Mohon tunggu...
Reza Muhammad
Reza Muhammad Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Sastra Kelamin

16 Juni 2017   15:01 Diperbarui: 16 Juni 2017   17:01 1121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Pixabay

Kulirik Pak Ganda yang sedang menyampaikan penolakannya pada naskah tadi. Pria paruh baya yang berbusana rapi dan apik itu dipandangi anak buahnya dengan rasa  kagum. Mereka semua begitu serius, konsentrasi, takzim mendengarkannya. Persis seperti warga kampungku saat mendengarkan Ulla Kadut bertutur di kantor kelurahan bulan Mei kemarin. Ia datang tepat seminggu sebelum gempa hebat yang katanya berkekuatan 6,3 Skala Richter menghancurkan bangunan yang menampung puluhan anak yatim piatu seperti aku. Dari omongan warga kampung, Ulla Kadut itu artis dangdut top dari kampungku di Tasikmalaya. Perempuan desa nan bahenol itu mendadak terkenal di Jakarta dan sempat pulang kampung saat lebaran untuk membuat konser gratis sambil bagi-bagi uang. Tunduknya para tetanggaku di hadapan si biduan bahenol yang memberi sumbangan itu persis seperti yang dilakukan bapak-bapak dan ibu-ibu disini.

"Saya tidak menemukan esensi kemanusiaan atau feminisme yang signifikan dari eksplotasi vagina, orgasme atau penis dalam cerita pendek ini. Reading this short story wasted my time!"

Pak Ganda bila berbicara suka memakai bahasa yang tak kukuasai. Aku jadi setengah-setengah memahaminya.

"Waktu saya terbuang cuma untuk memastikan naskah ini tak perlu dimuat. Kalian yang memegang rubrik sastra seharusnya tak perlu repot-repot meminta saran saya. I believe you are competent enough to do your job," Pak Ganda bersungut-sungut, mengetuk-ngetuk jarinya di atas meja. Ditanggapi bapak berperut gendut yang duduk di sebelahnya dengan cibiran yang tak kalah kusut.

Bu Retno mengangguk-angguk dengan seringai. "Saya ini sampai kaget, lho, Pak. Gaya tulis dan isinya itu, lho. Kesel, juga, toh? Mbok, ya, nulis itu pakai etika. Ndak kebablasan seperti ini. Kok bisa-bisanya dianggap layak untuk dimuat," keluhnya. Mereka bertiga tampak kompak dalam kondisi gundah gulana.

Aku masih menerka-nerka seperti apa isi sastra kelamin ini. Pasti porno! Selintas bayangan Ulla Kadut melantunkan Talak Tilu sambil berjoget seronok diiringi seruan asyik dari pria-pria bermata nanar di kampung muncul di benakku. Astaga! Ya, Gusti, ampuni hamba-Mu khilaf.

"Tapi, Pak. Penulis ini hits banget, deh," suara renyah dari perempuan muda yang duduk berseberangan dengan Bu Retno tiba-tiba menimpali. Wah, nyali cewek ini besar sekali, pikirku. Biasanya tak ada yang berani berkomentar pada Pak Ganda kecuali sesama rekan seniornya.

Aku menengok si empunya suara. Oh, dia salah satu dari tiga anggota redaksi yang memegang rubrik sastra dan seni. Dia yang paling muda disini. Agaknya sepantaran aku. Pernah kudengar ia dijuluki Miss Millenial. Tak tahu sebutan itu artinya apa. Yang kutahu Miss Indonesia saja. Tapi redaktur ini tak terlihat ramah senyum dan berambut panjang seperti Miss Indonesia. Dia memakai jilbab dan berkacamata.  Aku tak ingat ada kontestan ratu-ratuan itu yang memakai jilbab atau berkacamata.

Gadis itu melanjutkan dengan tenang dan lugas, "Bahkan majalah DECADE dan stasiun televisi BBN pernah membahas blog miliknya. Dia dianggap cikal bakal feminis sekaligus humanis generasi millenial masa depan. Apa nggak sebaiknya suaranya kita siarkan melalui koran kita? Supaya  angka demografi pembaca usia muda kita naik, Pak."

Pak Ganda memicingkan matanya, mendengus lalu meninggikan nada bicaranya. "Ah, why do you care about that? Orang luar tahu apa? We have different values. Mereka orang barat. Kita orang timur. Lagipula, dimana korelasi feminisme dengan hal pribadi yang nyaris identik dengan pornografi? Penulis itu boleh memilih untuk mengklaim dirinya feminis atau humanis. That's their choice. Hak mereka itu. Silakan saja, tapi harus tahu batas! Harus sopan! Pikirkan efeknya bagi pembaca yang tidak secerdas mereka!" cecar Pak Ganda. Kelihatannya berang. Aku khawatir dia akan memecat si jurnalis baru berjulukan Miss Millisial. Eh, Millebilal? Ohya, Millenial! Aku sering lupa cara mengucapkannya.

Staf yang baru itu menelan ludah, terlihat salah tingkah saat merapikan kerudungnya. Tapi ia tak diam saja. "Sorry banget, nih, Pak. Menurut si penulis, sudah terlalu lama hak perempuan atas ekspresi seksual terbungkam oleh kekuasaan pria. Media juga jarang memberi kesempatan untuk memuat artikel kemanusian seperti yang ia tulis di blog tentang..."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun