Kidalang Sopo Nyono, sedang mementaskan lakon Petruk, Togog dan Gabang di Kerajaan Amartapura.
Dikisahkan oleh Ki Dalang bahwa saat ini ada punokawan dari negeri seberang yakni Togog dan Mbilung  yang  datang ke Kerajaan Amartapura. Boleh dibilang, Togog dan Mbilung ini merupakan dwi tunggal, dua punokawan yang tak bisa dipisahkan satu sama lainnya. Dua punakawan ini punya watak sama, bermental penjilat, oportunis, bahkan bisa menafikan kebenaran hanya karena materi.
Kedatangan dua punokawan ke Amartapura bukan untuk wisata, tapi langsung menemui  Petruk, yang jadi  Raja Amartapura dengan gelar Paduka Sri Baginda Kantong Bolong untuk berhidmat, mengabdikan diri, tunduk dan patuh terhadap Petruk.
Petruk menerimanya dengan senang hati lantaran dari sisi geneologis, masih ada ikatan kekeluargaan dari punakawan Begawan Semar. Togog dan Mbilung ahirnya dijadikan sebagai punokawan kepercayaan dan pembisik utama raja Petruk diluar birokrasi Kerajaan.
Suatu hari, Paduka Sri Baginda Kantong Bolong  yang sedang resah dan gelisah memanggil  Togog dan Mbilung. Â
"Ada apa gerangan baginda memanggil kami berdua" , tanya Togog sambil membungkuk tanda hormat kepada raja.
"Begini gog, ahir ahir ini saya benar benar  terganggu oleh banyaknya protes dan aksi demontrasi rakyat terkait KAS", jawab raja.
KAS adalah Kartu yang dibagikan sebelum Petruk jadi raja. KAS singkatan Kartu Amartapura Senang. Disebutkan, manfaat KAS salah satunya adalah siapa saja pemegang KAS, nanti  akan diberikan gabang untuk modal usaha. Maka dari itu, rakyat di Kerajaan Amartapura memilh Petruk jadi raja karena ada harapan dan iming iming , dapat Gabang.
Gabang tak lain sebagai alat pembayaran resmi di Kerajaan Amartapura yang berbentuk kepingan, istilah modernnya disebut uang.
Mendengar keluh kesah  raja, Togog hanya tersenyum. Raja heran melihat ekspresi Togog yang datar saja.
Raja kemudian berkata, "Gog, kamu ini gimana, ayo  cari solusinya"
"Ampun paduka, menurut saya, yang begitumah gampang solusinya", jawab Togog.
"Iya paduka, yang begitumah kecil", Mbilung ikut nyahut.
"Gampang...?, kecil..?, coba bagaimana caranya?, tanya Petruk penasaran.
"Begini Paduka, saya kenal dengan mereka", mbilung menyela sebelum Togog menjawab pertanyaan Petruk.
"Ya baginda, biasalah namanya juga usaha, mereka itu  sebagian besar adalah orang  yang pragmatis juga, orang yang ingin dapat sesuatu secara instan, hanya beberapa gelintir saja yang berjuang sesuai idealisme", sela Togog menyambung Mbilung.
" Sudahlah gooooog, jangan banyak teori, pragmatis lah, instan lah, idialisme lah. Saya ini dulu saudagar, segala sesuatu kalau sudah oke, langsung eksekusi, jadi intinya apa solusinya" ujar Petruk dengan nada tinggi.
Mendengar suara paduka raja nadanya  sudah meninggi ,Togog dan Mbilung saling melihat, buru buru Togog berkata;
" Maksudnya begini paduka, solusinya dipanggil saja beberapa pentolannya,diajak ngobrol sambil makan, minum, tapi jangan di Istana. ", ujar Togog. Petruk manggut manggut.
"Teruus ?", Petruk bertanya.
Kali ini Mbilung yang menyahut;
"Paduka yang mulia, nanti dalam pertemuan itu, paduka memberikan sesuatu yang membuat mereka diam."
Petruk berpikir sejenak, setelah tau arahnya, kemudian berkata;
"Dikasih Gabang maksudnya?".
"Nah, itu solusi gampangnya, dikasih saja setumpuk Gabang, orang pragmatismah melihat gabang didepan mata, pasti ngiler". kata Togog meyakinkan.
Mendengar jawaban Togog dan Mbilung, Petruk sebetulnya setuju, namun dalam hatinya ada perasaan hawatir jika solusi itu dilaksanakan. Sambil memegang  jidat, Petruk kemudian betkata;
"Saya sebetulnya oke saja, tapi jujur saya hawatir takut tercium Kelompok Pengawas Kerajaan, Ini kan sudah masuk katagori klarifikasi".
"Gratifikasi kali baginda". Mbilu menyela
"Oh, iya gratifikasi", ujar Petruk.
""Baginda tidak usah hawatir, kami yang ngatur semua, baginda siapkan saja gabangnya, taruh di dauk",
"Ya sudah, atur saja, Â dimana ketemunya, cari tempat kuliner yang enak"' ungkap Petruk.
