Madrasah aliyah dalam kurun waktu hampir 3 tahun terakhir ini menjadi salah satu lingkungan saya untuk tumbuh dan berkembang menempuh pendidikan terakhir dalam masa 12 tahun wajib belajar ini.
Selama kurun waktu tersebut, saya banyak mengamati perbedaan dan persamaan antara madrasah tempat saya menempuh pendidikan dan madrasah lainnya yang saya amati, baik melalui kunjungan studi banding, lini masa media sosial, dan lain sebagainya.
Hingga lambat laun saya menyadari bahwa antara madrasah satu dengan yang lainnya memiliki persamaan yang begitu menonjol, yakni identik dengan gedung bangunan yang bertingkat-tingkat. Lalu, terlintas di pikiran saya, "Bagaimana pengguna kursi roda atau penyandang disabilitas dapat merasakan menempuh di lembaga pendidikan ini?". Maka dari itu, madrasah harus membangun program MARBEL (Madrasah Ramah difaBEL) melalui pendidikan inklusivitas.
Ciri khas bangsa Indonesia adalah memiliki keunikan dan keberagaman yang membedakannya dari bangsa yang lain. Keberagaman inilah yang menjadi jati diri bangsa Indonesia karena seiras dengan semboyan bangsa Indonesia,yakni bhinneka tunggal ika sehingga diharapkan masyarakat dapat saling bersikap toleransi dan memahami segala keberagaman yang ada, khususnya keragaman abilitas atau yang lebih dikenal dengan disabilitas.Â
Mengutip Widinarsih (2019), penyandang disabilitas biasanya memiliki riwayat kecelakaan, penyakit, genetik tertentu yang menjadikan keterbatasan dalam hal tertentu. Namun, di balik keterbatasannya, terdapat potensi yang perlu didukung dan diapresiasi melalui pemenuhan hak penyandang disabilitas yang sering kali dilupakan, salah satunya di bidang pendidikan.
Hal ini sejalan dengan dari Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 dan 2, "Setiap warga berhak mendapatkan pendidikan dan setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya." Sementara itu, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 5 ayat (1) menegaskan,"Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. " Undang-undang inilah yang menjadi bukti pentingnya pendidikan inklusivitas di tengah masyarakat.
Sistem pendidikan yang memberi kesempatan kepada semua anak yang memiliki keterbatasan untuk dapat mengikuti proses pembelajaran layaknya siswa pada umumnya merupakan pengertian dari pendidikan inklusif. Adapun Tarmansyah (2007) berpendapat yang mengatakan pendidikan inklusif adalah lembaga pendidikan yang memfasilitasi semua siswanya sama rata tanpa melihat kondisi fisik, sosial, ataupun kemampuan lainya .Â
Selain itu, mengutip Kemendikbud (2021), pendidikan inklusif merupakan sistem pendidikan yang memberi kesempatan sama rata antara anak berkebutuhan khusus dengan siswa pada umumnya . Melalui pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan inklusif merupakan sistem penyelenggaraan lembaga pendidikan yang memberi kesempatan sama rata tanpa memandang kondisi fisik maupun mental antara siswa berkebutuhan khusus dan siswa pada umumnya.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat ditarik benang merah bahwa sudah seharusnya pendidikan inklusif dapat diterapkan di seluruh lembaga pendidikan, tak terkecuali lingkungan Madrasah, sekolah yang bersumber atau berbasis Agama Islam (Rio, 2023). Hal ini juga diungkapkan Muhammad Zain yang menuturkan bahwa jumlah Madrasah Inklusif di Indonesia masih sangat minim dan sebarannya tak merata.Â
"Hanya ada 77 madrasah inklusif di Indonesia dengan rincian Raudhatul Athfal sebanyak 11 unit, Madrasah Ibtidaiyah sebanyak 50 unit, Madrasah Tsanawiyah sebanyak 15 unit,dan Madrasah Aliyah hanya 1 unit" Jelasnya. Hal ini juga diperkuat oleh data Badan Pusat Statistik yang menyebutkan hanya 16 persen dari 1,5 juta penyandang disabilitas yang berpartisipasi ke dalam lembaga pendidikan.Â
Melihat fakta lapangan tersebut, saya menyadari bahwa lingkungan madrasah, khususnya madrasah aliyah, memiliki kesamaan yang begitu menonjol, yakni memiliki gedung yang bertingkat-tingkat tanpa didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai. Â Hal ini sangat disayangkan mengingat sekolah berbasis Agama Islam ini memiliki peminat yang cukup ramai setiap tahunnya.
