Mohon tunggu...
Mochammad Syafril
Mochammad Syafril Mohon Tunggu... Lainnya - Writer

The more you know, the more you learn

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Urgensi Pengesahan RUU PKS daripada RUU Minol

19 November 2020   22:46 Diperbarui: 20 November 2020   14:07 343
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pembahasan RUU Larangan Minuman Beralkohol pada akhir-akhir ini oleh DPR banyak menyita perhatian publik. RUU Minol merupakan salah satu RUU yang masuk dalam Prolegnas Prioritas 2020 dan mendapat banyak kecaman oleh masyarakat disamping Omnibus Law yang terlebih dulu disahkan pada bulan oktober lalu. Menjadi pertanyaan juga bagi publik karena merasa RUU ini dianggap tidak terlalu penting dan urgent untuk dibahas. 

Di sisi lain ada salah satu RUU yang sebenarnya perlu disahkan dan sudah benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat khususnya kaum perempuan, yaitu RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS).

Pengesahan RUU PKS menjadi sangat penting untuk dilakukan daripada RUU Minol mengingat tren kekerasan seksual yang ada di masyarakat tiap tahunnya selalu mengalami peningkatan. Menurut laporan Komnas Perempuan, pada tahun 2017 terdapat 348.446 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan, pada tahun 2018 meningkat menjadi 406.178 kasus dan pada tahun 2019 meningkat kembali menjadi 431.471 kasus.

RUU PKS yang terdiri dari 152 pasal merupakan aturan hukum yang berisi semangat untuk melindungi kaum perempuan sebagai mayoritas korban kekerasan seksual. RUU PKS merupakan aturan hukum yang sejak tahun 2012 sudah diajukan oleh Komnas Perempuan, baru pada Mei tahun 2016 RUU tersebut masuk dalam Prolegnas Prioritas, namun RUU PKS mangkrak dan berlalu begitu saja tanpa adanya pengesahan. Berbagai pro dan kontra muncul di masyarakat, mulai dari isu diperbolehkannya zina, isu feminisme dan kebebasan LGBT. 

Indonesia sebagai negara hukum sebenarnya banyak mempunyai aturan sebagai payung hukum bagi pelanggaran kekerasan seksual. UUD 1945 Pasal 28 huruf A-J, KUH Pidana, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT adalah beberapa peraturan yang berisi berbagai macam hak-hak perempuan mulai dari hak anti diskriminasi, kekerasan dalam rumah tangga dan perlindungan hukum. 

Tetapi berbagai aturan hukum yang ada dirasa kurang dan belum efektif dalam menekan kekerasan seksual. Di samping itu, perlindungan terhadap korban juga kurang diperhatikan oleh negara. 

#1. Bentuk Kekerasan Seksual

Bebagai aturan hukum yang lalu tidak mengatur tentang spesifik mengenai apa saja bentuk kekerasan seksual, padahal dalam perkembangannya bentuk kekerasan seksual bersifat dinamis mengikuti perkembangan zaman. Pada pasal 11 ayat (2) RUU PKS mengatur lebih lanjut mengenai apa saja bentuk kekerasan seksual, kekerasan seksual terdiri dari :

  • pelecehan seksual;
  • eksploitasi seksual;
  • pemaksaan kontrasepsi;
  • pemaksaan aborsi;
  • perkosaan;
  • pemaksaan perkawinan;
  • pemaksaan pelacuran;
  • perbudakan seksual; dan/atau
  • penyiksaan seksual.

RUU PKS benar-benar mengatur secara komprehensif mengenai apa saja bentuk perilaku yang termasuk kekerasan seksual, baik itu kekerasan seksual secara fisik maupun non-fisik. Dalam pasal 12-20 dijelaskan lebih lanjut mengenai penjelasan tentang bentuk kekerasan seksual yang telah disebutkan pada pasal 11.

#2. Pemulihan Korban Kekerasan Seksual

Tidak hanya penegakan hukum terhadap pelaku, RUU PKS juga berisi bagaimana negara dalam hal ini sebagai pelindung dan pengayom masyrakat memberi berbagai perlindungan hukum dan pemulihan hak-hak korban yang telah mengalami kekerasan seksual. 

Dalam pasal 26 diatur lebih lanjut mengenai apa saja aspek pemulihan hak korban setelah mendapat kekerasan seksual, pemulihan hak korban meliputi:

  • fisik;
  • psikologis;
  • ekonomi;
  • sosial dan budaya; dan
  • ganti  kerugian.

Korban kekerasan seksual akan mendapatkan banyak hak yang disediakan oleh kementerian terkait dan pusat layanan terpadu serta penguatan dukungan masyarakat dan komunitas terkait. Pemulihan hak korban merupakan hal yang penting disamping penegakan hukum atas pelaku kekerasan seksual. 

Terdapat juga hak perlindungan saksi yang dapat diperoleh saksi dan korban berupa penyediaan informasi tentang hak dan fasilitas perlindungan, perlindungan dari ancaman kekerasan dan berulangnya kekerasan, perlindungan terhadap kerahasiaan identitas, sikap kesewenangan aparat penegak hukum, perlindungan pendidikan dan pekerjaan, dan perlindungan korban jika ia dilaporkan balik oleh pelaku baik dalam tuntutan pidana maupun perdata. Semua perlindungan tersebut diatur dalam pasal 24.

#3. Pencegahan Kekerasan Seksual

Sebagai langkah pencegahan sekaligus komitmen untuk memeberantas kekerasan seksual, dalam RUU PKS juga merumuskan berbagai langkah preventif mulai dari bidang pendidikan, ekonomi dan sosial budaya. 

Pembangunan sarana dan prasarana sebagai penunjang pencegahan kekerasan seksual juga mulai dicanangkan dalam peraturan ini. Pasal yang mengatur tentang apa saja upaya pencegahan kekerasan seksual diatur dalam pasal 6-10, secara garis besar berikut adalah upaya pencegahan tersebut:

  • Memasukkan materi kekerasan seksual dalam bidang pendidikan usia dini hingga perguruan tinggi dan menetapkan kebijakan pengahapusan kekerasan seksual dalam lembaga pendidikan.
  • Membangun lingkungan dan  fasilitas public yang nyaman dengan dilengkapi sistem keamanan terpadu.
  • Menyediakan kebijakan dan program untuk pencegahan kekerasan seksual dalam rangka penghapusan kekerasan seksual.
  • Menyediakan kebijakan di wilayah kerja sebagai pencegahan terjadinya kekerasan seksual di wilayah korporasi.
  • Menyebarkan informasi tentang penghapusan kekerasan seksual melalui berbagai lapisan masyarakat.
  • Menggandeng kelompok masyarakat, keagamaan dan adat sebagai langkah penguatan dalam rangka penghapusan kekerasan seksual.

Sangat disayangkan di tahun 2020 RUU ini tidak masuk dalam Prolegnas Prioritas yang artinya terdapat kemungkinan DPR tidak akan membahas dan mengesahkan RUU PKS. 

Komitmen negara dalam hal ini pemerintah perlu dipertanyakan mengingat akan banyak korban kekerasan seksual khusunya kaum perempuan yang tidak mempunyai perlindungan hukum atas suara dan hak mereka. RUU PKS adalah sebuah harapan kaum perempuan untuk berlindung dari kekerasan seksual sebagai implementasi anti-diskriminasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun