Mohon tunggu...
Muhibuddin Aifa
Muhibuddin Aifa Mohon Tunggu... Perawat - Wiraswasta

Jika Membaca dan Menulis adalah Cara yang paling mujarab dalam merawat Nalar, Maka Kuliah Adalah Pelengkapnya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Gadis yang Tak Sempat Kutemui

16 Juli 2020   18:43 Diperbarui: 4 Agustus 2020   10:11 373
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Sayangnya aku tak bisa melihatnya secara nyata, ia telah hilang bersama air laut membawanya pergi untuk selama-lamanya" 

Sabtu, 25 Desember 2004

Di bawah rindangnya pohon mahoni dan semilir angin menerpa dedauanan pohon yang tumbuh di seputaran kampus Akper itu, membuat Amir dan mahasiswa lainya betah utuk santai bersama sambil bercengkrama menunggu kedatangan dr. Anwar dosen mata kuliah anatomi. Amir selaku Komting (Komisaris Tingkat) mencoba meraih ponselnya untuk melihat pesan masuk "Barang kali saja ada pemberitauan dari dosen anatomi itu" gumannya dalam hati. Benar saja saat ia membuka Hand Phone dibagian fitur pesan ada sms masuk dari pak dosen,

"Saya dalam perjalan meuju kampus, tolong segera disiapkan infokus" tanpa menunggu lama amir langsung membalasnya "baik pak, akan saya siapkan" sambil memberitahu pada kawannya yang lain.

Ketika sedang menikmati hembusan angin sore yang mendamaikan, Rahel memanggilku "Amir bagaimana kalau kukenalkanmu dengan seseorang, tetanggaku, anaknya baik" Amir menatap kosong dan berucap "Tapi aku belum siap untuk berkenalan dengan nya" Erna kawan dekat Rahel mencoba menyakinkannya "Sudah jangan mengelak terus, gadis yang satu ini beda, dia terkenal cantik dikawasan kost merduati, kami tak akan mungkin mengecewakanmu" 

"Baiklah, daripada dipaksa-paksa terus, hehe" Amir menjawabnya dengan tersenyum. Amir dikenal sebagai mahasiswa yang lumayan cerdas dan tergolong lelaki yang menarik, dan memiliki tatapan mata yang teduh, namun ia sedikit pemalu kalau sudah berbicara soal wanita. Sepengetahuan Rahel, Amir pernah dekat dengan adik kelasnya di SMA dulunya, namun hubungan itu kandas ditengah jalan, semenjak itulah spertinya Amir mulai menutup pintu hatinya untuk wanita, apa lagi saat ini ia begitu fokus dengan kuliahnya yang baru berjalan smester satu.

Kebersamaan mereka sore itu harus di akhiri, karena Pak Anwar dengan mobil sedan birunya baru saja tiba di depan ruang kuliah, pertanda mata kuliah anatomi akan segera dimulai. Merekapun beranjak memasuki ruangan bersama dengan mahasiwa lainnya yang sedari tadi menunggu orang yang bertubuh gempal itu, yang tak lain adalah dosen mereka. Erna kembali mengingatkan "Jangan lupa ya, minggu malam kami tunggu di jalan Teuntara Pelajar, pokoknya kau harus berkenalan dengannya"

"Oke, sip dech" amir mengiyakan ajakan sahabatnya itu.

****

Malam menjelang,

Cahaya lampu menghiasi gedung pertokoan dan perkantoran semakin mewarnai keindahan kota Banda Aceh malam itu, di seputar jalan tgk. Chik Ditiro terdengar deru mesin kendaran roda dua dan empat yang merayap padat akibat macet jelang malam minggu. Masyarakat kota banyak yang keluar menikmati malam minggu bersama keluarganya, begitupun dengan muda-mudi terlihat ramai di warung kopi dan cafe lainnya. Malam itu Amir bersama Kabir  kawan dekatnya sedari SMA hingga saat ini juga satu kampus dengannya, mereka keluar dari kostnya sekedar berjalan kaki menuju Mesjid Raya Baiturrahman.

Usai melaksanakan Shalat isya di mesjid tersebut, mereka bersender pada dinding mesjid menatap lepas langit-langit mesjid raya yang banyak terdapat lampu hias yang menjadikan mesjid itu begitu elegan kelihatannya. Kabir mulai membuka pembicaraan

"Amir, apa yang engkaau harapkan di kota ini?." 

