"Didiklah anakmu dengan sebaik mungkin, sebab esok ia akan hidup di suatu zaman yang berbeda dengan zaman kamu"
Di berbagai belahan dunia manapun setiap pasangan pasti mengidamkan kehadiran anak dalam kehidupannya, namun tidak semua pasangan berkesempatan untuk mendapatkan amanah tersebut.Â
Ada yang dikarunia anak dalam waktu yang cepat setelah menikah, ada yang harus menunggu bertahun-tahun lamanya, dan bahkan ada yang sama sekali tidak mendapatkan penyambung sejarahnya.
Setiap orang boleh berencana dengan berbagai ekspektasi yang bersarang di kepalanya, namun tak selamanya itu sesuai dengan kehendaknya. Banyak orang yang merasa putus asa karena tidak memiliki seorang anakpun dalam rumah tangganya.
 Namun disisi lain ada juga yang menyia-nyiakan anugerah tersebut tanpa pernah tau, bagaimana caranya untuk bersyukur. Sehingga menelantarkan anaknya tanpa memberikan perhatian, pendidikan yang baik, dan hampir tidak pernah melihat perkembangan tumbuh kembangnya hanya karena alasan kesibukan dalam bekerja untuk memenuhi hajat hidup keluarganya.
Kali ini penulis ingin sedikit membuka cakrawala kita terkait mendidik anak sesuai dengan ajaran Islam, kenapa ini menjadi penting untuk dikaji dan pelajari lebih lanjut, supaya suatu saat ketika menjelang usia tua. Kita akan melihat generasi penerus kita dengan kualitas melampaui pencapaian kita, baik dari segi ketaatan dalam beragama maupun pencapaian kesuksesan dalam mereka berkarir.
Bukan malah sebaliknya masa tua kita akan dibayang-bayangi oleh perasaan bersalah seumur hidup, disebabkan oleh tidak kuatnya pondasi saat membangun karakter anak dalam keluarga. Mengakibatkan anak kita tumbuh kembangnya secara liar tanpa adanya perlakuan khusus, yang berujung pada kehilangan masa depannya dan cenderung berperilaku menyimpang baik dari segi agama maupun norma-norma sosial lainya.
Sudah banyak contoh kasus yang mencuat ke permukaan publik, salah satunya seperti yang diberitakan oleh kompas.com, Seorang remaja berinisial Ms yang berusia 17 tahun, tersandung kasus kepemilikan narkoba jenis sabu-sabu seberat 26 kilogram di Kabupaten Karimun, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri).Â
Berita tersebut sangat disayangkan karena korban pesakitan baru berumur 17 tahun, seharusnya ia berada dibangku sekolah untuk merajut masa depannya. Kejadian ini tentu dipicu oleh lingkungan akibat lengahnya pengawasan dari pihak keluarga.
Ada satu contoh kasus lagi dengan berita yang tidak kalah mengejutkan, Seorang anak punk yang berinisial Is, warga Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga, Jawa Tengah, dikeroyok dan dibakar sekelompok orang. Peristiwa naas itu terjadi di kawasan Bawen, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Sumber
Ini baru dua contoh kasus yang saya angkat, tentunya masih banyak  kasus lainnya yang sudah sering kita dengar sperti,  pergaulan bebas anak dibawah umur, hamil di usia pelajar, dll. Hal itu sama sekali tidak kita harapkan terjadi pada anak kita, saudara, dan bahkan orang lain.
Oleh sebab itu penulis ingin mengajak kita semua belajar kembali cara-cara mendidik anak sebagaimana yang pernah dilakukan oleh sahabat nabi yaitu Ali bin Abi Thalib. Ada tiga tahapan sesuai dengan usia anak yang perlu di praktekan oleh orang tua dalam mendidiknya yaitu:
Pertama :
Anak Sebagai Raja Antara Umur 0 s.d 7 Tahun: Pada ambang usia tersebut selaku orang tua sudah selayaknya memberikan perhatian yang luar biasa pada anaknya.Â
Kita adalah pelayan sepenuhnya, memberikannya mainan  yang bersifat ramah anak dan punya nilai edukatif seperti mainan yang berbentuk angka, buah-buahan, dll.Â
Kadang kala kita harus melakukan hal-hal yang sama sekali tidak kita sukai, bagi sang Ayah kadang kala ia harus rela main masak-masakan, boneka dan hal-hal lain yang bersifat feminim, mana kala ia sedang membuat anak perempuannya bahagia.
