Diskursus Kejahatan Pada Pemikiran Teodesi
Problem teodisi yang berkutat pada kausalitas dan penyelenggaraan Tuhan sejak zaman Yunani Tuhan terhadirkan sebagai terdakwa. Kejahatan dan penderitaan sebagai suatu privasi senantiasa hadir dalam realitas dan kehidupan. Sementara Berger menggunakan konsep Teodisi untuk memberikan makna terhadap penderitaan yang dialami manusia di dunia, dengan sekaligus menjanjikan kebahagiaan 'di dunia sana'. Dalam hubungan ini agama jelas merupakan sebuah kekuatan alienasi.
 Alienasi oleh Berger dimengerti sebagai terputusnya hubungan dialektik antara individu dengan dunianya. Menurut Berger teodisi mempengaruhi secara langsung setiap individu dalam kehidupannya sehari-hari di masyarakat. Salah satu fungsi sosial penting teodisi adalah sebagai penjelasan hak kesetaraan dalam sebuah kekuasaan dan keistimewaan yang diperoleh seorang manusia dari Tuhan. Kata Kunci: Teodisi, Agama, Kebaikan, Kejahatan.
Pendahuluan
Diskursus mengenai keberadaan kejahatan dalam dunia yang dianggap diciptakan oleh Tuhan yang Maha Baik, Maha Kuasa, dan Maha Mengetahui adalah salah satu topik paling penting dan menantang dalam filsafat agama. Teodisi adalah istilah yang digunakan untuk menyebut upaya filosofis dalam membenarkan kepercayaan akan Tuhan dalam konteks keberadaan kejahatan. Secara etimologis, teodisi berasal dari bahasa Yunani theos (Tuhan) dan dike (keadilan), yang berarti "pembenaran Tuhan." Pertanyaan utama dalam teodisi adalah: jika Tuhan itu ada, mengapa ada kejahatan?
Diskursus ini bertujuan untuk mencari jawaban yang dapat diterima secara logis dan etis terhadap paradoks keberadaan kejahatan dalam dunia yang diyakini diciptakan oleh Tuhan yang Maha Sempurna. Paradoks ini kerap dijadikan argumen ateisme yang menantang konsep Tuhan tradisional dalam agama-agama Abrahamik (Islam, Kristen, dan Yahudi) yang menganggap Tuhan sebagai entitas yang baik dan berkuasa.
Definisi Theodecy
Secara etimologi, teodisi berasal dari bahasa Yunani "theos" berarti tuhan dan "dike", artinya keadilan, yang merupakan studi teologis filosofis yang mencoba untuk membenarkan Allah (sebagian besar dalam monoteistik) dan bersifat omni-kebajikan (semua mencintai). Lorens Bagus, penulis Kamus Filsafat, memberikan beberapa pengertian untuk istilah ini. Pertama, teodisi diartikan sebagai ilmu yang berusaha membenarkan cara-cara (jalan-jalan) Allah bagi manusia.Â
Kedua, teodisi adalah sebuah usaha untuk mempertahankan kebaikan dan keadilan Allah ketika Allah menakdirkan atau membiarkan suatu kejahatan moral dan alamiah maupun penderitaan manusia. Ketiga, usaha untuk membuat kemahakuasaan dan kemaharahiman Allah cocok dengan eksistensi kejahatan. Dengan demikian, teodisi merupakan satu upaya untuk mempertahankan, atau bahkan "membela" pemahaman kita tentang Allah (khususnya dalam hal ini kebenaran dan keadilan-Nya), ketika realita atau fakta yang dihadapi membuat kita mempertanyakan atau menggugatnya.
Istilah ini dimunculkan pada tahun 1710 oleh filsuf Jerman Gottfried Leibniz dalam sebuah karya berbahasa Prancis dan diterjemahkan kedalam bahasa Inggris oleh E.M Huggard berjudul Theodicy:Essays on The Goodness of God, the Freedom of Man and the Origin of Evil (Teodisi: Esai tentang Kebaikan Tuhan, Kebebasan Manusia dan Keaslian sifat Setan). Sebuah karya yang dimaksudkan untuk mancari pemecahan masalah tentang penyelenggaran Tuhan di dunia, yakni antitesa antara adanya Tuhan yang tak terhingga baiknya dengan kejahatan di dunia ini.
