Malam harinya baru terdengar kabar  bahwa Ki Wasid dan pasukannya di hadang tentara kolonial di Toyomerto, sedangkan pasukannya banyak yang menjadi korban kemudian mundur.
Mendengar kabar tersebut, pasukan yang sudah disiapkan, diperintahkan kembali ke kampung masing masing dan di bubarkan, penyerbuan ke Serang gagal total. Mundurnya pasukan Ki Wasid dalam pertempuran di Toyomerto, telah menandakan pula bahwa pasukan Ki Wasid mengalami kekalahan.
Dalam situasi yang demikian, pasukan kolonial bisa meneruskan perjalanan ke Cilegon, namun pada saat tentara menghampiri para pejuang yang tergeletak terkena tembakan, tiba tiba seorang dari mereka bangun dan mendadak menyerang barisan depan tentara dengan golok, seorang kopral bernama Daams bergumul dengan penyerang, tak lama setelah itu, pejuang tersebut di berondong dengan tembakan, pejuang yang bernama  Mesir dari Arjawinangun tewas seketika.
Mesir ini adalah anak Ki Wakhia pimpinan Peberontakan tahun 1850. Perlu di ketahui bahwa dalam pemberontakan 1888 ini, keluarga/keturunan ki Wakhia selain Mesir, ikut dalam pemberontakan yakni dua anak perempuannya  bernama  Nyi Rainah dan  Nyi Aminah termasuk menantunya -- suami Nyi Aminah -- Sakib. Ketiga orang ini setelah ditangkap kemudian dibuang ke luar pulau jawa, Sakib dan Nyi Aminah di buang ke Kupang, sedangkan Nyi Rainah ke  Gorontalo.
Menurut catatan Sartono Kartodirjo, diantara yang jadi korban tembakan tentara kolonial dan meninggal dunia antara lain; Arab       (Bagendung) ,Budiah (Bagendung), Kadiman (Arjawinangun), Durajak (Arjawinangun), Kusen ( Wanasaba ), Mali ( Tubuy ), Mesir (Arjawinangun), Sadir ( Toyomerto), Usup ( Arjawinangun ).
Adapun yang mengalami luka luka antara lain; Ahmad (Arjawinangun), Alwan (Cibeber), Asman (Tegalkedondong), Mulapar (Arjawiangun), H. Kayud (Tegalmangun), Saldam (Tubuy), Salim (Tengkurak), Samad (Arjawinangun), H,Samidin (Kramatwatu), Sarip (Bagendung), H.Usman (Arjawinangun).
Dengan adanya kekalahan di Toyomerto, apakah semangat untuk berjuang lantas padam?. Ternyata tidak, Ki Wasid dan H.Tubagus Ismail justru merencanakan  serangan kedua terhadap Cilegon yang sudah di duduki tentara kolonial.
Malam harinya Ki Wasid, H.Tubagus Ismail berkumpul di alun lun lantas  pasukannya dua kali menyerang penjara, namun selalu di balas dengan tembakan tentara.
Dengan adanya penyerangan tersebut, membangkitkan amarah kolonial Belanda. Berbarengan dengan itu, bala bantuan tentara kolonial  yang mendarat di Karangantu langsung di kirim ke Cilegon.
Hari itu juga, diadakan rapat  di pimpin Residen Banten, hasilnya harus segera dilakukan operasi militer  untuk mengejar dan menangkap para pejuang yang keberadaannya sudah terpecah.
Dibawah komando Kapten De Braw, satu pasukan berangkat menunju Beji, kampung tempat tinggal Ki Wasid karena ada info  Ki Wasid dan pasukannya ada di situ. Pasukan kolonial berangkat melalui Kependilan, Tengkurak, Kubang laban lor hingga ke Gunung Santri. Sementara pasukan Raden Pena, Kapten Hojel dan Van Rinsum berangkat melalui Pecek, Tunggak , Wadas ke Gunung Santri.