Pun sebaliknya menjadi eorang Ibu yang harus rela bermain mobil-mobilan, tembak-tembakan untuk menyenangkan anak putera nya, walaupun dalam hatinya ia tidak pernah suka dengan mainan yang pembawaannya bersifat maskulin.Â
Akan tetapi kita harus bisa melakoninya dengan bertukar posisi agar anak kita merasa diperlakukan seperti sang raja. Kita juga dituntut untuk memberikan sentuhan hangat dengan usapan-usapan lembut di punggung dan kepalanya.Â
Merespon cepat dan tanggap ketika ia memanggil dan memerlukan bantuan kita, sebisa mungkin hindari tangan kita dari bermain HP agar perhatian kita tercurahkan semua pada anak. Hal-hal baik yang kita lakukan semasa ia kecil akan menjadikan kenangan manis baginya, yang akan membuatnya membalas perbuatan baik itu ketika kita sudah tua.
Kedua :
Jadikan Anak Sebagai Tawanan Saa't Berumur 8 s.d 14 Tahun: Pada fase ini kedua orang tua wajib memperlakukan anaknya sebagai tawanan, tentunya tawanan yang dihormati dengan memberikan hak dan kebutahannya secara proposional.Â
Pada usia ini anak sudah bisa dipacu untuk fokus pada pendidikan baik bersifat duniawi maupun ukhrawi  (Agama) sehingga anak sudah mulai dibiasakan shalat, menutup aurat, dan menjaga pergaulan.Â
Serta menjauhkan anak dari HP pintar, agar ia tidak mengakses jejaring sosial yang dapat berbahaya pada moralnya, terutama pada gambar-gambar yang bisa mengundang syahwatnya.
Selanjutnya orang tua juga perlu menerapkan kedisiplinan pada anaknya, mulai dari shalat tepat waktu, membantu orang tua dengan memberikan pekerjaan yang ringan yang sesuai dengan kemampuannya.Â
Puji anak saat melakukan hal-hal yang bermanfaat dan menegurnya ketika ia melakukan kesalahan, agar anak berhati-hati dalam memilah mana pekerjaan yang berfaedah dan yang tidak, dan ajarkan anak untuk tentang arti dari sebuah bertanggung jawab.
Ketiga :
Jadikan Anak Sabagi Sahabat Ketika Telah Berumur 15 s.d 21 Tahun:Â Pada tahap ini kita sudah bisa memberi ruang pada anak dengan menempatnya sebagai teman/sahabat kita. Berkomunikasilah dengan baik, mendengarkan masalah-masalah yang di rasakannya dan mencoba memberi solusi cerdas dan terbaik.Â
Perlu digaris bawahi pada usia tersebut anak telah mencapai masa aqil baliq, jadi sudah bisa diberi pengertian tentang kewajibannya selaku muslim/muslimah bahwa sang anak telah mulai dicatat amalnya oleh malaikat baik itu pahala maupun dausa, yang menjadi nilai hisabnya di akhirat nanti.
Bila mungkin orang tua juga harus mengajari anak tentang keahlian yang bisa membuatnya survival dilam menjalani kehidupannya kelak, seperti berenang, memanah, dan ketrampilan hidup lainnya.Â
Akan lebih baik jika anak pada usia ini untuk menimba ilmunya dengan mondok di pesantren modern maupun salafi, yang akan membuatnya mengenal lebih mendalam tentang ilmu tauhid, fiqah, akhlak.
Dalam sebuah riwayat yang lain Imam Al-Ghazali juga pernah berpesan "Didiklah anakmu dengan sebaik mungkin, sebab esok ia akan hidup di suatu zaman yang berbeda dengan zaman kamu".Â
Pesan singkat dari imam Al Ghazali begitu sarat dengan maknanya, dan kiranya melalui pesan itu harus menjadi cambuk bagi kita selaku orang tua untuk membentingi sekaligus membekali anak kita dengan ilmu agama, agar anak kita mampu menjadi pribadi yang baik ditengah usia zaman semakin tua.Â
Demikianlah tulisan ini saya buat dengan harapan semoga anak-anak kita nantinya menjadi penyempurna sejarah kita dengan ketaqwaan dan keiman yang melebihi pendahulunya.
Banda Aceh, 17 Juli 2020
Moehib Aifa, Saat ini bekerja di Rumah sakit Jiwa Aceh
Alumni Pesantren Babussalam Al-Hanafiah Matang Kuli Aceh Utara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H