Istilah teodise dipertahankan disamping istilah filsafat agama (philoshophy of religion) dan filsafat ketuhanan (Philoshophy of God), karena istilah ini secara teknis kefilsafatan bersifat netral dan universal.Â
Dalam membahas masalah ketuhanan, teodise dapat mempresentasikan kesimpulan tentang Tuhan: baik sebagai ada mutlak (God as The Absolute being), atau meminjam istilah Blaise Pascal sebagai "Ie dieu des Philosophes et des Savant" (Tuhan para filosof dan ilmuwan). Teodise pun dapat mempresentasikan Tuhan sebagai "wujud Personal" (God a Personal Spirit), yang diistilahkan oleh Pascal dengan "Ie dieu des d'Abraham, d'Isaac et de Jacob" (Tuhan Ibrahim, Ishak, dan Ya`kub).Â
Teodisi dikatakan bersifat universal, karena istilah ini telah dikenal oleh kalangan filosof, teolog maupun ilmuwan-ilmuwan yang terlibat dalam diskursus ketuhanan. Oleh karena wataknya yang bersifat filosofis, dalam membahas masalah ketuhanan, teodise membatasi pembahasannya pada batas-batas rasional kodrati dengan tidak menyandarkan pada otoritas dari kebenaran apa pun, terutama wahyu Tuhan. Dengan demikian dalam membahas masalah ketuhanan, teodise lebih mempertimbangkan aspek obyektifitas dan terbuka secara umum, baik bagi orang yang mempercayai-Nya atau tidak.Â
Lebih tegas dapat dikatakan, orientasi pembahasan teodise tentang wujud Tuhan hanya berangkat dari aspek eksistensialitas-Nya, artinya pembahasan hanya diarahkan pada sejauh mana keberadaan Tuhan dapat ditangkap oleh akal pikiran dengan menggunakan dan mempertimbangkan data-data ketuhanan yang konkrit dan terbuka bagi semua orang beragama atau tidak.
Secara tradisional menurut McCloskey, permasalahan teodisi muncul secara filosofis karena adanya kontradiksi yang memerlukan penegasan bahwa Tuhan sebagai Pencipta Yang Maha Sempurna termasuk pencipta kejahatan.Kontradiksi dimaksud adalah keadaan di mana kita dihadapkan pada keimanan bahwa Tuhan adalah Maha Kuasa, Maha Adil, Maha Mengetahui, namun pada sisi lain, kita menyaksikan beragam kejahatan dalam kehidupan.Â
Keadaan seperti ini, sepintas memang bisa membawa kepada suatu pembenaran pemikiran, dalam bentuk pertanyaan jika Tuhan memang Maha Adil dan Maha Sempurna mengapa dalam ciptaan-Nya masih menunjukkan kekurangsempurnaan seperti adanya bencana alam, penyakit, kemiskinan, kekafiran dan sebagainya.7 Bukankah keadaan ini bisa disebut sebagai suatu kontradiksi dalam doktrin keimanan tersebut.
Apa Itu Teodisi? (What)
Teodisi adalah disiplin filsafat yang mencoba menjelaskan atau "membenarkan" keberadaan kejahatan dan penderitaan di dunia yang diyakini berada di bawah kekuasaan Tuhan yang Maha Baik dan Maha Kuasa. Dalam konteks ini, kejahatan biasanya merujuk pada penderitaan fisik, kejahatan moral, dan ketidakadilan yang terjadi di dunia. Teodisi muncul dari kebutuhan mendasar untuk merasionalisasi keberadaan penderitaan dan kejahatan yang sering kali tampak tidak adil atau tidak masuk akal, terutama jika dilihat dari perspektif teologi.
Teodisi dikembangkan oleh berbagai filsuf dan teolog yang mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti:
- Mengapa ada penderitaan jika Tuhan adalah maha penyayang?
- Mengapa ada ketidakadilan jika Tuhan adalah maha adil?
- Apakah mungkin Tuhan memiliki tujuan yang tersembunyi atau alasan yang tidak kita ketahui?
Dalam teodisi, beberapa pendekatan utama telah dikembangkan, di antaranya:
- Teodisi Kebebasan (Free Will Defense): Kejahatan eksis karena Tuhan memberi manusia kebebasan memilih.
- Teodisi Pengembangan Moral (Soul-Making Theodicy): Kejahatan dianggap sebagai sarana untuk mengembangkan karakter moral manusia.
- Teodisi Konsekuensi yang Tak Diketahui (Unknown Purposes): Menyatakan bahwa mungkin ada alasan Tuhan yang tidak diketahui manusia untuk mengizinkan kejahatan.
Mengapa Kejahatan Menjadi Permasalahan dalam Teodisi? (Why)
Dalam filsafat agama, keberadaan kejahatan menimbulkan masalah logis dan masalah emosional yang kompleks. Dari perspektif logis, keberadaan kejahatan tampaknya bertentangan dengan sifat-sifat Tuhan:
- Tuhan Maha Baik: Jika Tuhan itu baik, maka Dia pasti ingin mencegah segala bentuk kejahatan dan penderitaan.
- Tuhan Maha Kuasa: Jika Tuhan itu kuasa, Dia tentu mampu menghilangkan semua kejahatan.
- Kejahatan Ada: Namun, realitas menunjukkan bahwa kejahatan dan penderitaan tetap ada.
Paradoks ini dikenal sebagai "masalah kejahatan" (problem of evil), dan menjadi argumen yang sering dikemukakan oleh kaum ateis untuk menolak keberadaan Tuhan. Argumen ini menyatakan bahwa Tuhan yang mahakuasa dan mahabijaksana seharusnya dapat mencegah kejahatan, atau paling tidak meminimalkan keberadaannya di dunia. Sebagai tambahan, kaum skeptis juga sering kali berpendapat bahwa keberadaan kejahatan yang tidak perlu atau "kejahatan yang tidak dapat dijelaskan" menunjukkan ketidakcocokan dengan ide Tuhan yang sempurna.
Di sisi lain, bagi para penganut agama, kehadiran kejahatan dapat mengguncang kepercayaan dan keyakinan mereka terhadap keadilan Tuhan. Mereka berhadapan dengan pertanyaan moral dan emosional: Jika Tuhan benar-benar mengasihi manusia, mengapa Dia membiarkan penderitaan terjadi? Pertanyaan ini menjadi salah satu alasan utama mengapa diskursus kejahatan dalam teodisi sangat penting, karena membantu menjelaskan pemahaman tentang Tuhan dan dunia dalam cara yang lebih dapat diterima secara filosofis.
Bagaimana Pendekatan Teodisi Menjelaskan Kejahatan? (How)
Teodisi Kebebasan (Free Will Defense)
Salah satu pendekatan yang paling umum dalam teodisi adalah pembelaan berdasarkan kebebasan manusia. Dalam teodisi ini, dikemukakan bahwa Tuhan menciptakan manusia dengan kehendak bebas yang memungkinkan mereka memilih antara baik dan buruk. Pandangan ini didukung oleh filsuf seperti Agustinus dan Alvin Plantinga yang berpendapat bahwa kejahatan eksis bukan karena Tuhan yang menciptakannya, tetapi karena manusia menyalahgunakan kebebasan mereka.
Kebebasan ini, menurut pandangan ini, merupakan suatu kebaikan yang tinggi sehingga keberadaannya lebih baik daripada dunia tanpa kebebasan tetapi tanpa kejahatan. Dalam dunia di mana manusia tidak dapat memilih, mereka juga tidak akan dapat mengembangkan nilai-nilai moral yang berharga, seperti tanggung jawab, empati, dan kasih sayang. Misalnya, kasih yang muncul dari kebebasan memilih memiliki nilai lebih tinggi daripada kasih yang dipaksakan.
Teodisi Pengembangan Moral (Soul-Making Theodicy)
Teodisi Pengembangan Moral atau Soul-Making Theodicy adalah pendekatan yang dikemukakan oleh filsuf John Hick. Hick berpendapat bahwa penderitaan dan kejahatan merupakan sarana bagi manusia untuk mengembangkan karakter dan kebajikan moral. Menurut pandangan ini, dunia yang sempurna tanpa kejahatan atau tantangan tidak akan memungkinkan manusia untuk menjadi individu yang dewasa dan bermoral.
Dalam konteks ini, keberadaan kejahatan dilihat sebagai suatu proses yang membentuk dan membangun jiwa manusia. Sebagai contoh, penderitaan dapat mengajarkan manusia tentang ketekunan, belas kasih, dan pengampunan. Hal ini sering dikaitkan dengan konsep ujian hidup, di mana manusia diuji dan dipersiapkan untuk keadaan yang lebih baik. Dunia tanpa penderitaan, menurut pandangan ini, akan menjadi dunia yang tidak memiliki nilai moral atau kesempatan untuk berbuat kebaikan yang nyata.
Teodisi Alasan Tak Diketahui (Unknown Purposes)
Pendekatan ini, yang sering diasosiasikan dengan konsep teologi tradisional, menyatakan bahwa mungkin ada alasan atau rencana Tuhan yang melampaui pemahaman manusia. Tuhan, dalam kebijaksanaan-Nya yang tak terbatas, mungkin memiliki alasan yang lebih besar untuk membiarkan kejahatan eksis di dunia, meskipun alasan tersebut tidak dapat kita pahami.
Pandangan ini menekankan keterbatasan pengetahuan manusia dan menyatakan bahwa Tuhan memiliki perspektif yang jauh lebih luas daripada manusia. Kejahatan, dalam hal ini, mungkin berfungsi untuk mencapai tujuan-tujuan ilahi yang tidak dapat dipahami dari sudut pandang manusia yang terbatas. Pendekatan ini dapat dikritik karena tidak memberikan jawaban yang memuaskan, tetapi dalam konteks agama, pandangan ini mengajarkan umat manusia untuk berserah dan mempercayai kebijaksanaan Tuhan.
Teodisi Kejahatan Metafisik
Teodisi ini menyatakan bahwa kejahatan adalah bagian esensial dari eksistensi dunia yang terbatas. Menurut pandangan ini, dunia material adalah dunia yang terbatas dan tidak sempurna, yang secara alamiah mengandung kekurangan. Kejahatan metafisik ini bukan hasil dari kebebasan manusia atau rencana tersembunyi Tuhan, melainkan sifat alami dari dunia yang fana.
Misalnya, keberadaan kematian adalah bagian dari hukum alam yang tidak bisa dihindari, dan merupakan bentuk kejahatan metafisik. Dalam konteks ini, keberadaan kejahatan dianggap sebagai sesuatu yang niscaya dalam penciptaan. Dunia sempurna mungkin tidak bisa eksis dengan sendirinya, dan kesempurnaan hanya bisa ditemukan dalam entitas yang sepenuhnya transenden, yaitu Tuhan.
Kesimpulan
Diskursus mengenai kejahatan dalam teodisi menawarkan berbagai perspektif yang membantu manusia memahami keberadaan penderitaan, ketidakadilan, dan kejahatan dalam dunia yang dianggap berada di bawah kuasa Tuhan. Meskipun berbagai pendekatan yang dikemukakan tidak memberikan jawaban yang mutlak, teodisi memicu refleksi filosofis, moral, dan teologis yang mendalam mengenai sifat manusia, kebebasan, dan kebaikan.
Diskursus ini penting karena menunjukkan bahwa iman dapat diimbangi dengan penalaran logis dan eksplorasi mendalam tentang makna dan tujuan hidup. Dengan menggabungkan pemahaman tentang kehendak bebas, perkembangan moral, dan kebijaksanaan Tuhan yang melampaui pemahaman manusia, teodisi berfungsi sebagai jembatan bagi umat beragama untuk memahami dan menghadapi penderitaan dengan
PENUTUPÂ
Dari pembahasan di atas dapat ditegaskan kembali bahwa dualisme wujud, yakni kejahatan dan kebaikan, pada dataran fenomenalnya memang ada, tetapi pada essensinya hanya ada kebaikan. Pandangan ini merupakan konsekuensi dari kenyataan bahwa Tuhan sebagai wajib al-wujud adalah Maha Baik, Maha Adil dan Maha Sempurna sehingga apa pun yang melimpah dari-Nya pasti mengandung esensi kebaikan.Â
Dalam hal ini Muthahhari menegaskan bahwa pada dataran fenomena tidak ada "kejahatan sejati" maupun "kebaikan sejati", sedang pada dataran noumena hanya ada satu esensi, yakni kebaikan, karena substansi kejahatan benar-benar merupakan ketiadaan murni Sementara Berger menggunakan konsep Teodisi untuk memberikan makna terhadap penderitaan yang dialami manusia di dunia, dengan sekaligus menjanjikan kebahagiaan 'di dunia sana'.Â
Dalam hubungan ini agama jelas merupakan sebuah kekuatan alienasi. Alienasi oleh Berger dimengerti sebagai terputusnya hubungan dialektik antara individu dengan dunianya. Menurut Berger teodisi mempengaruhi secara langsung setiap individu dalam kehidupannya sehari-hari di masyarakat. Salah satu fungsi sosial penting teodisi adalah sebagai penjelasan hak kesetaraan dalam sebuah kekuasaan dan keistimewaan yang diperoleh seorang manusia dari Tuhan.
Daftar Pustaka
https://ejournal.unida.gontor.ac.id/index.php/tsaqafah/article/view/2
Augustine. The City of God. Cambridge University Press, 1998.
Hick, John. Evil and the God of Love. Palgrave Macmillan, 2010.
Plantinga, Alvin. God, Freedom, and Evil. Wm. B. Eerdmans Publishing, 1977.
Swinburne, Richard. Providence and the Problem of Evil. Oxford University Press, 1998.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H