Mendengar kata kuliner, buru buru Mbilung usul;
"Saya usul baginda, di utara  kota raja ini ada kampung, kampungnya sih ngga besar, tapi disitu banyak kuliner yang enak, tempatnya asri".
Singkat cerita seperti di kisahkan Ki Dalang, Petruk setuju dengan solusi yang ditawarkan Togog dan Mbilung. Togok kemudian menghubungi si tukang demo. Tukang demo sepakat ketemu Raja Petruk dan timnya di tempat dan waktu yang sudah di tentukan.
Saat dihubungi, si tukang demo sebetulnya sudah faham bahwa Baginda Raja Petruk ingin berdamai, tapi dalam benaknya ia bergumam, "Ayo baginda, kejarlah daku, kau kutangkap".
Tiba saat pertemuan yang di janjikan, Togog sebagai punakawan yang di percaya Petruk mengambil peran. Dengan menunggangi kuda jatah dari Petruk, Togog bergegas menuju ke kampung yang tidak besar itu.
Kuda yang di tunggangi Togog, secara aturan seharusnya untuk jatah punggawa kerajaan, aturan punakawan dapat kuda sebetulnya tidak ada, namun Petruk punya kuasa, aturan bisa dinafikkan demi untuk kepentingan politik Petruk.
Di Kampung, sudah berkumpul tokoh tokoh demontran yang suka protes. Mengambil tempat yang agak tersembunyi dari sorotan publik, pertemuan berlangsung ceria, duduk saling berhadapan, tersedia juga bebagai makanan minuman diatas meja yang sudah dipesan Togog sebelumnya. Raja Petruk didampingi Togog dan Mbilung serta punokawan kepercayaan lainnya.
"Maaf baginda, sebetulnya apa maksud dan tujuan baginda mengundang kami, kemarinnya waktu kami aksi di Istana, paduka tidak mau menemui kami", salah satu tokoh mengawali pembicaraan.
Sebelum Petruk menjawab, Togog, sebagai inisiator memberikan penjelasan.
"Jadi begini, baginda raja, ingin silaturrahmi, selanjutnya ingin bekerjasama dalam membangun Amartapura". ujar Togog.
Setelah terjadi obrolan ngalor ngidul antara Baginda Raja Kantong Bolong, Togog dan Mbilung dengan rombongan tokoh aksi, Petruk sebagai raja Amartapura, Â ingin menunjukkan sikap bijaknya dihadapan para tokoh muda ahli kritik yang hadir.
"Sebetulnya saya ngga ada maksud jelek kepada kalian, malah saya ingin mengucapkan terimakasih karena kalian  telah mengingatkan saya, kritik kalian adalah cambuk buat saya untuk menjalankan roda pemerintahan ke depan, maka dari itu, mari kita bekerjasama membangun Amartapura. Saya kira ini hanya persoalan miss komunikasi saja", kata Petruk.
"Karena saya masih banyak acara, saya pamit duluan ya, silahkan nanti diteruskan obrolannya dengan Togog, Mbilung dan kawan kawan", sambung Petruk.
"Dan ini tolong diterima sebagai  tanda empati saya terhadap kalian", tambah Petruk seraya menyerahkan sesuatu berupa dauk, tentu saja ada isinya.
Para tokoh --pura pura -- kaget.
"Maaf baginda, ini apa?, kata salah seorang tokoh  sambil melirik isi dalam dauk yang oleh empunya sengaja  tidak ditutup rapih.   Semua  terperanjat, isinya tak lain  tumpukan Gabang.
"Maksudnya gimana ini paduka, paduka bermaksud nyogok kami supaya tidak melakukan aksi dan kritik terhadap kebijakan paduka, maaf kalau itu maksudnya, kami tidak terima", kata salah satu tokoh.
"Oh, bukan begitu", buru buru Togog menjelaskan.
"Ini Gabang bukan sogokan, tapi tanda empati  baginda terhadap kalian, sudah jauh jauh datang memenuhi undangan, jadi diterima saja, nanti obrolannya dengan saya dan Mbilung", kata Togog.
Para tokoh sejatinya hanya berpura pura, menjaga imeg  agar tidak dikira mata duitan bin materialis, padahal inilah yang dimaksud ungkapan "kejarlah daku, kau kutangkap".
"Ya sudah, lanjutkan obrolannya, saya pamit duluan, kalau ada apa apa nanti, bilang sama Togog atau Mbilung ya", Petruk mengahiri obrolan sambil pamit  dan menyalami satu persatu para tokoh.
Sejak peristiwa pertemuan di Kampung yang tidak besar itu, Ki Dalang mengisahkan bahwa  kini para tokoh itu sudah tak lagi terdengar suaranya, kalaupun ada aksi atau demonstrasi di Kerajaan Amartapura dari komunitas komunitas rakyat Amartapura, para tokoh itu tak lagi kelihatan batang hidungnya.
Kemana....?.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H