"Entahlah, yang jelas dunia kita saat ini antara kampus dan Kost, hanya bisa berharap bahwa suatu saat orang akan mencatat nama kita sebagi orang penting di negeri ini" 

"ia tugas kita saat ini belajar, ibadah, dan berorganisasi, berharap sukses dibumi Serambi Mekkah ini" pungkas Kabir yang mengalihkan matanya tertuju pada mihrab mesjid raya dengan lukisan kaligrafi yang indah.

Setelah puas berbagi cerita, Amir dan Kabir beranjak pulang melewati kolam ikan hias di plaza mesjid raya, sesekali tempias air mancur yang ada dikolam ikan mengenai wajah mereka aromanya sama sekali tak mereka sukai. 

Mereka pun mempercepat langkahnya menuju ke kost, lima belas menit kemudian sudah tiba didepan pertokoan yang dijadikan kost, di atasnya tertulis "Banting Tulang Kost", awalnya mereka heran dengan nama kost yang taklazim, tapi setelah satu minggu mereka ngekost disitu mulai paham bahawa nama  kost itu berawal dari nama "Usaha Banting Tulang" bengkel Las pagar dan kanopi yang masih satu pemilik dengan tempat kostnya.

Saat hendak tidur Kabir mengingatkan kawannya "Amir kau stel alarm, besok kita ke lapangan Blang Padang untuk jogging, pasti banyak cewek cantik nanti disana".

"Dasar kau mata keranjang" coloteh amir sambil menyetel alarm pada jam weker tua yang dibawanya dari kampung. Merekapun tertidur dalam dekapan malam berpendar bulan purnama pada celah jendala kamar kost mereka, tanpa firasat buruk apapun dimalam itu.

****

Minggu, 26 Desember 2004

Pagi menjelang, jam didinding baru saja  menunjukan pukul 8:00WIB, terdengar suara teriakan manusia penghuni kost yang di iringi dengan dahsyatnya benturan lemari yang jatuh mengenai lantai. "Bangun Kabir, gempa, gempa...!" pekik Amir pada sahabatnya itu sembari menarik tangannya untuk keluar dari bangunan pertokoan itu. Hari itu semua manusia kebingungan berhamburan keluar rumah, dengan baju seadanya. Untungnya Amir dan sahabatnya mengenakan sarung dan baju singlet sebagaimana biasanya mereka tidur.

Setelah gempa berakir mereka kembali ke kamar kost dan mengenakan pakaian, berkeliling melihat bangunan roboh akibat efek gempa. Mata mereka mulai tertuju pada  bangunan Pante Pirak yang dijadikan super market di pusat Kota.

Bangunan bertingkat itu telah roboh menyatu dengan tanah diluluh lantakan oleh gempa. Selanjutnya mereka menyusuri kawasan Peunayong, baru sampai di depan markas kodam Iskandar Muda, orang-orang berteriak "air naik, air laut naik" salah seorang kakek sambil berlari dengan mata melotot berteriak "Air laut naik, laut telah marah dan menumpahkan airnya ke darat, akibat ulah tangan-tangan manusia yang tak pandai bersyukur". Ketika itu belum ada yang menyebutnya Tsunami.

Melihat hal itu, mereka membelokkan motornya, Kabir tau betul jalan tikus, karena dia sering melewati untuk menitipkan dagagangan roti di setiap warkop seputaran penayong, jadi tidaklah sulit untuk melewati kerumunan orang yang mencoba menyelamatkan diri dari air laut yang telah menampakan kemarahanya. 

Sesampai di simpang empat Jambo Tape mereka terjebak kendaraan lainnya, tidak ada lagi aturan lampu merah, semuanya sekehendak sendiri, pingin cepat-cepat bergerak menghindari kepungan air laut. Amir mencoba mengangkat motor bersama Kabir melewati trotoar pembatas badan jalan, dengan gesitnya Kabir melajukan motornya sehingga mereka bisa selamat dan singgah dipinggir kali mendekati bundaran Lambaro.

Dengan nafas yang tersenggal-senggal mereka beristirahat di besi pengaman jalan, sambil rebahan Amir berkata "Kabir, apakah kiamat sudah datang?."

"Entahlah kawan, aku takut sekali, amalanku didunia sangatlah fakir, aku belum siap menghadap sang Khalik" Kabir berkata lirih, ia hanya bisa nanar berbalut ketakutan menatap kesungai yang airnya melawan arus, tak se lazim dari biasanya.

