Mohon tunggu...
Muhibuddin Aifa
Muhibuddin Aifa Mohon Tunggu... Perawat - Wiraswasta

Jika Membaca dan Menulis adalah Cara yang paling mujarab dalam merawat Nalar, Maka Kuliah Adalah Pelengkapnya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Catatan Pilu di Rumah Sakit Jiwa

28 Juni 2020   19:53 Diperbarui: 28 Juni 2020   19:45 343
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setiap hari, aku harus melewati koridor–koridor panjang yang mempertemukan aku dengan ruangan tempatku bertugas di Rumah Sakit Jiwa Aceh. Hari ini, seperti biasanya aku melewati koridor tersebut dengan langkah santai, maklum baru pukul 07:45 WIB, jadi masih punya waktu sekitar 15 menit lagi untuk pergantian sif dinas. Kebetulan, hari ini aku dinas pagi.

Tadi, saat aku lewati koridor tersebut, kulihat seisi bangsal di sana semua menatapku dengan muka penuh daki, kuku hitam, rambut acak-acakan, gigi kuning, baju kotor, terkesan sangat sumbang kelihatannya. Begitulah lukisan sebuah dunia tempat di mana orang-orang sakit jiwa diobati.

Aku merasa berjalan di atas sebuah dunia yang beda, beda karena mereka tidak seperti kita, mereka mengalami gangguan jiwa, masa depan mereka telah dirampas oleh penyakit tersebut. 

Pernah aku mengkaji beberapa pasien gangguan jiwa di ruangan salah satu bangsal tingkatan kedua setelah ruang akut di tempat pengobatan orang sakit jiwa itu, Mawar. Masih segar dalam ingatanku pasien tersebut berinisial SF, dia salah satu dari sekian banyak pasien di sana.

Kutanyakan padanya tentang awal mulanya dia mengalami gangguan jiwa, karena menurutku dia sudah mulai menampakan perkembangan ketahap yang lebih baik, dengan gaya bicara yang sangat kooperatif dia mulai bercerita tentang kehidupannya sebelum dia terdampar di dibalik jeruji besi Rumah Sakit Jiwa. 

Seraya mempermainkan sebatang rokok bintang abadi, rokok yang biasa dikonsumsi oleh penderita gangguan jiwa, dia berkisah bahwa dulunya dia seorang perantauan, jalanan yang sunyi membawanya ke pusat ibukota Jakarta.

Di sana awalnya hidupnya biasa-biasa saja, tapi setelah dia punya penghasilan yang mapan, pergaulannya mulai tidak terkontrol lagi, hingga dia mulai mengembara ke dunia hitam.

Ekstasi, sabu-sabu, menjadi santapannya tiap hari, efeknya dia mengalami gangguan jiwa, dia melihat sesuatu hal yang sama sekali objeknya tidak ada. Dalam medis keadaan tersebut dikenal dengan (halusinasi Penglihatan), bagian dari gejala gangguan jiwa. Pembicaraanku dengan pasien SF membuatku membuka kembali catatan tua di Akper Abulyatama yang masih kusimpan rapi.

Dalam catatan tersebut dijelaskan, beberapa faktor yang mengakibatkan gangguan jiwa, pintu masuknya ada yang bermuara dari rasa frustasi, penggunaan obat penenang seperti, ekstasi dan shabu-shabu, gangguan jiwa juga bisa bersifat heredeter atau keturunan, riset kecilku hari ini membuktikan bahwa pernyataan dalam buku tersebut benar adanya.

Di hari yang berbeda, aku masih melalui koridor-koridor yang biasanya kulewati. Jalanku hari ini sedikit lebih cepat dari biasanya karena aku bangun kesiangan pagi ini, akhirya dengan langkah yang tergesa-gesa sampai juga di ruangan Mawar, kulihat di sekelilingku masih seperti biasanya, berbagai aktivitas yang tidak terarah terlihat di dalamnya, ada yang hanya mondar-mandir di ruangan, ada yang selalu shalat, dan ada juga mulutnya komat kamit terus tanpa bahasa yang jelas dan tidak jelas pembicaraannya selalu melonjat-lonjat dari satu topik ke topik yang lainnya dalam medis dikenal dengan flight of idea dan masih banyak perilaku abnormal lainnya semakin menambah goresan catatan pilu di Rumah Sakit Jiwa. 

