Kota-kota besar, seperti Jakarta dan Surabaya, infrastruktur teknologi relatif lebih baik, tetapi di daerah terpencil, akses terhadap teknologi dan pelatihan digital masih terbatas. Hal ini menciptakan jurang yang semakin lebar antara yang dapat mengakses dan memanfaatkan teknologi dengan yang tidak.
Ketimpangan ini semakin terlihat dalam perbedaan kemampuan antar negara. Negara maju dengan infrastruktur teknologi yang lebih kuat memiliki keuntungan dalam pengembangan dan adopsi AI.Â
Negara-negara berkembang, seperti Indonesia, dihadapkan pada tantangan untuk mengejar ketertinggalan, dan tanpa upaya serius dari pemerintah, sektor ini bisa semakin memunculkan ketidakadilan sosial yang lebih mendalam.Â
Fenomena ini mengingatkan kita pada pepatah Jawa: "Ngunduh wohing pakarti," yang berarti kita menuai apa yang kita tanam. Tanpa persiapan yang matang, ketimpangan ini bisa menghambat laju perkembangan negara.
Pendidikan adalah kunci untuk menghadapi tantangan ini. Kurikulum yang berbasis literasi digital harus mulai diterapkan sejak dini agar generasi mendatang tidak hanya menjadi pengguna teknologi, tetapi juga mampu menciptakan inovasi. Ini bukan hanya soal mengajarkan penggunaan perangkat teknologi, tetapi juga mengajarkan cara berpikir kritis dalam menghadapinya.
Selain itu, pelatihan ulang (reskilling) bagi pekerja yang terancam oleh otomatisasi menjadi langkah penting yang harus segera diimplementasikan. Misalnya, seorang akuntan yang kehilangan pekerjaannya karena digantikan oleh AI bisa dilatih menjadi analis data atau bahkan ahli dalam bidang teknologi AI itu sendiri.Â
Program pelatihan seperti ini memerlukan kerjasama antara pemerintah, lembaga pendidikan, dan sektor swasta untuk menciptakan program pelatihan yang relevan dan aksesibel.
Di tengah gencarnya transformasi digital ini, Indonesia harus berkomitmen untuk memperkuat infrastruktur teknologi di seluruh daerah, khususnya di daerah-daerah terpencil, agar tidak ada yang tertinggal dalam perkembangan teknologi. Jika tidak, ketimpangan digital hanya akan semakin memperburuk ketidaksetaraan sosial yang ada.
AI memang luar biasa, namun tetap tidak memiliki empati, intuisi, atau nilai moral yang dimiliki oleh manusia. Oleh karena itu, peran manusia sebagai pengendali teknologi tetap sangat penting. Seperti halnya dalang dalam pertunjukan wayang, manusia harus mampu mengarahkan teknologi ini agar berjalan pada jalur yang benar, yakni untuk melayani kepentingan dan kebutuhan manusia.
Dalam konteks ini, Indonesia dapat memanfaatkan kearifan lokal untuk membimbing penggunaan AI dengan bijaksana. Misalnya, nilai gotong royong yang terkandung dalam budaya Indonesia dapat diterapkan dalam adopsi AI, sehingga teknologi ini tidak hanya menguntungkan segelintir orang atau perusahaan besar, tetapi juga masyarakat luas.