Ketika keadaan terasa aman dari amukan air, mereka mencoba pulang melewati jalan Tgk. Chik Ditiro, sampai di depan mesjid raya mereka melihat mayat yang bergelimpangan disana-sini tak sanggup menghitunnya, nampaknya ada ratusan mayat korban tsunami, tumpukan sampah menutup badan jalan, sangat sulit diterobos dengan kendaran roda dua, tapi mereka tetap berjalan. 

Amir mengajak kabir ke Pasar Aceh di belakang Mesjid Raya untuk melihat korban yang barang kali masih bisa ditolong. Benar saja saat mereka tiba di perempatan jalan menuju Lampaseh Kota, terlihat korban yang meringis-ringis menahan sakit dan meminta pertolongan.

Amir dan Kabir beserta masyarakat lainnya memilah korban berdasarkan tingkat gawat darurat, mulai dari yang paling membutuhkan pertolongan sampai kepada korban yang masih bisa ditunda pertolongannya. Seorang wanita yang kakinya patah dan mengeluarkan banyak darah dibawanya dengan menggunakan motor ke mesjid raya, didalam mesjid raya menjadi tempat yang aman untuk mengobati korban karena air tidak masuk kedalam, dan Alhamdulillah disana wanita itu bertemu dengan keluarganya. Amir dan sahabatnya kembali merebos sampah-sampah bekas tsunami untuk menolong korban lainnya.

Amir melihat sosok wanita yang dikenalinya sedang berjalan tertatih-tatih, Amir memanggilnya "Rahel bagaimana dengan keluargamu yang lainnya?." 

"Ibuku belum ditemukan semntara yang lain selamat semuanya" jawabnya. Rahel bisa selamat dari tsunami setelah dibawa air, sempat tenggelam hingga akhirnya tersangkut dan bertahan  di balkon lantai dua sebuah ruko dekat Kantor PLN merduati. Amir memapah Rahel dan saudaranya yang lain menuju Mesjid Raya dan membiarkan Rahel beristirahat disana. 

Dengan alat medis seadanya mereka mulai bekerja membantu korban Tsunami, Kabir dan Amir mahasiswa AKPER yang baru smester satu memberanikan diri mereka untuk melakukan tindakan Heating (menjahit luka), disana terbatas para medis. Mereka mulai kelelahan, didalam mesjid sudah mulai mengeluarkan bau mayat, karena ada beberapa korban yang meninggal akibat kehilangan banyak darah. 

Tanpa terasa hari telah menjelang senja, Amir memberi tau kepada kabir "Aku kebelakang mesjid sebentar ya". Kabir hanya mengangguk karena ditangan masih memegang Nal untuk melakukan tindakan Heating.     

Diluar mesjid tepatnya dibelakang ada tempat yang kosong berdekatan dengan taman bunga, Amir mencoba merebahkan badannya, menatap kelangit yang mulai berwarna jingga berpadu keemasan amir mulai disesaki oleh berbagai perasaan yang kalut. Ia teringat ibu dan ayah, serta keluarganya dikampung, sayangnya ia tidak bisa menghubungi mereka karena sinyal Hand Phone sudah tidak berfungsi lagi, aliran listrikpun sudah terputus. 

Sebentar lagi senja akan berganti malam, akan tercium bau air laut yang bercampur sampah, tanpa cahaya, bertemankan bau darah, bau manyat, akan jadi malam yang mencekam. Amir yang lelah dengan keadaan tiba-tiba pikirannya mulai teringat akan janji nanti malam untuk bertemu dengan seorang gadis yang akan dikenalkan oleh Rahel sahabatnya.

Amir tak pernah tau bagaimana raut wajah gadis itu, yang ia tahu hanya namanya, kata Rahel ia biasa dipanggil "Jamaliah". Berdasarkan kabar yang sering ia dengar dari Rahel dan Erna, gadis itu berparas elok memiliki wajah yang oval, hidung mancung, kulit putih, rambut terurai panjang, tidak gemuk, tidakpun kurus, nyaris sempurna kecantikannya, sesuai dengan namanya Jamaliah (Kecantikan).

"Sayangnya aku tak bisa melihatnya secara nyata, ia telah hilang bersama air laut membawanya pergi untuk selama-lamanya" Amir membatin. Minggu malam berharap bertemu dengannya, akan tetapi Allah bertakdir lain, Tsunami membuat mereka tak pernah bertemu. Sambil menutup mata yang dilanda kesedihan yang mendalam Amir berkata dalam hatinya "Jamaliah, Gadis yang tak sempat kutemui". {} 

Banda Aceh, 16 Juli 2020

Moehib Aifa : Mengenang Musibah Tsunami 26 Desember 2004

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun