Pagi menjelang, jam didinding baru saja  menunjukan pukul 8:00WIB, terdengar suara teriakan manusia penghuni kost yang di iringi dengan dahsyatnya benturan lemari yang jatuh mengenai lantai. "Bangun Kabir, gempa, gempa...!" pekik Amir pada sahabatnya itu sembari menarik tangannya untuk keluar dari bangunan pertokoan itu. Hari itu semua manusia kebingungan berhamburan keluar rumah, dengan baju seadanya. Untungnya Amir dan sahabatnya mengenakan sarung dan baju singlet sebagaimana biasanya mereka tidur.
Setelah gempa berakir mereka kembali ke kamar kost dan mengenakan pakaian, berkeliling melihat bangunan roboh akibat efek gempa. Mata mereka mulai tertuju pada bangunan Pante Pirak yang dijadikan super market di pusat Kota.
Bangunan bertingkat itu telah roboh menyatu dengan tanah diluluh lantakan oleh gempa. Selanjutnya mereka menyusuri kawasan Peunayong, baru sampai di depan markas kodam Iskandar Muda, orang-orang berteriak "air naik, air laut naik" salah seorang kakek sambil berlari dengan mata melotot berteriak "Air laut naik, laut telah marah dan menumpahkan airnya ke darat, akibat ulah tangan-tangan manusia yang tak pandai bersyukur". Ketika itu belum ada yang menyebutnya Tsunami.
Melihat hal itu, mereka membelokkan motornya, Kabir tau betul jalan tikus, karena dia sering melewati untuk menitipkan dagagangan roti di setiap warkop seputaran penayong, jadi tidaklah sulit untuk melewati kerumunan orang yang mencoba menyelamatkan diri dari air laut yang telah menampakan kemarahanya.Â
Sesampai di simpang empat Jambo Tape mereka terjebak kendaraan lainnya, tidak ada lagi aturan lampu merah, semuanya sekehendak sendiri, pingin cepat-cepat bergerak menghindari kepungan air laut. Amir mencoba mengangkat motor bersama Kabir melewati trotoar pembatas badan jalan, dengan gesitnya Kabir melajukan motornya sehingga mereka bisa selamat dan singgah dipinggir kali mendekati bundaran Lambaro.
Dengan nafas yang tersenggal-senggal mereka beristirahat di besi pengaman jalan, sambil rebahan Amir berkata "Kabir, apakah kiamat sudah datang?."
"Entahlah kawan, aku takut sekali, amalanku didunia sangatlah fakir, aku belum siap menghadap sang Khalik" Kabir berkata lirih, ia hanya bisa nanar berbalut ketakutan menatap kesungai yang airnya melawan arus, tak se lazim dari biasanya.
Ketika keadaan terasa aman dari amukan air, mereka mencoba pulang melewati jalan Tgk. Chik Ditiro, sampai di depan mesjid raya mereka melihat mayat yang bergelimpangan disana-sini tak sanggup menghitunnya, nampaknya ada ratusan mayat korban tsunami, tumpukan sampah menutup badan jalan, sangat sulit diterobos dengan kendaran roda dua, tapi mereka tetap berjalan.Â
Amir mengajak kabir ke Pasar Aceh di belakang Mesjid Raya untuk melihat korban yang barang kali masih bisa ditolong. Benar saja saat mereka tiba di perempatan jalan menuju Lampaseh Kota, terlihat korban yang meringis-ringis menahan sakit dan meminta pertolongan.
Amir dan Kabir beserta masyarakat lainnya memilah korban berdasarkan tingkat gawat darurat, mulai dari yang paling membutuhkan pertolongan sampai kepada korban yang masih bisa ditunda pertolongannya. Seorang wanita yang kakinya patah dan mengeluarkan banyak darah dibawanya dengan menggunakan motor ke mesjid raya, didalam mesjid raya menjadi tempat yang aman untuk mengobati korban karena air tidak masuk kedalam, dan Alhamdulillah disana wanita itu bertemu dengan keluarganya. Amir dan sahabatnya kembali merebos sampah-sampah bekas tsunami untuk menolong korban lainnya.
Amir melihat sosok wanita yang dikenalinya sedang berjalan tertatih-tatih, Amir memanggilnya "Rahel bagaimana dengan keluargamu yang lainnya?."Â