 Di sudut yang lain, terdengar pasien-pasien di balik jeruji besi,berteriak “Toh peng siribe, rokok sibak, (Bagi Duetnya Seribu, Rokok Sebatang)” dengan nada penuh pinta dan memelas. Ingin rasanya aku melihat mereka bisa pulih dan kembali produktif di tengah-tengah keluarga dan masyarakat.

“Alah hom hai aleh pajan pule’h jih (huff, entahlah, enatah kapan mereka sembuh),” colotehku dalam hati di pagi itu seraya aku dan teman sejawatku yang lainnya, mendamping para pasien untuk melakukan kebersihan diri ( personal hygiene). Para pasien harus dibimbing mandi, menyikat gigi, dan hal lainnya.

Setelah itu, tiba saatnya aku mendampingi dokter yang mengunjungi ruangan Mawar, satu persatu pasien yang masih bingung dan agresif telah diwanwancarai. Kulirik dokter yang sedang memainkan penanya di atas kertas resep. Dengan nada santai dokter ahli jiwa itu mengatakan, “Dek, tambahkan dosisnya agar pasien ini bisa tidur nanti malam.”

“Iya, Dok,” jawabku singkat.

Waktu mengunjungi para pasien telah selesai, namun dokter ahli jiwa tersebut belum beranjak dari tempat duduknya. Untuk mengisi kekosongan waktu tersebut, aku pun bertanya,

“Dok, apakah pasien dengan ganguan jiwa bisa sembuh seperti sedia kala?”

Maka, dengan gelagatnya yang sangat bersahaja dan berwibawa layaknya seorang dokter, dia mulai menjelaskan dan aku mendengarnya penuh khidmat.

“Kemungkinan sembuh bagi para pasien itu selalu ada, meskipun dalam sebuah buku penelitian dikatakan, dari sekian banyak penderita scizofrenia di seluruh dunia, hanya 30 persen yang bisa sembuh dengan keadaan seperti sediakala.”

“ Ya, kita juga berharap bahwa pasien yang kita tangani, semuanya berada dalam lingkaran 30% tersebut,” kataku.

“Ada beberapa hal yang mesti diperhatikan, agar pasien yang telah sembuh, tidak berulang lagi gangguan jiwanya, di antaranya adalah: Olah raga, Rekreasi, Kasih sayang, Sosial ekonomi, Menghindari Rokok, Pergaulan/Silaturahmi, Tidur yang cukup, Makanan yang seimbang dan teratur, Pengelolaan waktu yang baik, dan mendekatkan diri kepada Allah, SWT. Itulah sepuluh cara untuk menjaga agar jiwa tetap sehat dan tentram. Bukankah dalam Al-Quran surat Al-Rad (13:28) melalui firmaNya, Allah mengingatkan kita. (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram,” Jelas sang Dokter.

Aku hanya menganguk-anggu, isyarat bahwa aku telah paham dengan penjelasannya, hingga tanpa terasa aku dikejutkan oleh pertanyannya,

“Ada lagi, Dek, yang mau ditanyakan?”

“Oh, tidak, Dok! Sementara penjelasan dokter sudah cukup,” jawabku sambil tersenyum.

“Kalau bagitu, saya mau kembali ke ruang Poly rawat jalan dulu,” kata dokter itu seraya bangkit dan keluar, cepat-cepat ke ruangnnya.

Aku terdiam, mengingat-ingat petuah yang baru saja diberikan dokter itu seraya bola mataku menatap sosok lelaki yang berperawakan tinggi itu. Ia selalu mengenakan jas putih. Perlahan-lahan dokter ahli jiwa tersebut menghilang dari pandanganku.

“Terima kasih, Dok, atas penjelasan dan nasehatnya,” bisiku dalam hati.

Banda Aceh, 11 Oktober 2011

Oleh: Moehib Aifa, Perawat Rumah Sakit Jiwa

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun