Pintar belum tentu cerdik. Tapi kalau sudah cerdik sudah pasti pintar. Pemilih harus menentukan pilihannya terhadap kandidat yang punya kriteria. Misalnya, punya personal branding yang bagus, punya rekam jejak yang baik, dan berpihak pada rakyat.Â
Jangan sampai mengubah pendirian pemilih dikala disedorkan dengan lembaran lima puluh ribu rupiah ataupun seratusan ribu rupiah. Atau memilih karena telah diberikan barang tertentu yang bila kita hargakan tidak seberapa.
Suara Rakyat Suara Tuhan?
Dalam ungkapan bahsa latin yang sudah mendunia dikenal dengan istilah "Vox Populi, Vox Dei", yang diartikan suara rakyat adalah suara Tuhan. Suara rakyat akan menentukan panggung politik selanjutnya. Mulut politikus sudah terbiasa mengucapkan istilah tersebut, menggambarkan bahwa kemenangan sepenuhnya tergantung pilihan rakyat.
 Bagaimana kita memaknai pepatah kuno itu, sementara yang terpilih dari suara rakyat kadang kala perbuatannya dalam mimpin sama sekali tidak di sukai Tuhan? Allah berkendak atas apa saja yang Ia sukai. Jadi siapapun yang terpilih itu memang sudah suratan takdir dariNya, manusia hanya bisa berencana, Allah jualah yang menentukan. Wallahuallam Bishawab. Â
 Penyamun Suara Rakyat
Adakah kemenangan yang hakiki dalam sebuah kompetisi sekelas pemilu kada? Jawabannya bisa jadi ada dan kebiasaannya tidak. Kenapa saya katakan demikian? Karena politik itu hanya ada kepentingan yang abadi. Ketika syahwat politik menyentuh ubun-ubun politikus, maka dia akan menghalalkan segala cara untuk membuatnya terpilih.
Maka bertebaranlah para penyamun suara rakyat. Penyamun itu sama artinya pencuri atau perampas. Retorika dan janji-janji kampanye mereka telah meluluhkan hati rakyat, sehingga memantapkan hatinya untuk memilih mereka. Keluguan rakyat seringkali dimanfaatkan oleh para politikus busuk. Tak sedikit yang bermain curang saat pemilu untuk memanipulasi suaranya.Â
Ketika saya duduk dengan sahabat saya seorang anggota dewan salah satu kabupaten di Aceh, ia mengatakan sangat banyak yang bermain curang. Pada pileg lalu yang menjadi lawannya bermain curang dengan mengerahkan panitia pelaksana pemilu sampai pihak keamanan setempat. Lawannya itu menyerahkan segepok uang kepada pihak terkait untuk memanipulasi agar bertambah porelehan suara baginya. Miris bukan?
Politik Black Campaign juga menjadi senjata andalan mereka yang haus kekuasaan, begitupun dengan money politik atau juga dikenal dengan serangan fajar. Di mata sang politikus itu masih hal yang lumrah dilakukan. Belum lagi dengan kecurangan-kecurangan lain, yang semakin menambah kelam dunia perpolitikan di Indonesia. Jika seperti ini lakon perpolitikan di tanah air kita, masih kah murni suara rakyat itu?
Tidak mengherankan setelah kandidat terpilih banyak rakyat yang merasa kecewa pada mereka. Sementara tuannya yang dipilih hanyut dalam harumnya aroma anggur ruang parlemen, tanpa mau peduli pada rakyat yang memilihnya. Penyamun suara rakyat hanya peduli pada dirinya sendiri, dan terbiasa berternak penjilatnya dengan proyek-proyek yang menyenyangkan perut mereka saja. Penjilat-penjilat inilah yang nantinya akan mendengar titah tuannya untuk terus berada dalam pusara kesesatan berpolitik. Ini dilema.Â