belajar lapangan (Praktek), dan hanya berakhir dengan selembaran ijazah dan titel. Sementara nasib mahasiswa yang disarjanakan, mereka tidak pernah mau tahu, apakah mereka akan mendapatkan pekerjaan atau menjadi pengangguran seumur hidup. Itu masalah buat mahasiswa bukan bagi pengelola pendidikan.