Oleh karena itu,di sinilah dibutuhkan dorongan pemerintah dan pihak-pihak terkait untuk lebih menggencarkan persebaran lingkungan madrasah yang inklusif agar teman-teman penyandang disabilitas, khususnya pengguna kursi roda, dapat merasakan belajar di lembaga pendidikan berbasis Agama Islam ini.
Selain terdapat pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016, perintah untuk menjalankan pendidikan inklusif dalam agama slam juga sudah tercantum dalam Al-Quran Surat Abasa ayat 1--16 yang menerangkan tentang ajaran untuk tidak membeda-bedakan antara individu yang satu dan yang lainnya.
Hal ini sejalan dengan tujuan dari pendidikan inklusif untuk tidak membeda-bedakan antara siswa yang normal dan siswa yang berkebutuhan khusus.
Oleh karena itu, madrasah yang merupakan sekolah berbasis Agama Islam sudah seharusnya dapat mengimplementasikan ajaran yang terdapat pada surah tersebut dalam sistem penyelenggaraan pendidikan melalui inovasi gerakan MARBEL (MAdrasah Ramah difaBEL) yang dapat merangkul inklusivitas pada lingkungan madrasah, khususnya tingkatan Madrasah Aliyah yang dapat dikatakan masih belum ramah bagi penyandang disabilitas.
Tak perlu jauh-jauh ke luar negeri untuk mencontoh sekolah yang ramah disabilitas, para pemimpin madrasah serta pihak-pihak terkait sudah seharusnya berkaca pada MAN 2 Yogyakarta yang sudah terlebih dahulu menciptakan lingkungan yang ramah bagi para difabel dengan menyediakan ULD (Unit Layanan Disabilitas),buku dan al-quran braille,ramphal, aksebilitas kursi roda,guide blok, serta toilet yang sesuai.Â
Hal ini akan memberi kemudahan dan kenyamanan bagi penyandang disabilitas untuk melakukan mobilitas. Dengan adanya hal itu menjadikan MAN 2 Yogyakarta sebagai madrasah inklusif pertama di Indonesia yang sudah sepatutnya dicontoh madrasah aliyah lainnya.
Sayangnya, pendidikan inklusif di Indonesia, baik sekolah negeri maupun madrasah, masih mengalami beberapa hambatan, salah satunya ialah kurangnya pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki tenaga pendidik dalam menangani anak penyandang disabilitas (Juwono dan Kumara, 2011). Adapun Nurzila (2023) berpendapat  bahwa tenaga pendidik kerap memandang sebelah mata dan melakukan diskriminatif kepada siswa penyandang disabilitas.
Dari pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa dibutuhkan peran pemerintah dan pihak-pihak terkait dalam memberi pemahaman dan pelatihan kepada tenaga pendidik guna menghapus diskriminasi pada lingkungan belajar dan melahirkan tenaga pendidik yang terampil dalam menemani dan mengajar siswa penyandang disabilitas di lingkungan madrasah.
Berdasarkan uraian-uraian yang sudah dipaparkan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan inklusif dalam madrasah masih belum tersebar merata sehingga perlu peran lebih dari pemerintah untuk terus berbenah dan menggencarkan pembangunan lingkungan madrasah yang inklusif yang mampu merangkul, memahami, dan menerima segala keberagaman abilitas.Â
Pembangunan dan pelaksanaan Gerakan MARBEL (MAdrasah Ramah difaBEL) bukan menjadi tanggung jawab pemerintah saja, melainkan seluruh masyarakat, baik itu siswa, orang tua, dan tenaga pendidik. Dengan demikian, lingkungan yang inklusif dapat terwujud agar para siswa penyandang disabilitas dapat merasakan hak-haknya, yaitu hak untuk menerima pendidikan layaknya siswa pada umumnya.Â
Besar harapan melalui Gerakan MARBEL (MAdrasah Ramah difaBEL) dapat melahirkan Madrasah Aliyah inklusif yang dapat memfasilitasi segala kebutuhan siswa penyandang disabilitas layaknya MAN 2 Yogyakarta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H